Thursday, 16 January 2014

Renungan / Khotbah Kejadian 41:44-57, Pekan Penatalayanen Wari VII, tgl. 25 Januari 2014

Introitus : 
“Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar daripada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran ”( 3 Yoh 1:4)

Bacaan : Mazmur 37:23-26; Khotbah : Kejadian 41:44-57

Thema : “Hiduplah Dengan Jujur.” (Nggeluh Alu Bujur)

Pembahasan
Jemaat yang dikasihi Tuhan, nats khotbah pekan penatalayanan hari ini seperti yang telah kita baca bersama yakni tentang kisah Yusuf yang menjadi Gubernur di kota Mesir. Mesir adalah kota tempat kesusahan Yusuf. Akan tetapi, kota itu pula yang menjadi tempat baginya merasakan kasih karunia Tuhan nyata dalam hidupnya. Mengapa saya berkata demikian? Jika kita mengingat kisah kehidupannya, bahwa pada awalnya Yusuf berada di Kanaan bersama dengan bapa, ibu dan saudara-saudaranya. Dia adalah anak bungsu Yakub. Pada suatu hari, Yusuf mengetahui bahwa saudara-saudaranya berbuat kejahatan dan mengadukannya kepada bapanya, sehingga bapanya marah kepada saudara-saudaranya. Ini adalah hal yang membuat saudara-saudaranya tidak menyukainya. Selanjutnya ketika Yusuf menceritakan tentang mimpinya kepada ayah dan saudara-saudaranya, yang menyatakan bahwa ayah, ibu dan saudara-saudaranya akan menyembah kepadanya.
Hal ini juga yang membuat saudara-saudaranya tidak suka kepadanya. Sehingga pada akhirnya mereka menjualnya ke Mesir.
Tidak jarang, dalam kehidupan modern ini juga pikiran manusia terbalik-balik. Mengapa? Ketika kesalahan atau dosa kita diangkat, atau kejelekan kita dibongkar, kita cenderung tidak suka terhadap mereka yang membongkar masalah itu. Jika ada yang membongkar salah ataupun hal fatal yang kita lakukan, bukannya kita menyadari kesalahan ataupun bersyukur ada orang yang telah menyadarkan kita. Melainkan kita menjadi marah dan membalas kepada mereka. Bahkan secara keseluruhan, terkesan seperti bahwa bukan pelaku kesalahan yang mendapatkan hukuman, tetapi mereka yang sudah membongkar kesalahan itu. Kita senang hidup dalam kesalahan kita sendiri yang tidak diketahui orang lain. Tapi satu hal kita lupa, sekalipun manusia tidak mengethaui, Tuhan mengetahui segala sesuatu yang kita lakukan. Cepat atau lambat, semuanya akan terbuka dengan jelas dan semuanya memiliki caranya tersendiri yang tidak kita duga.

Demikian pula dengan Yusuf, ia senantiasa hidup jujur dan takut akan Tuhan, sehingga Tuhan senantiasa menyertainya. Baik ketika ia berada di rumah Potifar, maupun ketika ia di penjara. Dalam hal ini, yang mau ditekankan bahwa hidup dengan jujur sangatlah sulit dan susah jika kita tidak berserah kepada Tuhan. Kehidupan Yusuf ibarat pepatah berkata “sudah jatuh, tertimpa tangga pula”, dia dijual ke Mesir, menjadi budak, lalu difitnah oleh istri potifar, dan masuk penjara. Tetapi ia tetap berlaku jujur dan takut akan Tuhan. Siapa yang mampu seperti itu? rasa-rasanya tidak ada yang akan mampu demikian, jika tidak mengandalkan kuasa Tuhan.

Jadi saudara-saudara, yang mau dikatakan disini adalah jika kita sudah siap mengikut Tuhan, jangan setengah-setengah, jangan hanya mau yang enaknya saja. Siap mengikut Tuhan, berarti siap mengikut segala jalan-Nya. Jelas bahwa jalan mengikut Tuhan tidak enak. Sekalipun kita berbuat baik, belum tentu itu dipandang baik oleh orang lain, dan belum tentu orang menyukai kita. Sekalipun kita berjuang menyatakan yang benar, belum tentu kita memperoleh kebenaran, atau dipercaya, sebab tidak semua manusia sekarang menyukai kebenaran, dan keadilan. Tetapi yang disenangi adalah “hal yang membuat saya senang, dan orang lain masa bodoh”. Pusatnya adalah “saya”, keakuan manusia meningkat dan melupakan Tuhan, sehingga moralitas manusia juga semakin merosot. Karena apa? Karena hati nurani yang baik juga semakin tumpul.

Melalui cerita Yusuf ini, diperlihatkan juga bahwa hidup jujur bukan berarti hidup kita akan selalu dipenuhi dengan berkat sukacita. Bisa saja yang datang dalam kehidupan kita sangat berat bahkan jauh lebih berat dari mereka yang tidak hidup jujur, atau mereka yang tidak mengenal Allah. Yusuf ketika , di rumah Potifar ia berlaku baik dan jujur kepada Tuhan dan tuannya Potifar, tetapi apa yang ia dapatkan, ia masuk penjara!!! Tidak enak bukan... kita sudah jujur, dan mati-matian untuk berlaku baik, tapi hasilnya, PENJARA.. sangat menyedihkan. Ditambah kemungkinan akan ada ejekan-ejekan dari orang lain yang menyatakan bahwa kita dikutuk karena dosa-dosa kita. Siapa yang yang tahu kapan Tuhan mengutuk manusia, sehingga kita dapat berkata ia dikutuk atau dihukum Tuhan?

Jemaat yang dikasihi Tuhan, pada dasarnya janji Tuhan adalah kekal dan tepat pada waktunya. Sekalipun sepertinya sudah tidak mungkin, tetapi Tuhan memiliki waktu yang tepat untuk janjiNya kepada umatNya.
Yusuf bermimpi bahwa bulan, matahari dan sebelas bintang sujud kepadanya. Namun, kenyataannya ia menjadi budak di Mesir, dan masuk penjara. Tetapi Tuhan menyertainya. Di penjara ia tetap jujur, menafsirkan mimpi dari Juru minuman dan juru roti. Dan yang dikatakannya adalah benar terjadi. Selanjutnya pula dengan mimpi Firaun tentang masa tujuh tahun kelimpahan dan kesusahan di seluruh negeri. Dalam hal ini, tidak sedikitpun Yusuf mengandalkan kekuatannya, melainkan adalah pertolongan dari Tuhan.
Karena apa? Karena Yusuf tidak memikirkan apa yang dipikirkan manusia, tetapi ia berpikir dan berbuat untuk Allah dan bagi Allah. Seperti yang tertulis dalam Kol. 3:23 Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Dalam bacaan kita , dikatakan “TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya. Ini menegaskan tidak selamanya Tuhan membiarkan anakNya dalam penderitaan. Demikian pula dengan Yusuf, dengan kejujuran dan kecakapannya, Firaun mengangkatnya menjadi Gubernur atas seluruh tanah Mesir. Ia menjadi orang yang disegani di Mesir. Semua perkataan dan peraturan yang dibuatnya dilaksanakan. Tidak hanya jabatan yang diperolehnya, tetapi istri dan juga kedua anaknya Manasye dan Efraim. Manasye adalah “Allah telah membuat aku lupa sama sekali kepada kesukaranku dan kepada rumah bapaku” artinya adalah Yusuf menyaksikan tentang kebaikan dan kemurahan Allah dalam hidupnya yang menyelamatkan dia dari penjara dan yang mendatangkan kemuliaan baginya. Dalam hal ini, bukan berarti Yusuf melupakan keluarga dan orang tuanya atau marah dan tidak mau ingat lagi. Tetapi sebaliknya, yaitu Yusuf sangat peduli dan memperhatikan nasib keluarganya (Kej. 45:3, Yusuf bertanya kepada saudara-saudaranya: Masih hidupkah bapa? Yusuf sangat peduli dengan keluarganya).

Yusuf sebagai seorang pengungsi dan asing, serta mantan nara pidana dapat mendirikan rumah tangga di luar negeri, hal ini dianggap Yusuf sebagai suatu hal yang luar biasa, mujizat. Yusuf memuji dan mengakui bimbingan Allah dalam hidupnya yang memberkati dia sepenuhnya. Sehingga ia mau menunjukkan bahwa semua yang diperolehnya adalah perbuatan tangan Tuhan, dan ajaib di mata manusia.

Demikianlah mimpi Yusuf sejak ia masih muda, tetapi nyata ketika ia telah dewasa. Adakah Yusuf mengetahui akan arti mimpinya itu, atau adakah dia mengetahui bahwa suatu saat nanti ia akan menjadi orang terkemuka di Mesir? Tidak seorangpun tahu, tetapi Tuhan yang menggenapi janji-Nya kepada umatNya.
Hanya satu yang dilakukan Yusuf yakni hidup jujur di hadapan Tuhan dan manusia. Karena yang dipikirkannya adalah perkara yang di atas. Dia rela menerima segala tuduhan yang ditujukan kepadanya, sebab ia memikirkan keinginan Allah dalam dirinya.

Bagaimana harus hidup dengan jujur itu:
  1. Harus ada kesadaran dalam diri bahwa Tuhan adalah Tuhan dari semesta alam dan segala isinya. Dengan hal ini memampukan kita untuk hidup setia kepada-Nya. Tidak ada yang lebih kuat atau hebat dari Allah, oleh karena itu, ia Maha mengetahui segala yang kita perbuat. Manusia hanya melihat apa yang kita perbuat, tetapi tidak mampu melihat mengapa kita berbuat.
  2. Tekad yang bulat, membuat kita mampu menjalani setiap rintangan yang ada dengan ucapan syukur. Sehingga setiap masalah dan cobaan yang datang, kita tidak melihatnya sebagai halangan yang berat, tetapi sebagai tantangan untuk kita semakin memurnikan iman kita kepada-Nya.
  3. Penyerahan diri kepada Tuhan. Segala sesuatu yang kita lakukan, semampu kita dan untuk Tuhan dengan demikian kita tetap kuat dalam hidup ini.
  4. Selanjutnya adalah pengharapan. Pengharapan orang Kristen bukanlah pengharapan yang pasif, melainkan pengharapan yang aktif. Artinya tidak hanya menunggu apa yang akan terjadi, tetapi kita juga bekerja dalam pengharapan itu.

Demikianlah Yusuf berlaku jujur terhadap manusia dan Tuhannya. Biarlah kita yang ada di sini juga mampu hidup secara jujur, bukan untuk dipuji atau disenangi manusia, tetapi untuk Tuhan. Sebab pujian dari Tuhan itu adalah berkat yang luar biasa, berbeda dari manusia yang hanya sementara saja. Hidup jujur memang tidak semudah yang kita bayangkan. Ketika kita berani menyatakan yang benar, harus siap dikucilkan, berani mangasihi – siap untuk ditolak, berani menegur yang salah siap untuk dibenci. Tetapi ada penguatan bagi kita sebagaimana Pemazmur berkata : “Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti.” (Ayat 25). Hiduplah dengan penuh kejujuran. Amin.

Pdt. Andreas Joseph Tarigan S.Th, M.Div.
Rg. Harapan Indah

Catatan Sermon
  1. Di dalam perikop kita tidak sekalipun disebutkan bahwa keuntungan menjual makanan menambah kekayaan pribadi Yusuf. Kesempatan memperkaya diri sendiri sangat besar karena, perama dia diberi kuasa penuh (Kej.41:44); kedua, dialah yang secara langsung menangani pengumpulan gandum dan menjualnya (ayat 56).
  2. Kesusksesan kepemimpinan Yusuf: (1) Dia hidup dalam kekudusan dan takut akan Tuhan; (2) Melaksanakan tanggungjawab dengan baik.


Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment