Sunday, 30 August 2009

Aseeb-Khotbah Mazmur 133:1-3, Minggu 23 Agustus 2009

Introitus: 1 Samuel 20:17; Pembacaan : Lukas 10:25-37;
Khotbah : Mazmur 133:1-3
Thema :
Hargailah sesama manusia/Ergailah teman manusia

Pendahuluan
Kalau disuruh memilih, hidup rukun dan tidak rukun (harmonis dan tidak harmonis), saya pikir jarang ada orang, bahkan mungkin tidak ada yang memilih untuk hidup tidak rukun atau tidak harmonis. Namun kenyataannya yang justru sering terjadi ialah hidup yang tidak/kurang rukun. Tidak rukun dengan mertua, dengan sesama saudara, dengan pasangan, dengan anak-anak, dengan tetangga, antar etnis, kelompok dan golongan, antar bangsa, dsb. Mengapa bisa demikian? Banyak faktor yang menyebabkannya. Diantara banyak penyebab tersebut penyebab utama karena kita kurang atau tidak mampu menghargai orang lain sebagaimana ia ada. Kita mau orang lain seperti yang kita mau/harapkan. Ketika itu tidak tidak terjadi, apa lagi ketika kita sudah berusaha mengubahnya dengan memberi menasehati, membimbing atau mengarahkannya, dsb, namun juga tidak berubah, kekecewaan kita akan semakin dalam yang akhirnya mempengaruhi hubungan kita menjadi tidak harmonis. Hal yang lain karena sejak kecil, disadari atau tidak sudah ditanamkan bibit-bibit permusuhan. Misalnya bahwa orang kristen itu kafir, atau islam itu tidak baik karena itu tidak boleh bergaul atau melakukan pertemanan. Pengaruh doktrinasi seperti ini sangat mempangaruhi hubungan antara sesama manusia. Seperti seorang ahli taurat yang ingin mengcobai Yesus dalam pembacaan kita[1], ketika Yesus menganjurkannya untuk melakukan “mengasihi Allah dan sesama manusia, ia balik bertanya kepada Yesus “siapakah sesamaku manusia? Pertanyaan ini dilatarbelakangi karena menurut ajaran yang diterima sejak kecil bahwa sesama manusia itu hanyalah orang Yahudi/Israel, diluar komunitas tersebut bukan sesama manusia. Tidak demikian dengan seorang Samaria dalam cerita Yesus. Ketika ia melihat orang yang membutuhkan pertolongan segera ia bertindak menolong. “Belas kasihan” yang mengalir dalam hatinya mendorongnya ngenghargai orang yang “tersamun” tersebut sebagai sesama manusia. Tidak hanya merasa kasihan, tetapi melakukan tindakan konkrit dengan memberikan pertolongan. Jadi hati yang masih dialiri rasa belas kasihanlah yang memungkinkan kita mengharagai orang lain, mengasihi dan bertindak menjadi sesama bagi orang lain tanpa terkecuali.
Bagaimana supaya dalam hati kita senantiasa tergerak oleh belas kasihan, sehingga kita boleh hidup saling menghargai sebagai sesama ciptaan Tuhan? Jawabannya adalah jikalau kita tinggal dan hidup dalam Tuhan Yesus[2] dan mau dipimpin oleh Roh Kudus[3].
Pendalaman Nas
Kata nyanyian ziarah dari Daud ini menggambarkan situasi saat itu, di mana kebiasaan orang Israel yang berkumpul beramai-ramai membangun tenda untuk merayakan hari-hari perayaan tertentu. Nyanyian ziarah bukan berarti nyanyian ke kuburan tapi nyanyian arak-arakan karena bangsa Israel waktu itu merayakan hari-hari tertentu[4]. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya itulah kata-kata pembukaan dimana Daud mau menggambarkan suasana umat berbagai penjuru Israel berkumpul di Yerusalem di dalam kerukunan, keakuran, keharmonisan, dan keguyuban.
Pemazmur menggambarkan berkat-berkat kerukunan itu dalam dua gambaran. Yang pertama, “seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya”. Minyak mempunyai makna kesukaan[5], keharuman[6], ketentraman[7], juga penyucian[8]. Sehubungan dengan minyak pengurapan imam, kelimpahan minyak urapan menggambarkan bahwa Tuhan memberkati umatnya dengan berkelimpahan melalui persekutuan mereka. Kedua, akibat atau dampak kesatuan/kerukunan itu digambarkan juga “seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion”. Kita yang pernah tinggal di berastagi, khususnya doulu, tidak asing dengan apa yang disebut embun. Embun dalam nas kita memberikan pemahaman utama sebagai kesegaran ilahi yakni karunia kehidupan yang berkemenangan[9]. Pengkaitan gunung Hermon yang terletak di Kerajaan Israel Utara dan gunung-gunung Sion di Kerajaan Israel Selatan (Yerusalem) memberi petunjuk bahwa (1) Walaupun kerajaan Israel Utara dan Selatan mempunyai pemerintahan berbeda tetapi mereka adalah saudara yang seharusnya hidup rukun. Dan Allah akan memberikat berkatNya kepada umatNya apa bila mereka hidup rukun, hidup dalam persaatuan, (2) Walaupun secara geografis, kedua lokasi Gunung Hermon dan Sion tersebut jauh sekali, tapi adalah sebuah mujizat jika embun dapat mengalir begitu jauhnya. Begitulah kasih dan kuasa Tuhan mengalir ke semua manusia, apalagi ke setiap anak-Nya yang hidup dalam persekutuan yang rukun. Sesungguhnya hidup dalam persekutuan yang rukun/harmonis sudah merupakan mujizat anugrah ilahi dimana berkat pribadi saling dibagikan untuk keberuntungan bersama. Persekutuan demikianlah yang menyenangkan hati Tuhan sehingga Ia mencurahkan berkat-berkatnya atas mereka.
Pointer Aplikasi
1. Persahabatan Daud dan Jonathan yang menjadi model persahabatan yang sejati dimungkinkan karena mereka saling menghargai. Persahabatan mereka tidak memandang status sosial dan juga tidak saling memanfatkan. Tetapi persahabatan yang lahir dari pertalian rohani yang saling mengasihi seperti diri sendiri.
2. Kita diciptakan bukan supaya menjadi homo homini lupus, tetapi menjadi homo homini homo. Namun mengapa kenyataannya justru yang sering terjadi ialah menjadi homo homini lupus? Tidak lain karena natur keberdosaan kita membuat kesegambaran kita dengan Allah menjadi rusak sehingga bukan pri-kemanusiaan kita yang lebih dominan tetapi pri-kebinatangan kita. Tampilan kehidupan yang demikian nampak ketika seseorang begitu takut, atau sungkan yang berlebihan, menjilat secara tidak tahu malu mereka yang mempunyai kekuatan, kekuasaan, kekayaan yang jauh melebihi dirinya dan berlaku sombong, angkuh, memandang remeh/kecil dan bahkan menindas mereka yang lemah. Oleh karena itu agar pri-kemanusiaan kita yang lebih dominan (homo homini homo) menurut Paulus jikalau kita mau dipimpin Roh Tuhan, kita mau hidup dalam persekutuan dengan Tuhan Yesus.
3. Allah menyatakan melalui nas renungan kita bahwa Ia akan mencurahkan berkat-berkatnya kepada orang yang hidup dalam persekutuan yang rukun. Bagaimana supaya kita dapat hidup dalam persekutuan yang rukun? Apabila kita hidup saling menghargai. Benar! Kita seharusnya hidup saling menghargai. Walaupun kita berbeda-beda baik marga, asal daerah, kebiasaan adat, status sosial, dll, yang pasti kita semua adalah sama-sama mahluk ciptaan Tuhan. Karena itu janganlah kita lebih menghargai ciptaan lain dari pada sesama kita manusia. Mengapa hal ini dikemukakan? Sebab bukankah orang sering memilih berseteru dengan sesama manusia hanya demi uang, kekayaan, tanah, harta milik, dsb? Bukankah sangat ironi jikalau gara-gara tanah atau binatang atau bahkan karena berlainan agama terpaksa saling membunuh? Dalam keluarga kita apakah kita lebih menghargai anggota keluarga kita lebih dari uang, jabatan, popularitas, hobi? Apakah kita lebih banyak meluangkan waktu untuk suami/istri, anak-anak, orang tua dari pada menghabiskan waktu berjam-jam nonton TV, memelihara hewan kesukaan kita atau hal-hal yang sebenarnya tidak penting? Marilah kita lebih menghargai sesama kita manusia, terutama mereka yang ada di dekat kita sebagaimana Tuhan sudah menghargai kita dengan menebus kita melalui kematianNya di kayu Salib.
Pondok Gede, 19 Agustus 2009
Pdt.S.Brahmana
------------------------------------------
[1] Lukas 10:25-37
[2] Bd.Yohanes 15:5-10
[3] Bd.Roma 8:5-14
[4] Tafsiran Masa Kini, hal.271
[5] Bd.Mazmur 23:5; 104:15
[6] Bd.Kidung Agung 1:3
[7] Yesaya 1:6
[8] Bd.Keluaran 30:22-33
[9] Bd.Mazmur 110:3




Artikel lain yang terkait:



2 komentar:

Peter lau said...

Mauliate Amang Pendeta untuk artikelnya. Sangat menolong umat Tuhan. Mari kita terus memberitakan Injil. Tuhan memberkati Hasangapon ni Debata.Syalom dan salam kenal, Horas..Horas..Horas.

Anonymous said...

Mohon check situs ini: http://okagulo.blogspot.com/2011/05/indahnya-hidup-bersama-dalam.html. Nampaknya, pemilik blog tersebut mengutip tulisan bapak Pendeta S. Brahmana. Terima kasih.

Post a Comment