KEPEMIMPINAN PASTORAL DALAM VISI DAN MISI GEREJA
Oleh : Vic. David A. Barus, S.Th
I. Pendahuluan
Kepemimpinan Pastoral Kristen dalam kaitannya dengan visi dan misi gereja harus dilihat berdasarkan Alkitab, mesti dilihat sebagai kepemimpinan yang melayani persekutuan umat Allah dalam arak-arakan melintasi dunia menuju akhir yang jelas dalam perspektif ekskatologis yang sudah tiba dan akan digenapi. Karena itu sosok yang paling dibutuhkan dan tepat adalah sosok seorang gembala, yaitu Yesus. Dalam kehidupannya, Yesus bukan hanya melaksanakan amanat Bapa-Nya akan tetapi lebih dari hal itu, Ia memiliki visi dan misi yang jelas bagi umat manusia dan juga gereja-Nya.
II. Isi
Kepemimpinan Gereja
Pengertian Kepemimpinan Gereja dan Administrasi Gereja
Kepemimpinan adalah perihal memimpin yang merupakan suatu seni tata cara atau kemampuan untuk membimbing. Menentukan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Organisasi sering diartikan sebagai badan atau lembaga atau institusi misalnya perusahaan, koperasi, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Dan pengorganisasian adalah proses menciptakan hubungan antar fungsi-fungsi, personalia dan faktor fisik agar kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan disatukan dan diarahkan pada pencapaian impian bersama. Tidak jauh beda halnya dengan pemahaman gereja sebagai sebuah organisasi. Dalam gereja, kepemimpinan secara organisasi memainkan peranan yang vital dalam kegiatan gereja. Seorang pemimpin gereja sebutlah misalnya paus, ephorus, atau sekjen harus benar-benar memahami tugas dan panggilan gereja dan keberadaan gereja dalam dunia ini.
Dalam kaitan dengan hal itu perlu dibahas mengenai pengertian gereja sebagai organisasi secara sosiologis dan teologis. Dimana hal ini memiliki keterkaitan dengan kepemimpinan yang berlaku dalam gereja. Adapun pengertian tersebut adalah sebagai berikut yaitu:
- Gereja sebagai organisasi secara sosiologis yakni gereja tersebut terdiri dari orang-orang percaya kepada Kristus membentuk suatu persekutuan untuk mencapai suatu tujuan demi kemuliaan Allah di dunia yang tidak dapat terlupakan dari sudut bagian sosial kemasyarakatan.
- Gereja sebagai organisasi secara teologis yakni persekutuan orang percaya yang telah dipanggil dan diutus oleh Tuhan untuk bermisi sehingga haruslah membentuk suatu sistem pengorganisasian yang baik. Di dalam membangun makna bersaksi bersekutu, dan melayani memakai sistem pengorganisasian sebagai berikut, bentuk episkopal sinodal, presbiteral sinodal, kongregasional sinodal.
Administrasi sebagai suatu usaha dan kegiatan yang meliputi seluruh kegiatan dalam proses kerjasama antar sesama manusia dalam suatu organisasi, kelompok bahkan gereja untuk mencapai tujuan yang telah disepakati sebelumnya. Tujuan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tujuan dasar dari berdirinya gereja di dunia ini, dan bukan semata-mata tujuan yang telah disepakati oleh para pemimpin gereja dalam sebuah persidangan gerejawi. Dengan antara kepemimpinan gereja dan administrasi gereja merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya ada untuk saling melengkapi tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan oleh Allah dalam gereja.
Bagian-bagian dalam kepemimpinan
Dalam membahas kepemimpinan pastoral dalam kaitan dengan visi dan misi, terdapat bagian-bagian penting yang menjadi dasar atau pun pola yang pada umumnya dianut oleh gereja-gereja. Dimana bagian-bagian tersebut mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap gereja dan tugas serta tanggung jawab yang diemban oleh gereja. Berikut ini adalah bagian-bagian tersebut yaitu:
(1) Jenis-jenis kepemimpinan gereja
Kepemimpinan Kristen yaitu kemampuan, kesanggupan yang diberikan Allah kepada seseorang atau kelompok untuk membimbing, megarahkan dan menggerakkan seseorang atau kelompok yang lain sesuai dengan rancangan dan tujuan Allah yakni menjadi berkat bagi dunia dan lingkungan. Ada beberapa jenis kepemimpinan yakni kharismati, otokratis dan paternalistic. Sedangkan tipe kepemimpinan yakni kepemimpinan pribadi, nonpribadi dan alamiah. Jenis kepemimpinan jika ditinjau dari aspek psikologis yakni kepemimpinan yang bertahan atau serba terima, kepemimpinan yang serba menimbun, kepemimpinan yang bersifat menyerang, kepemimpinan marketing dan produktif. Dan ada 2 jenis/ gaya kepemimpinan Kristen yaitu melayani dan mengasihi.
(2) Aspek-aspek kepemimpinan.
Aspek-aspek kepemimpinan berarti tanda, sudut pandang atau jenis perbuatan oleh pemimpinan suatu kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama sambil menggunakan sarana dan perasana yang ada untuk mencapai tujuan. Aspek-aspek kepemimpinan meliputi visi, integritas, pengaruh, multiplikasi, kreatifitas dan doa. Perbedaan yang eksensial antara kepemimpinan Kristen dan dunia yaitu terlihat dari pengandalan akan kuasa, kedudukan, jabatan, uang, dan penggunaan logika dalam kepemimpinan.
(3) Efektifitas dan efesiensi kepemimpinan
Efektifitas berhubunhgan dengan kualitas. Dan seorang pemimpin tersebutdisebut efektif apabila ia memiliki kualitas kepemimpinan di dalam dirinya. Ia mampu menjalankan roda organisasi ke arah yang lebih baik dan tepat guna. Efisiensi kepemimpinan ini diakui dengan sejauh mana seorang pemimpin dapat berdaya guna serta terbukti mampu dengan baik. Dan dia juga harus memiliki efeksifitas yang baik. Hal ini dapat dibuktikan melalui efesiensi terhadap pengelolaan waktu, pengelolaan tenaga dan dana (biaya).
(4) Hakekat kepemimpinan.
Hakekat berarti inti sari atau dasar, kenyataan yang sebenarnya dan sesungguhnaya. Dalam PL pemimpin berarti seorang yang mapu untuk memberikan perlindungan dan menciptakan perdamaian bagi orang disekitarnya. Dalam PB pemimpin dapat dimengerti sebagai seorang yang menunjukkan jalan terutama berjalan di depan, menuntun, membimbing, mengambil awal langkah serta mempengaruhi orang lain. Hakekat kepemimpinan kristen haruslah berdasarkan panggilan Tuhan, adanya pengaruh dan kuasa kepemimpinan yang besar dari pemimpin, menerapkan kepemimpinan yang integratif dan memiliki karteristik kepemimpinan yakni visi dan pengaruh yang positif.
(5) Kuasa kepemimpinan.
Untuk memahami kuasa kepemimpinan, kita harus memahami akan basis dari kuasa kepemimpinan itu agar kepemimpinan itu memang betul berasal dari Allah bukan pemimpin itu sendiri. Dengan penggunaan yang benar kekuasaan dapat merupakan tombol untuk menyalakan performa yang terbaik bagi bawahan namun bila diabaikan akan menjadi dimotivator, dapat menghancurkan bila disalahgunakan. Sehingga dalam realitas, sebagai pemimpin gereja harus berdasar kepada fungsi pelayanan bukan berdasar jabatan kuasa yang dimilikinya. [1]
Visi Dan Misi
Visi adalah daya lihat, indra penglihatan, daya untuk menangkap dan memahami yang nampak oleh daya khayal. Sedangkan misi adalah kegiatan menyebarkan Injil dan mendirikan jemaat-jemaat setempat yang dilakukan atas dasar pengutusan sebagai kelanjutan misi Kristus. Keterkaitan antara visi dan misi dalam sebuah gereja dipandang sebagai sebuah motor penggerak dalam perjalaan gereja. Visi gereja yang baik dan benar akan menghasilkan misi yang baik pula yang bermanfaat bagi jemaat dan gereja. Serta sebaliknya, ketika visi dan misi gereja buruk maka yang akan mengalami dampaknya adalah jemaat dan juga gereja sendiri.
Gereja Sebagai Ruang Lingkup Kepemimpinan Yang Bervisi dan Bermisi
Gereja pada umumnya terikat oleh ikatan organisasi atau pejabat yang ditunjuk, melainkan berdiri di bawah otoritas rasul. Pada mulanya, para rasul diangkat oleh Yesus menjadi murid-Nya untuk ikut di dalam pelayanan-Nya (Mat. 16:18; Mrk. 3:14). Ketika Petrus[2] mengakui imannya terhadap kemesiasan Yesus, kemudian disebut “batu karang”, yang di atasnya gereja didirikan.[3] Ucapan itu bukan berarti menunjukkan pribadinya, melainkan ia dianggap sebagai juru bicara dan wakil dari ke-12 murid dalam kapasitas kerasulannya. Para rasul itu merupakan lingkaran orang-orang yang diangkat oleh Allah untuk menjadi landasan gereja (Ef. 2:20; Why 21:14), dan menjadi “sarana” wahyu ilahi (Ef. 3:5). Gereja itu harus terlihat di dalam kesatuan.
Pemahaman tentang gereja tentunya memiliki sejarah sesuai dengan perkembangan zaman. Pandangan yang menekankan gereja sebagai pusat telah menimbulkan dampak negatif terhadap warga gereja, khususnya pada gereja perdana sampai abad pertengahan. Semboyan yang menjadi dalil ialah “tidak ada keselamatan di luar gereja” gereja yang dimaksud oleh Roma Katolik. Persoalan yang timbul seiring dengan ajaran ini adalah apakah betul bahwa di luar gereja (Katolik) tidak ditemukan keselamatan? Apakah Allah tidak menyelamatkan orang tanpa melalui lembaga gereja? Apakah keselamatan itu hanya ditujukan kepada orang yang telah menjadi warga gereja Roma Katolik? Mengapa ajaran ini bisa muncul dan apa sebabnya?
Dalam menanggapi persoalan tersebut, kita harus melihat konteks dimana konfessi itu lahir dan berkembang. Konsep ajaran tentang keselamatan tidak ada di luar gereja merupakan ungkapan yang berasal dari Origenes,[4] yang dijadikan sebagai prinsip teologis oleh Siprianus (abad ke-3), dan sampai abad pertengahan ditafsirkan secara sempit oleh para uskup.[5] Pemimpin institusi gereja Roma Katolik telah mereduksi dan mengidentifikasi kata “gereja” dengan gereja Katolik,[6] lembaga oikumenis, bahkan Paus sendiri. Konflik kepentingan politik dan kekuasaan antara pemimpin agama serta pemerintahan sipil membuat pengertian yang sederhana dari gereja suatu isu yang sangat penting, terutama dari sudut pihak gereja.[7] Inilah salah satu persoalan yaitu bahwa gereja diidentikkan dengan “Sri Paus”, sehingga setiap orang yang tidak bersekutu dengannya, mereka memilih celaka dan malapetaka abadi. Penafsiran ini bahkan diangkat dan ditetapkan sebagai dogma (kebenaran iman yang ditetapkan oleh kuasa mengajar gereja sebagai suatu pernyataan kepentingan Allah yang tidak dapat sesat). Karena kepada para uskup telah diberikan kuasa kerasulan untuk memberitakan berita keselamatan kepada seluruh makhluk, dan dipersatukan di dalam sakramen. Dampak dari rumusan pengakuan itu, maka para pejabat gereja terutama “Sri Paus” memiliki kedudukan yang tinggi bahkan tertinggi di dalam gereja. Paus dianggap sebagai wakil Kristus di dunia ini dan kepadanya telah diberikan kuasa untuk menetapkan kebenaran yang sesungguhnya, dia tidak pernah keliru dalam segala keputusannya.
Gereja dalam hal ini dapat juga dilihat sebagai misteri dan sakramen. Seluruh realita insani gereja adalah ungkapan dan sekaligus pelaksanaan duniawi dari karya keselamatan Allah yang menyatakan diri di dalamnya, gereja adalah rumah Allah, dimana Allah secara sakramental hadir. Augustinus secara khusus melihat gereja sebagai “rumah Allah” yang harus mengganti Bait Allah di Yerusalem. Dalam pandangan ini, Kristus merupakan dasar dan citra asli gereja; sehingga menekankan kekatolisitasan gereja. Dengan demikian, segi yuridis-institusional gereja juga ditekankan.[8] Kekatolikan semula hanya berarti bahwa gereja tersebar ke mana-mana, tetapi lama-kelamaan sifat ini mendapat arti apologetis untuk melawan para bidat dan ajarannya. Selain itu, bidat yang sering disebut bukan hanya orang-orang kafir, tetapi semua orang yang berada di luar gereja Katolik Roma, seperti: orang Yahudi, dan setiap orang yang memisahkan diri dari gereja Katolik Roma; termasuk gereja Protestan di kemudian hari.
Pemahaman dan paradigma yang diterapkan oleh para pemimpin gereja di abad-abad awal ternyata menimbulkan reaksi yang salah kaprah terhadap arti kehadiran gereja. Dampak yang paling tragis dalam hal ini adalah kekaburan terhadap visi dan misi gereja sebagai tubuh Kristus. Yang berujung pada adanya perpecahan dalam tubuh gereja sendiri.
Rasul Paulus menjelaskan tentang Gereja dengan metafora tubuh Kristus. “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.”(1 Kor. 12:12). Ayat ini mengatakan bahwa Gereja yang sehat adalah yang menjadi satu di bawah Kristus Yesus yang menjadi kepala. Kristus Yesus adalah kepala, kita adalah cabang dari tubuhNya. Tuan dari Gereja adalah Kristus. Ketika manusia menjadi tuan bagi Gereja dan ingin menguasai Gereja, Gereja akan kena penyakit. Kita harus berusaha supaya Kristus sendiri menguasai Gereja. Di dalam tubuh kepala adalah suatu bagian yang paling penting karena menguasai dan memerintah segala bagian yang lain. Kepala memberikan kehidupan dan kemauan kepada seluruh bagian tubuh dan menjadikan semua bagian-bagian sebagai satu badan. Gereja adalah tubuh Kristus bukan Kristus sendiri. Gereja adalah milik Allah dan Allah memutuskan hakekat dan tugas Gereja melalui Kristus Yesus. Gereja adalah tubuh Kristus, dan Kristus adalah kepala Gereja.
Gereja sebagai tubuh Kristus harus menjadikan persatuan umum (coperate unity). Persatuan ini bukan persatuan seragam, melainkan persatuan dalam diversitas. Masing-masing cabang tubuh mempunyai kekhasan, sifat kelebihan, dan tugas sendiri. Sehingga kita harus membenarkan diversitas di antara cabang tubuh, menghargai dan menghormati pikiran orang lain. Untuk persatuan Gereja, tidak boleh diabaikan diversitas bagian tubuhnya dan tidak boleh datang pemisahan karena penekanan diversitas.
Tritugas Panggilan Gereja Sebagai Sebuah Visi Sekaligus Misi
Dalam buku Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) diakui bahwa Roh Kudus yang menghimpun umat-Nya dari segala bangsa, suku, kaum dan bahasa ke dalam suatu persekutuan yaitu Gereja. Dimana Kristus adalah Tuhan dan Kepala (Ef. 4:1,3,16; Why. 7:9). Roh Kudus yang telah memberi kuasa kepada gereja dan mengutusnya ke dalam dunia untuk menjadi saksi, memberitakan Injil kerajaan Allah kepada segala makhluk di semua tempat dan di sepanjang masa (Kis. 1:8; Mrk. 16:15; Mat. 28:20).[9] Sehingga Allah memelihara gereja-Nya, pemeliharaan itu dengan cara memberikan tugas kepada gereja. Allah menuntut agar gereja melayani dan menyerahkan hidupnya kepada tugas itu. Sebab Allah menghendaki supaya semua orang diselamatkan (1 Tim. 2:4). Oleh karena hal tersebutlah maka Allah bekerja untuk menyelamatkan dunia ini. Dalam hal ini gereja yang telah dipanggil Tuhan tidak boleh hanya sebagai penonton saja. Tapi gereja dibentuk supaya melaksanakan kehendak-Nya dengan turut campur tangan akan kehidupan orang lain. Gereja dalam pelaksanaan tugasnya dipenuhi dengan seluruh kepenuhan dari Allah ( Ef. 3:18-19; bnd. 4:3). Kepenuhan Allah itu dinyatakan melalui karunia-karunia yang berbeda-beda yang dianugerahkan Allah kepada gereja-Nya.[10] Maka gereja hidup bukan untuk diri sendiri sama dengan Kristus telah meninggalkan kemuliaan-Nya di sorga, mengosongkan diri untuk menyangkal diri dan mengabaikan kepentingan diri sendiri agar semua yang menderita dapat mengalami pembebasan yang dari Allah dalam diri Yesus Kristus (Mat. 9:35-38; Luk. 4:18-19). Abineno mengatakan sepanjang sejarah atau sepanjang zaman gereja mempunyai tiga tugas yakni marturia, koinonia dan diakonia.[11] Tugas yang diberikan Allah itu kepada manusia/ gereja merupakan pancaran dari pelayanan Yesus selama di dunia ini. Gereja harus bertindak (bersaksi) dengan memberitakan Injil, hidup dalam persekutuan yang kudus,[12] dan melayani satu dengan yang lain. Ketiga hal tersebut disebut dengan istilah Tritugas Panggilan Gereja.
Bersaksi (Marturia)
Marturia berasal dari bahasa Yunani (marturi,a) yang artinya adalah kesaksian (Mrk. 14:59). Ini merupakan suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh gereja sebagai persekutuan orang-orang yang percaya dan yang telah diselamatkan oleh Kristus. Ini dipertegas oleh Homrighausen dan Enklaar, kesaksian itu biasanya disebut penginjilan yang berarti pemberitaan kabar baik, pemberitaan Injil kepada semua orang yang masih memikul dosanya dan belum menerima kebenaran yang ada dalam Yesus Kristus. Penginjilan itu menjadi tugas kita sekalian. Hendaknya kita melakukannya dengan gembira. Bersaksi bukan saja dengan perkataan tapi juga dengan contoh hidup ataupun teladan hidup kita perseorangan dan sebagai anggota-anggota tubuh Kristus di tengah-tengah dunia ini.[13] Tugas bersaksi merupakan prioritas utama bagi setiap situasi gereja.[14] Dengan tegas Abineno mengatakan bahwa jemaat dipanggil bukan saja untuk mengaku tetapi juga untuk bersaksi. Karena Tuhan menghendaki supaya semua orang beroleh keselamatan (1 Tim. 2:4). Untuk tugas itu Ia memberi kuasa dan Roh-Nya, Ia bersama-sama dengan kita (Mat. 28:20), Ia menguatkan dalam kesaksiannya (1 Kor. 2:13), malahan Ia sendiri yang berkata-kata (bersaksi) menggantikannya (Mat. 10:19-20). Maka Gereja perlu bersaksi artinya Gereja harus menyatakan atau mengumumkan apa yang jemaat yakini dan pahami kepada orang lain dengan maksud supaya orang itu datang kepada Kristus.
Tugas kesaksian ini diperlukan di dalam dunia, di dalam segala bidang kehidupan, salah satu bidang kehidupan itu yakni bidang kehidupan sosial. Gereja harus lebih banyak menyatakan solidaritasnya dengan orang-orang miskin/menderita atau yang teraniaya di dalam dunia. Dengan demikan kita dapat mendirikan suatu tanda-tanda Kerajaan Allah. Jadi kesaksian itu tak dapat dijalankan dengan perkataan saja, tapi juga dengan perbuatan dan persekutuan dengan Kristus, supaya dengan jalan itu mereka mendapat bagian dalam anugerah Allah, yaitu kehidupan yang kekal.[15]
Bersekutu (Koinonia)
Istilah koinonia berasal dari bahasa Yunani (koinonia) yang artinya persekutuan. Dalam Perjanjian Baru kata koinonia dipakai bagi persekutuan orang-orang percaya dengan Kristus (1 Kor. 1:9) dengan Roh Kudus (2 Kor. 13:13) artinya bahwa mereka dipanggil keluar dari dunia mereka yang lama dan dikuduskan, diasingkan dari persekutuan-persekutuan yang lain di dunia ini serta digunakan oleh Allah sebagai alat dalam karya penyelamatan-Nya. Sebagai alat gereja harus nampak dan konkrit. Artinya dalam hal tampak dari sudut sosiologis, maksudnya di dalam hidup bersama komunitas anggota-anggotanya mempunyai sangkut-paut dan menyatu dengan dunia sekitarnya ataupun dunia sosial.[16] Persekutuan jemaat dengan jemaat yang lain sebagai tubuh Kristus (Ef. 6:3, 8:17, 1 Kor. 15). Koinonia merupakan suatu persekutuan kasih Kristus, dimana anggota-anggota saling membantu dalam penderitaan (1 Kor. 12:16), saling dihubungkan dengan persekutuan Roh (Rm. 2:1), saling menolong dimana yang kuat menolong yang lemah (Rm. 15:1), bersama-sama mengerti akan kasih Kristus (Ef. 2:1), bersama-sama mengasihi orang yang miskin (Yak. 2:5).
Jadi dengan jelas dapat dikatakan bahwa gereja sebagai persekutuan yang terpanggil bukan untuk diri sendiri tapi hanya demi kemuliaan Allah dan kehendak-Nya di dunia. Dan kehendak-Nya dengan dunia yaitu menyelamatkan. Gereja harus tahu bahwa dia dipakai Tuhan sebagai alat-Nya untuk menyelamatkan dunia ini.
Koinonia ini berhubungan erat dengan gereja yang memuliakan Allah. Maka persekutuan ini merupakan persekutuan yang saling menerima satu dengan yang lain untuk kemuliaan Allah (Rm. 15:7). Koinonia ini merupakan persekutuan umat Allah yang tertuju ada partisipasi bersama di dalam kehidupan Allah (1 Yoh. 3:7).[17] Berarti dapat dikatakan bahwa kasih di sini merupakan tindakan yang praktis (1 Yoh. 3:17-18) ini kita terbuka karena Kristus lebih dahulu mengasihi kita melalui kematian-Nya di kayu salib untuk pendamaian dosa-dosa kita (1 Yoh. 4:10; bnd Rm. 15:7) itu sebabnya bahwa sikap saling mengasihi satu dengan yang lain merupakan yang pokok untuk dilakukan setiap orang Kristen. Persekutuan merupakan tugas gereja yang tidak boleh diabaikan karena melalui persekutuan, pelayanan dan kesaksian akan tercapai demikian. Dengan demikian kita hidup sebagai orang-orang yang dipanggil oleh Kristus ke dalam pelayanan-Nya untuk hidup dalam persekutuan yang hidup di dunia.
Melayani (Diakonia)
Dalam bahasa Yunani, melayani disebut diakonia (diakoni,a) dan arti sebenarnya adalah pelayanan kasih terutama di meja makan, pemeliharaan hidup. Hal ini merupakan suatu cara untuk memuliakan Allah (1 Pet. 2:12). Yesus mengajarkan bahwa kebesaran terdapat dalam pelayanan dengan rendah hati (Mrk. 9:33-37; Luk. 22:24-27). Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Mrk. 10:45). Yesus mengajak gereja-Nya untuk mengikuti teladan-Nya dalam persekutuan melayani dengan kerendahan hati satu dengan yang lain. Sebab gereja berada di dunia ini bukan untuk dirinya sendiri melainkan demi untuk Kerajaan Allah dan juga untuk dunia. Harus nyata dalam hidup dan pelayanan. Kita harus dapat melihat bahwa hubungan Allah dengan dunia sangat erat, Ia ingin suatu perubahan ataupun transformasi di alam semesta ini oleh Yesus Kristus.[18]
Untuk memahami nats Markus 10:45, kita harus melihat Daniel 7;13-14, dalam hal ini yang dimaksud Daniel mengenai anak-anak manusia adalah Messiah (Almasih), Raja yang dinanti-nantikan umat Israel. Raja yang melepaskan dari kekuasaan bangsa asing, Raja yang bukan untuk dilayani tapi melayani. Ia membuat dalam seluruh hidupnya mulai dari Bethlehem sampai ke Golgota. Ia adalah pelayan (Luk. 21:27; Rm. 15:8), hamba Allah (Filp. 2:7), yang dinubuatkan nabi Yesaya. Pemerintahan-Nya ialah pelayanan (diakonia). Ia melayani bukan hanya dengan perkataan tapi juga dengan perbuatan. Perkataan-Nya adalah perbuatan dan perbuatan-Nya adalah perkataan.[19]
Pelayanan yang menurut amanat Kristus adalah karitatif (Mat. 25).[20] Diakonia ini harus dilakukan kepada semua orang, terutama kepada yang membutuhkannya. Seperti orang sakit, orang lemah, atau orang miskin, yatim piatu, dan orang yang hidup di dalam kesusahan (Luk. 4:8-9), bukan hanya secara rohani tetapi juga secara jasmani. Dalam persekutuan gereja pelayanan ini harus tercipta dengan penuh kasih yang merupakan gambaran hidup baru (Rm. 6:15-23). Diakonia ini dilakukan bukan karena berat hati atau karena paksaan (2 Kor. 9:1-1), tapi berdasarkan kasih dengan lemah lembut. Dengan dilaksanakan diakonia oleh gereja maka akan tercipta kehidupan yang penuh kasih. Diakonia yang pada awalnya bersifat karitatif, maka dalam hal ini diakonia perlu bersifat transformatif. Karena pelayanan bukan saja perkara materi saja tapi bagaimana mentransformasikan pelayanan itu sehingga membebaskan.[21]
Oleh sebab itu dalam pelaksanaan Tri Tugas Panggilan Gereja sangat dibutuhkan pemahaman yang baik dan benar dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus memandang bahwa tugas dan panggilan gereja adalah juga bagian dari pelaksanaan visi dan misi gereja. Memang disadari bahwa tidaklah menjadi sebuah pekerjaan yang mudah dalam mewujudkan dan menjabarkannya di lapangan (jemaat). Akan tetapi pelaksanaan Tri Tugas Panggilan Gereja dapat dijadikan sebagai sebuah indikator terhadap keberhasilan visi dan misi yang diemban oleh gereja. Sehingga tugas seorang pemimpin dalam mewujudkan visi dan misi gereja tidak menjadi isapan jempol belaka.
III. Kepustakaan
Abineno J. L. Ch., Jemaat, Jakarta: BPK-GM, 1999
Abineno J.L Ch., Pelayan dan Pelayanan Dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1983, hlm. 14-15
Abineno J.L Ch., Pelayanan Bantuan Antar Gereja, Jakarta: BPK-GM, 1986, hlm. 20
Abineno, J.L Ch. Teologi Praktika, Jakarta: BPK-GM, 1984
Abineno J.L. Ch., Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1989
Darmaputera Eka, Kepemimpinan Kristiani, Jakarta: STT Jakarta, 2003
Dyrness William, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004
Diskursus: Jurnal Filsafat & Teologi, Jakarta: STF Driyarkarya (Vol. 2. No. 2, Oktober), 2003
Enklaar, & Homrighausen Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2000
Guthrie Donald, Teologi Perjanjian Baru 3, Eklesiologi, Eskatologi, Etika, Jakarta: BPK-GM, 1993
Hadiwijono Harun, Inilah Sahadatku, Jakarta: BPK-GM, 1999
Heuken A. SJ., Ensiklopedi Gereja 1, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1995
Heuken A. SJ, Kudus Dalam Ensiklopedi Gereja III, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993
Hadiwijono Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1999
Jacobs Tom , Dinamika Gereja, Yogyakarta-Flores: Kanisius-Nusa Indah, 1987
Keatings Charles J., Kepemimpinan Teori dan Perkembangannya, Yogyakarta: Kanisius, 1987
Ladd George Eldon, Teologi Perjanjian Baru 2, Bandung: Kalam Hidup, 2002
Lumbantobing Darwin, Teologi Pasar Bebas, Pematangsiantar, L-SAPA, 2007
Milne Bruce, Mengenali Kebenaran, Jakarta: BPK-GM, 2002
Osei-Mensah Gottfried, Dicari Pemimpin yang Menjadi Pelayan, Jakartya: YKBK/OMF, 2001
Price, Saran-saran Praktis Untuk Pelayanan Yang Berhasil, Jakarta: Yayasan Imanuel, 1993
Pattiasima J. M., Lima Dokumen Keesaan Gereja PGI, Dokumen Sidang Raya XII Jayapura 20-30 Oktober 1994
Rinehart Satcy T., Paradoks Kepemimpinan Pelayan, Jakarta: Imanuel, 2003
Rush Myron, Pemimpin Baru, Jakarta: Yayasan Imanuel, 1986
Stoot John, Isu-Isu Global, Menantang Kepemimpinan Kristen, Jakarta: YKBK/OMF, 1994
Tomatala Yakob, Kepemimpinan Kristiani, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2002
T Oswald Allis,., Tafsiran Alkitab Masa Kini I Kejadian-Ester, Jakarta: YKBK, 2005
TIM PGI, Arak-arakkan Oikumene, Meniti Tahun-tahun Pertumbuhan, Dokumen Historis Sidang Lengkap IV PGI 1960, Sidang Lengkap V 1964, Jakarta: BPK-GM, 1996
-------------------------------------
[1] Yakob Tomatala, Kepemimpinan Kristiani, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2002, hlm. 1-2
[2] Kebangkitan dan penampakan Yesus telah memberikan semangat baru kepada para murid untuk memberitakan kabar baik. Inilah dasar dari misi gereja. Pada saat-saat sebelum Pentakosta, realitas bahwa hanya Petrus yang dikhususkan untuk memegang peran kepemimpinan secara aktif dalam persekutuan itu. Petrus-lah yang memberi saran kepada anggota kelompok untuk memilih pengganti Yudas. Perhimpunan secara aktif mulai pada saat turunnya Roh kudus (Kis. 2:1). Kuasa Roh Kudus dijanjikan untuk tugas memberi kesaksian mengenai Yesus ke seluruh dunia (Kis. 1:8). Kisah Para Rasul menyatakan dengan jelas bahwa gereja pada dasarnya merupakan suatu perhimpunan yang dipimpin oleh Roh Kudus, dikendalikan dan diarahkan oleh Dia. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, Eklesiologi, Eskatologi, Etika, Jakarta: BPK-GM, 1993, hlm. 56-58
[3] George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru 2, Bandung: Kalam Hidup, 2002, hlm. 70-71
[4] Ler no one persuade or deceive himself, outside this house, that is outside the church, no one be saved, for if someone leaves, he is himself guilty of death (jangan seorang pun meyakinkan atau menipu dirinya sendiri, di luar rumah ini, di luar gereja, tidak seorang pun diselamatkan, karena jika seseorang meninggalkannya, dia sendiri berutang kematian)
[5] A.Heuken, Ensiklopedi Gereja 1, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1995, hlm. 315
[6] Bnd. Rumusan pengakuan iman; Aku percaya kepada Roh Kudus, gereja yang kudus dan Am (Gereja Katolik). Jadi, pada masa itu istilah Katolik sebagai yang Am dipahami secara sempit menjadi gereja Katolik-lah satu-satunya yang benar, dan hanya satu gereja.
[7] A. Eddy Kristiyanto, “Doktrin ‘Extra Ecclesiam Nulla Salus’ Sebuah Studi Perspektif” dalam Diskursus: Jurnal Filsafat & Teologi, Jakarta: STF Driyarkarya (Vol. 2. No. 2, Oktober), 2003, hlm. 173
[8] Tom Jacobs, Dinamika Gereja, Yogyakarta-Flores: Kanisius-Nusa Indah, 1987, hlm. 38-39
[9] J. M.Pattiasima, Lima Dokumen Keesaan Gereja PGI, Dokumen Sidang Raya XII Jayapura 20-30 Oktober 1994, hlm. 53
[10] Ada karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, karunia iman, karunia penyembuhan, (1 Kor. 12:4-11). Harun Hadiwijono, Inilah Sahadatku, Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm. 142
[11] J. L. Ch. Abineno, Jemaat, Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm. 192
[12] Kekudusan umat Allah bukan hanya mencakup antara hubungan Israel dengan Allah, tetapi juga mencakup tentang kekudusan tempat/tanah, benda-benda (rumah Ibadah), dan orang yang disucikan oleh Allah. Untuk itu, bangsa Israel harus dapat menjaga kekudusannya di tengah-tengah bangsa lain, karena hal di atas akan mereka alami nantinya di tanah yang akan mereka duduki (tanah perjanjian). Allah yang kudus menuntut kekudusan dari umatNya sendiri, karena kekudusan bangsa Israel tidak dapat dipisahkan dengan kekudusan Allah. Oleh karena kekudusanNya, Allah memilih dan mengikat perjanjian dengan umatNya supaya umatNya menjadi kudus, dan sebaliknya juga umatNya dapat menjadi kudus hanya dengan mengambil bagian dalam perjanjian yang dibuat oleh Allah. William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004, hlm. 36, Bnd. Allis, Oswald T., Tafsiran Alkitab Masa Kini I Kejadian-Ester, Jakarta: YKBK, 2005, hlm. 220. Untuk itu kita juga sebagai umat Kristen saat ini, sekalipun kita bukan bangsa Israel, tetapi kita juga termasuk ke dalam bangsa pilihan Allah. Dalam 1 Petrus 2:9-10, dikatakan bahwa Allah sudah memangggil kita keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib. Kita yang dahulu bukan umat Allah, tetapi sekarang kita telah menjadi umatNya, oleh karena pemanggillan Allah terhadap kehidupan kita. Sebagai umat yang sudah dipilih oleh Allah hendaknyalah kita juga dapat mencerminkan sifat Allah dalam kehidupan kita, seperti yang ditetapkan bagi bangsa Israel. Kita juga seharusnya mempraktekkan kekudusan dalam kehidupan kita seperti yang terdapat dalam Mat. 5:48, 1 Pet. 1: 16. Ketentuan tersebut hanya dapat diwujudkan ketika orang percaya di dalam Kristus, berserah pada Roh Allah, dan menaati ajaran kebenaran yang terdapat dalam Firman Tuhan ( band Rm. 6:15-22, 8: 12-17). A. Heuken SJ, Kudus Dalam Ensiklopedi Gereja III, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993, hlm. 349
[13] Homrighausen & Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm. 173
[14] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm. 313
[15] Sekum PGI, Arak-arakkan Oikumene, Meniti Tahun-tahun Pertumbuhan, Dokumen Historis Sidang Lengkap IV PGI 1960, Sidang Lengkap V 1964, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 262-264
[16] J.L. Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 1989, hlm. 96
[17] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, Jakarta: BPK-GM, 2002, hlm. 308
[18] J.L Ch. Abineno, Teologi Praktika, Jakarta: BPK-GM, 1984, hlm. 10. Sikap dan sifat gereja terletak pada sifat dan sikap hidup Yesus Kristus sebagaimana telah dinyatakan dan dilakukan di dalam pelayanan-Nya. “Karena Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Mrk. 10:45). Oleh karena itu gereja wajib memimpin dan melayani jemaatnya”. Lih. Darwin Lumbantobing, Teologi Pasar Bebas, Pematangsiantar, L-SAPA, 2007, hlm. 381
[19] J.L Ch. Abineno, Pelayan dan Pelayanan Dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1983, hlm. 14-15
[20] J.L Ch. Abineno, Pelayanan Bantuan Antar Gereja, Jakarta: BPK-GM, 1986, hlm. 20
[21] Diakonia itu berdasar pada kasih Allah dan karya penyelamatan Allah. Karya keselamatan itu berupa seluruh kehidupan manusia, baik rohani maupun jasmani. Karena itu ia tidak dapat disampaikan hanya dengan perkataan saja tapi juga dengan perbuatan. Diakonia bukan merupakan suatu pekerjaan awal atau philantropi. Ia juga disebut pelayan kasih, pelayanan kasih Allah yaitu kasih dalam Yesus Kristus yang tidak mengenal batas.
0 komentar:
Post a Comment