Saturday, 4 April 2015

Renungan / Khotbah Mazmur 4, Minggu 19 April 2015

Invocatio : 
Ya Tuhan, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku! (Mazmur 18 : 3)

Bacaan/ogen : Ibrani/Heber 11:32-40 (Tunggal); Khotbah : Mazmur 4 (Responsoria)

Tema : “Bersama Tuhan Aku Tenang” / ”Ras Tuhan Teneng Aku”

Pendahuluan
Bagaimana kita memaknai situasi yang sedang kita alami akan menentukan perasaan dan tindakan kita. Victor Frankl, berkebangsaan Austria yang merupakan seorang psikolog yang terkenal dengan metode logotherapy-nya mengatakan bahwa, ia telah menemukan hidupnya kembali pada saat bebas dari kamp konsentrasi Auschwitz, Jerman. Pengalamannya di kamp konsentrasi ditulisnya dalam buku, Man’s search for meaning (Manusia mencari arti hidup). Frankl mengatakan dalam bukunya bahwa hidup ini tidak pernah berhenti memberi arti, bahkan dalam penderitaan dan menghadapi kematian sekalipun. Ia menasihati agar dalam keadaan terjepit, carilah seorang teman, keluarga, dan Tuhan yang tidak akan mengecewakan. Selama dalam kamp Konsentrasi, Frankl berusaha melihat kebaikan hidup dan kesetiaan Tuhan, seperti melalui setangkai bunga segar di pagi hari dalam perjalanan menuju tempat kerja paksa. Ia membiasakan diri menemukan kebaikan hidup di tengah beratnya kepahitan dan penderitaan. Menurutnya, selama manusia masih memiliki iman untuk masa depannya, ia akan hidup, tetapi bila ia kehilangan imannya, hidupnya akan berakhir.

Pendalaman Nats
Itulah yang diperlihatkan pemazmur dalam Mazmur 4 yang merupakan sebuah doa pribadi yang memperlihatkan kepercayaannya atau imannya kepada Allah. Di awal dituliskan bahwa Mazmur ini adalah Mazmur Daud. Doa kepercayaan adalah ungkapan ketenangan hati, kedamaian jiwa, kegembiraan dan kekuatan iman di tengah segala kesukaran, tantangan dan penderitaan hidup. Penderitaan yang paling banyak disebut dalam doa kepercayaan perseorangan dalam Mazmur ialah penindasan.

Dalam menghadapi kesukaran dan tantangan dan penderitaan hidup, pemazmur mencari Allah. Pemazmur berseru kepada Allah karena pemazmur telah mengalami, merasakan dan tetap mengingat bagaimana Allah telah menolong dia. Allah memberikan kelegaan ketika dia mengalami kesesakan (ay.2b). Memberi kesukacitaan yang melebihi kelimpahan gandum dan anggur (ay.8). Dan pengalaman itu meneguhkan iman pemazmur bahwa TUHAN akan mendengarkan apabila dia berseru kepada-Nya (ay.2c; 4b).

Pengalaman iman dan kepercayaan pemazmur ini menuntun pemazmur dalam menyikapi hidup dan menghadapi perbuatan musuh-musuhnya. Walaupun pemazmur mengalami ketertekanan dan ketertindasan atas perbuatan musuh atau lawannya (ay.3) namun pemazmur tidak menghadapinya dengan amarah atau membalas dengan tindakan kejam. Justru sepertinya pemazmur menasehati agar mereka bisa menguasai diri sehingga biarpun mereka marah mereka tidak berbuat dosa; tetap diam, hanya berkata-kata dalam hati dan mempersembahkan korban yang benar serta percaya kepada TUHAN (ay5,6).

Pemazmur tidak hanya berseru kepada Tuhan untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang banyak agar cahaya wajah TUHAN menyinari pemazmur dan orang banyak, yang bertanya-tanya siapa yang akan memperlihatkan yang baik kepada mereka. (ay.7)

Walaupun ada kesukaran, tantangan dan penderitaan hidup namun pemazmur memiliki ketenangan hati, kedamaian jiwa, kegembiraan karena pemazmur percaya dan menyerahkan dirinya kepada TUHAN (ay.9). Bagi pemazmur, TUHAN adalah perisainya sebagaimana dinyatakan dalam invocatio : Ya Tuhan, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!
Bersama Tuhan pemazmur tenang.

Aplikasi
Apa bedanya rumah A dengan rumah B, kalau keduanya sama-sama kena hujan dan panas matahari? yang membedakan adalah fondasinya. Fondasi menentukan rumah yang satu lebih kuat dari rumah yang lain. Beriman kepada Allah adalah fondasi dalam hidup. Beriman kepada Allah artinya percaya dan memercayakan diri kepada Allah. Allah yang menjadi penguasa dan penuntun dalam hidup dan dalam memaknai setiap pengalaman kehidupan. Pemazmur telah memperlihatkannya dalam Mazmur 4 dan dalam invocatio. Demikian juga tokoh-tokoh seperti Gideon, Barak, Simson, Yefta dan Samuel dan para nabi seperti yang diutarakan dalam bahan bacaan Ibrani 11:32 – 34 menjadikan iman fondasi hidup mereka. Victor Frankl juga berdasarkan pengalaman hidupnya seperti yang diutarakan dalam bagian pendahuluan menyatakan bahwa, selama manusia masih memiliki iman untuk masa depannya, ia akan hidup, tetapi bila ia kehilangan imannya, hidupnya akan berakhir. Bersama Tuhan orang-orang ini merasa tenang.

Bagaimana dengan kita? Kiranya kita perlu sadar dan waspada sebab di zaman yang bisa dikatakan serba tekhnologi, hari-hari ini sepertinya bukan lagi “Bersama Tuhan Aku Tenang” tetapi “Bersama Tekhnologi atau Smarthphone Aku Tenang”. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sikap atau gaya hidup yang diperlihatkan dan dipraktekkan hari-hari ini :
  1. Bangun pagi bukan lagi saat teduh dan berdoa, melainkan langsung foto close up dan update status di Facebook atau Twitter atau Instagram atau media sosial lainnya.
  2. Sepanjang hari, benda yang paling sering dan paling lama dipegang adalah handphone/smarthphone, bahkan berjalan pun sambil menunduk.
  3. Makan pagi, siang dan malam diawali dengan foto-foto makanan lalu update status sebelum makanan itu disantap dan lupa berdoa karena kelamaan foto makanan dan update status sehingga keburu lapar.
  4. Hafal nomor PIN teman-teman, tetapi tidak hafal isi Yohanes 14 : 6
  5. Hubungan di tengah keluarga pun tidak lagi sehati dan harmonis sebab yang ada dihati masing-masing anggota keluarga adalah smarthphone-nya. Duduk bersama dalam satu ruangan tetapi masing-masing dengan keasyikannya sendiri, dengan smartphone masing-masing.
  6. Ironisnya, punya follower banyak, tetapi kesepian karena tidak punya teman saat makan siang di kantor.

Apa jadinya bila smarthphone yang menjadi penguasa dan dasar hidup bukan lagi Tuhan?

Kita tidak akan mendapatkan ketenangan sebab materi kerap seperti air laut; semakin kita meminumnya kita semakin haus, semakin kita memperolehnya semakin kita merasa kurang, kita tidak pernah merasa cukup. Akibatnya, kita tidak dapat menikmati apa yang ada, mensyukuri apa yang dimiliki. Keinginan demi keinginan menguasai hati dan pikiran. Ketika keinginan sudah menjadi tuan, orang tidak akan segan menghalalkan segala cara; apapun akan dilakukan, yang penting keinginannya tercapai. Orangtua yang begitu ingin anaknya masuk sekolah favorit lalu menyogok atau pejabat yang begitu ingin cepat kaya lalu korupsi. Dan hal ini pun bisa terjadi dalam lingkungan gereja bila yang telah menjadi penguasa adalah keinginan. Di sisi lain, bila keinginan begitu menguasai maka, kalau tidak tercapai orang bisa sangat putus asa dan kecewa. Tragedi kemanusiaan, seperti yang tampak pada kasus bunuh diri, mabuk-mabukan, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang, kerap berawal dari keputusasaan dan kekecewaan yang dalam.

Marilah kita menyadari hal ini dan mempercayakan diri hanya kepada Tuhan. Bersama Tuhan kita tenang. Jadikanlah iman kepada Tuhan fondasi hidup kita hingga dengan iman kita memaknai setiap peristiwa dalam hidup : baik susah maupun senang, baik sehat maupun sakit, baik suka maupun duka. Iman memungkinkan kita melihat pelangi di balik badai sehebat apa pun. Iman membuat kita tetap memiliki pengharapan walau hidup kita sepertinya gelap pekat. Iman memuat kita tidak kehilangan pegangan, kendati berbagai-bagai arus penderitaan menerpa. Sebab kita percaya Tuhan beserta kita, Amin.


Pdt.Asnila br Tarigan
Perpulungen Makassar

  1. Alkitab Edisi Study, Jakarta, LAI, tahun 2010.
  2. Marie C.Barth & B.a.Pareira, “Tafsiran Alkitab Kitab mazmur 1 – 72 – Pembimbing Dan Tafsirannya”, Jakarta, BPK-GM, tahun 2008.
  3. Joas Adiprasetya, “Raja Yang Menderita – Kumpulan Khotbah Reflektif Tentang Anugerah Keselamatan”, Jakarta, BPK-GM, tahun 2012.
  4. Samuel Cahyadi, “No “Galau” Anymore – Kumpulan Ilustrasi Lucu & Segar”, Yogyakarta, Andi, tahun 2014.
  5. Ayub Yahya, “100 Renungan Hidup Berkemenangan”, Jakarta, Hodos, tahun 2013
  6. Samuel H. Tirtamihardja, “Inspirasi 5 Menit vol.4”, Jakarta, Inspirasi, tahun 2012


Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment