Friday, 28 May 2010

Asseb-Khotbah Lukas 12:1-12, Minggu 30 Mei 2010

Thema:
TAKUTLAH KEPADA ALLAH
(Mbiarlah man Dibata sebab Ia singkawali).

Introitus: Kolese 2:7; Pembacaan: Mazmur 57:1-4
Khotbah: Lukas 12:1-12

Pendahuluan
Umumnya orang pernah merasa takut. Takut kehilangan pacar, takut kehilangan orang yang dicintai. Ada yang takut karena masa depan. Ada lagi yang takut karena ada setan, dll. Mengenai rasa takut ini dipahami sebagai hal yang wajar, namun dianggap kurang beriman. Namun tidak demikian dengan merasa takut kepada Allah. Takut kepada Allah dipahami sebagai indekator beriman. Kata “takut” kepada Allah di dalam Alkitab tidak boleh dipahami selalu sama artinya. Dalam bahasa Karo kata “takut” yang ditujukan kepada Allah ada kalanya tidak diterjemahkan dengan kata “mbiar” tetapi “erkemalangen”. Kata “biar” dalam kamus bahasa Karo diterjemahkan sebagai “takut, tidak berani, khwatir, gentar”. Berbeda dengan kata “malang” (erkemalangen) yang diterjemahkan sebagai “hormat, segan, wibawa, malu, takut. Kata erkemalangen memang ada unsur takut tetapi yang ditonjolkan rasa hormat. Jadi “erkemalangen” kepada Tuhan, tidak hanya ada perasaan takut, tetapi juga hormat (hormat karena kebaikannya, keteladanannya, kasihnya, dll), sebab bila hanya ada perasaan takut maka kita cendrung menjauhi orang yang kita takuti tersebut, atau ketika diseruh melakukan suatu tanggungjawab dikerjakan tetapi tidak dengan tulus, bisa bersikap munafik. Saya ingat waktu masih sekolah SMP. Pada waktu disuruh kerja bakti atau membersihkan halaman sekolah saya akan rajin, sungguh-sungguh jika diawasi oleh guru, tetapi sebaliknya jika tidak ada guru. Mengapa demikian? Jawabnya karena takut, sehingga apa boleh buat dikerjakan walaupun tidak dengan tulus.

Pendalaman Nas
Dalam perikop kita (Lukas 12:1-12), kita menemukan kata “mbiar” (takut) yang ditujukan kepada Allah dan juga kata “erkemalangen” dalam ayat 5[1]. Kata takut dalam ayat ini dihubungkan dengan kemahakuasaan Allah melebihi apapun. Allah tidak hanya dapat membunuh tetapi juga melemparkan orang ke dalam neraka. Berbeda dengan kuasa manusia atau apapun di dunia ini. Mereka hanya dapat membunuh tubuh, tetapi setelah itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Oleh karena itu, dalam konteks ini para murid Yesus diperingatkan agar tidak takut kepada apapun kecuali kepada Allah. Oleh karena itu, dalam konteks ini ketika orang banyak telah berkerumun yang disebut dalam ayat 1 beribu-ribu, Yesus memberi pengajaran khusus kepada para muridNya agar tidak takut kepada apapun kecuali kepada Allah.

Ada beberapa hal pengajaran Yesus kepada muridNya. Disamping mengenai masalah kepada siapa kita seharusnya takut, juga Yesus mengingatkan para muridNya beberapa hal yang penting. Pertama, mengenai kemunafikan. Mengenai hal ini Yesus dengan fulgar mengingatkan para muridNya agar berhati-hati menjaga hidup sehingga tidak dipengaruhi ajaran (ragi) orang parisi yang nampak dalam cara-cara hidup dan keberagamaannya yang manafik (hidup yang pura-pura baik, alim, kudus, dsb) atau hypokris yang berarti man sandiwara secara kiasan. Mengenai hal ini Yesus mengatakan bahwa suatu hari semuanya akan disingkapkan. Benar seperti salah satu lagu yang dinyanyikan Friskila Group yang antara lain syairnya “dihadapan manusia boleh kau bersandiwara tetapi jangan kepada Tuhan”. Artinya bahwa kemunafikan kita mungkin tidak diketahui manusia, tetapi tidak demikian bagi Tuhan. Dan Tuhan sangat membenci kemunafikan. Itulah mengapa secara fulgar Yesus menyebut kemunafikan orang Farisi pada zamannya. Kedua, janji pemeliharaan Tuhan secara mendetail. Hidup lebih takut kepada Tuhan dari apapun di dunia ini hanya mudah mengucapkannya tetapi tidak demikian dalam prakteknya, demikian juga hidup tidak munafik atau berpura-pura. Dalam hal ini Yesus mengingatkan para muridNya agar jangan takut terhadap apa pun sebagai konsekwensi hidup takut akan Tuhan dan hidup yang tidak munafik. Bagi orang yang konsisten hidup takut akan Tuhan akan dipeliharakan. Tetapi sebaliknya, boleh jadi orang yang tidak takut akan Tuhan serta orang yang hidup munafik kelihatannya aman-aman saja bahkan kelihatan berhasil dalam hidupnya, namun itu hanya sementara, paling lama selama hidup di dunia yang singkat ini setelah itu akan mengalami kebinasaan. Oleh karena itu Yesus mengingatkan agar muridNya jangan takut apapun selain takut kepada Allah. Jikalau burung pipit yang dijual 5 ekor dua duit juga dipelihara Tuhan, tentu lebih lagi murid-muiridNya. Ketiga, agar jangan takut mengaku terang-terangan sebagai pengikut Kristus. Titik puncak seruan agar tidak takut ini terletak dalam ayat 11-12. Dalam sejarah gereja ada satu tokok yang bernama Polikarpus. Ia terkenal karena kesetiaan dan keberaniannya tetap mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruslamatnya. Walaupun dia diancam dengan hukuman dibakar hidup-hidup oleh kaisar Roma pada waktu itu (tahun 155/156), Polikarpus tidak mau menyangkal dan mengutuk Yesus. Akhirnya ia dibakar hidup-hidup dan mati sebagai martir. Mengapa Polikarpus bersikap demikian? Apakah dapat dikatakan Polikarpus mati konyol karena tidak berlaku cerdik? Mungkin dunia menganggap Polikarpus sangat bodoh, seharusnya Polikarpus menyangkali Yesus saja dengan mulut, tetapi yang penting dalam hati tidak demikian. Cara ini memang cerdik dan sering dilakukan oleh orang Kristen untuk membenarkan diri dari rasa bersalah karena telah menyangkal TuhanNya. Mereka menghibur diri dengan mengatakan yang penting hati. Hati-hati terhadap hal ini. Iblis itu terlalu cerdik untuk dikalahkan. Ada satu contoh mengenai hal ini. Seorang permata yang sudah tamat SMEA sedang mencari pekerjaan. Mengetahui hal ini, ada keluarga kristen yang menawarkan dapat membantu menjadi PNS dengan syarat ada KTP beragama tertentu, yang bukan kristen. Ketika mendapat tawaran tersebut si permata menyanggupi membuat KTP dengan pembenaran diri bahwa itu hanya KTP, yang penting hati saya tetap percaya kepada Yesus Kristus, batinnya. Singkat cerita si permata benar mendapat pekerjaan menjadi PNS. Ia sangat bersyukur kepada Tuhan Yesus. Namun setelah bekerja lebih kurang 3 bulan ada perubahan yang menyolok. Pertama ia menanggalkan kalung salib yang selama ini selalu menghiasi lehernya. Kemudian tidak lama setelah itu, gambar-gambar Tuhan Yesus yang ada di rumah orang tuanya juga diturunkan, dengan alasan ia malu kalau teman-teman kantornya datang. Demikian seterusnya dan akhirnya pindah agama. Berdasarkan kisah nyata ini, kiranya menjadi peringatan kepada kita agar tidak menyangkal Yesus dalam bentuk apa pun. Sebab sangat jelas dikemukakan dalam ayat 8 dan 9 dan juga dalam Matius 10:32,33 “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga”. Sehubungan dengan hal ini, berbeda dengan menentang “anak manusia” dalam ayat 10. Menentang karena belum mengenal atau belum percaya kepada Yesus masih bisa diampuni jikalau kemudian ia percaya kepada Yesus dan bertobat. Tetapi tidak demikian jikalau menghujat Roh Kudus. Yang dimaksud “menghujat” (Yunani “blasphemeo”) Roh Kudus ialah ketika seseorang dengan sengaja menolak pernyataan Roh Kudus seperti penyembuhan orang yang dirasuk setan, yang buta dan bisu yang dilakukan Yesus[2] dengan menginaNya sebagai karya setan[3]. Atau dengan kata lain, jika seseorang oleh penerangan Roh Kudus sudah tahu bahwa Yesus sungguh-sungguh adalah Juruslamat, namun ia tidak mau tahu terhadap apa yang dia sudah tahu tersebut dengan menghinanya, memfitnahnya dengan mengatakan sebaliknya dari penerangan yang telah diberikan Roh Kudus, maka orang tersebut tidak dapat diampuni.

Pointer Aplikasi
(1) Kalau kita diminta jujur, apakah yang paling kita takuti dalam hidup ini? Adakah kita paling takut kepada Tuhan? Terserah apa jawaban kita. Yang pasti melalui Firman Tuhan Minggu ini, kita diingatkan agar jangan takut kepada manusia betapa pun besarnya pengaruh atau kuasanya di dunia ini sebab mereka hanya mampu membunuh tubuh setelah itu tidak berkuasa apa pun, tetapi kepada Tuhan yang tidak hanya membunuh tetapi juga mempunyai kuasa melemparkan orang ke dalam neraka. Pernyataan Yesus dalam ayat 4 bukan sebagai lehitimasi agar berlaku sesuka hati, atau sombong. Tidak. Sebab tanda takut kepada Tuhan berimplikasi terhadap sikap hidup yang benar, tidak munafik atau berpura-pura sebaliknya menghormati pemimpin, mengasihi semua manusia, serta hidup jujur. Tidak takut dimaksud, tidak takut untuk memperlihatkan hidup setia dan patuh kepada Tuhan. Ada satu kesaksian mengenai hal ini. Ada seorang pertua, ia dipercayakan sebagai salah satu kepala bidang di tempatnya bekerja. Ia jujur, tidak mau neko-neko. Yang menarik dalam hidup pertua ini, dia tidak pernah takut menyatakan kepatuhannya kepada Tuhan dimana pun dia berada. Ketika ada pertemuan yang dilakukan pada hari Minggu, ia dengan berani dan berterus terang meminta ijin untuk beribadah kepada pimpinannya. Dan menurut kesaksian pertua ini, walaupun pimpinannya atau teman-temannya bukan beragama kristen namun mereka tidak pernah menghalanginya untuk beribadah, atau dengan sikapnya tersebut mempersulit karirnya. Mengapa? Karena memang pertua ini sungguh-sungguh beribadah. Jikalau 3 jam dibutuhkan untuk pergi pulang dan beribadah, ia benar-benar konsisten dengan waktu tersebut. Ia tidak memanfaatkan alasan beribadah dengan kegiatan lain.

(2) Benar bahwa manusia juga dapat menolong dan melindungi kita. Tetapi kuasanya sangat terbatas. Terlebih kita akan sering kecewa jikalau mengandalkan manusia. Itulah yang banyak terjadi sehingga ada keluarga yang tidak mengaku keluarga lagi, bahkan ada sahabat yang telah menjadi musuh, dsb. Tetapi tidak demikian dengan Tuhan. Perlindungannya sempurna. Pertolongannya tepat pada waktunya. Dan terlebih Ia mampu dan mau menolong kita apa pun persoalan hidup kita. Itulah yang disaksikan Daud dalam pembacaan kita, Mazmur 57:1-4. Yang perlu kita lakukan ialah takut akan Dia, dalam arti “erkemalangen” kepadaNya.

Pondok Gede, 28 Mei 2010
Pdt.S.Brahmana

--------------------------------
[1] Bd. Alkitab bahasa Karo
[2] Bd.Matius 12:22-31; Lukas 11:14-26
[3] Dr.H.Hadiwijono, Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986, hal.250


Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment