Thursday, 23 December 2010

Tahun 2010, Tahun Kelam Kebebasan Beragama di Indonesia

Jakarta, Kompas - Moderate Muslim Society menilai tahun 2010 sebagai tahun kelam kebebasan beragama di Indonesia. Sepanjang tahun 2010, setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Hal serupa dikemukakan The Wahid Institute.

Ketua Moderate Muslim Society (MMS) Zuhairi Misrawi, Selasa (21/12) di Jakarta, mengatakan, Provinsi Jawa Barat perlu mendapat perhatian khusus karena lebih dari separuh kasus intoleransi di Indonesia meledak di daerah tersebut. MMS mencatat, 49 kasus intoleransi, atau 61 persen dari keseluruhan kasus, berlangsung di Jawa Barat. Dari 49 kasus yang ada di Jawa Barat, sebagian besar di antaranya terjadi di Bekasi, Bogor, Garut, dan Kuningan.

”Jumlah tersebut jauh lebih banyak daripada di daerah-daerah lain,” ujar Zuhairi dalam diskusi yang membahas laporan akhir tahun Toleransi dan Intoleransi 2010 yang digelar MMS. Hadir pula sebagai pembicara dalam diskusi itu Ahmad Saleh, pengurus Ahmadiyah, dan Romo Benny Susetyo Pr dari Konferensi Wali Gereja Indonesia.

Zuhairi menengarai, ada dua faktor utama penyebab eskalasi kekerasan akibat sikap intoleran meningkat di Jawa Barat. Faktor pertama adalah pembiaran yang dilakukan oleh negara. ”Faktor kedua ialah rendahnya pendidikan agama yang toleran di provinsi ini,” tutur Zuhairi.

Meski demikian, ia juga melihat bahwa faktor politik, yakni pemilu kepala daerah, juga menjadi penyebab terjadinya kekerasan.

Pemerintah membiarkan

Secara terpisah, Direktur The Wahid Institute Zannuba Arifah Chafsoh atau yang akrab dipanggil Yenny Wahid juga menilai, kebebasan beragama dan situasi toleransi beragama di masyarakat pada tahun 2010 mundur.

”Pemerintah belum berpihak kepada korban diskriminasi agama dan cenderung membiarkan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu. Akibatnya, kelompok masyarakat itu semakin berani melakukan kekerasan,” kata Yenny Wahid.

Hasil pemantauan The Wahid Institute sepanjang 2010, ditemukan 63 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Ironisnya, pelaku pelanggaran kebebasan beragama paling banyak justru pemerintah daerah dan kepolisian (72 persen).

Bentuk pelanggaran yang dilakukan meliputi pembatasan dan pemaksaan untuk meninggalkan keyakinan tertentu (25 kasus atau 40 persen), pencabutan izin atau pelarangan menggunakan rumah ibadah (19 kasus atau 30 persen), serta pembiaran tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat terhadap umat beragama (14 kasus atau 22 persen).

Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Majelis Permusyawaratan Rakyat T Gayus Lumbuun menilai, negara tidak dapat menjamin kebebasan warga untuk beribadah, seperti diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.

”Oleh karena itu, saya menganggap negara dalam keadaan darurat bencana sosial,” kata Gayus Lumbuun di Jakarta, saat menerima perwakilan jemaat Huria Kristen Batak Protestan Betania Rancaekek, Bandung, Jawa Barat.
Sumber:


Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment