Saturday, 17 March 2012

GBKP BERDIALOG DALAM KONTEKS KESAKSIAN DAN PELAYANAN

GBKP BERDIALOG DALAM KONTEKS KESAKSIAN DAN PELAYANAN
“Konteks GBKP Klasis Jakarta-Bandung"

Pendahuluan
GBKP Klasis Jakarta-Bandung terdiri dari 21 Jemaat dan 13 Bakal Jemaat yang meliputi wilayah yang sangat luas, mulai dari Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan. Konteks kehadiran GBKP di setiap tempat atau daerah adalah konteks fluralitas agama, khususnya agama Islam. Konteks ini harus disikapi dengan baik. Sebab tidak dapat dipungkiri, kemajemukan agama juga sangat berpotensi sebagai alat pertentangan dan permusuhan. Dalam tataran historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun dapat menjadi sumber konflik. Dibeberapa tempat terjadi ketegangan antar penganut agama, bahkan sampai terjadi konflik yang mengakibatkan terjadinya pembakaran rumah-rumah tempat ibadah bahkan sampai saling membunuh.

Akhir-akhir ini bukan saja untuk mendirikan gedung gereja semakin sulit, bahkan gedung gereja yang sudah memiliki IMB juga dicabut ijinnya seperti GKI Yasmin Bogor. Ketika saya melayani di GBKP Bakal Jemaat Kerawang, salah satu majelis menyatakan kepada saya bahwa di daerah mereka sekarang ini ada larangan, bukan saja mendirikan gereja, tetapi juga mengadakan kebaktian keluarga atau Pjj, mereka perna Pjj dengan tidak bernyanyi. Oleh karena itu, saya kira kita harus menyikapi masalah ini dengan bijaksana. Kita harus melakukan sesuatu bukan hanya diam dan berdoa. Sesuatu itu menurut saya pertama kita harus menyadari kehadiran kita sebagai pembawa berkat, membawa berita keselamatan bagi semua orang. Kehadiran kita bukan kehadiran biasa-biasa, tetapi kehadiran yang luar biasa sebab menuntukan baik buruknya kehidupan manusia, seperti garam dan terang demikian penting bagi kehidupan manusia demikianlah pentingnya kehadiran orang percaya di tengah-tengah dunia ini. Kelemahan gereja selama ini, menurut penilaian saya pribadi, terlalu asik dengan dirinya, dengan sektornya, runggunya, dst. sehingga merasa kurang penting bergaul dengan orang-orang diluar kelompoknya, gerejanya, terlebih yang berlainan agama. Yang kedua, memahami siapakah mereka itu bagi kita? Hal ini penting. Pemahaman itu akan mempengaruhi sikap kita dan dalam hal ini sehubungan dengan melakukan sesuatu itu. Apakah mereka itu sebagai teman, sebagai rekan, sebagai saudara atau sebagai saingan, ancaman/musuh dan orang yang sama sekali lain, yang tidak mempunyai sangkut paut dengankita?

Ketika dua hal ini belum dipahami secara benar, maka sangat wajar bila ketegangan-ketegangan terus berlanjut. Terlebih-lebih ketika seseorang mempertuhankan agamanya dan kebenaran masing-masing. Bahwa hanya agamanya yang benar dan agama orang lain tidak, orang lain diluar agamanya pasti masuk neraka. Dengan pemahaman demikian sudah pastis seseorang akan sulit menghargai orang yang beragama lain, dan kalau seseorang tidak menghargai orang yang beragama lain, mustahil dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Perlu di garisbahwahi bahwa menghargai agama orang lain bukan berati menyakini ajara agama orang lain tersebut. Kita harus menyakini kebenaran ajaran agama kita, tetapi hendaknya hal itu tidak membuat kita sombong, kemudian merendahkan kebenaran agama orang lain. Tetapi ketika kita sebagai orang kristen menyakini bahwa keselamatan hanya di dalam Yesus Kristus, seharusnya membuat kita semakin rendah hati, semakin menghargai orang lain. Sebab iman yang benar akan membawa seseorang memandang orang lain sebagai sesamanya, bukan sebaliknya.

Jadi sesuatu yang harus kita lakukan itu tidak lain, pertama mengubah image kita tentang orang yang beragama lain dengan menghargainya, bukan sebaliknya membencinya. Kedua, dengan memahami bahwa memberitakan Injil bukan hanya proklamasi, tetapi presesi (kehadiran), donasi (derma) dan intersesi maka penekanan kehadiran kita sebagai garam dan terang dunia perlu mendapat penekanan sehingga kita membuka diri bergaul, bersahabat, mengasihi dengan tulus, bersilaturahmi serta saling tolong menolong, dst.

Dengan demikian ditengah-tengah realita kemajemukan khususnya di wilayah Klasis Jakarta-Bandung, GBKP semakin menghadirkan dirinya kehadiran yang bermakna dengan berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan semua pemeluk agama lain. Untuk itu sebagaimana yang dikemukakan Gerrit Singgih dalam iklim fluralitas agama, kita perlu membangun sikap dialog. Hal ini yang juga ditekankan oleh Hendropuspito, bahwa dial[1] adalah merupakan jalan yang paling sesuai yang perlu diambil sebagai langkah pertama menuju kerukunan dan perdamaian. Untuk itu menurut Hendro, setiap umat perlu dilengkapi dengan "kepribadian dialogikal" yang memiliki sifat pribadi yang utuh atau otentik[2].

Jadi berdialog dalam kontek kesaksian dan pelayanan adalah bagaimana kita mendialogkan kehadiran kita baik melaui perkataan dan perbuatan kita (keberadaan kita). Dalam hal ini semua yang menjadi penghambat terjadinya dialog perlu diminimalisasi. Tanpa ada kesedian menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut dialog yang bermakna tidak akan pernah terwujud, yakni sebagaimana definisi dialog itu sendiri yakni percakapan antara dua orang (atau lebih) dalam mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak[3]. Menurut Yewangoe dialog berarti percakapan diantara orang yang berkeluarga[4]. Untuk itu sekali lagi hal pertama yang harus dilakukan adalah menjalin hubungan dan kepedulian terhadap setiap orang yang ada disekitar kita tanpa sekat-sekat bahwa si A beda agama dengan saya. Hubungan dan kepedulian tersebut dapat dilakukan dengan silaturahmi, mengikuti kegiatan-kegiatan lingkungan di tingkat Rt/Rw khususnya, dimana gereja atau orang kristen berada. Juga menjauhkan sikap sombong dengan membuka diri dengan siapapun yang ada di lingkungannya, miskin atau kaya. Pernah saya mengikuti pertemuan dialog antar pemuka agama kota Medan yang digagas oleh FKUB, seorang perserta mewakilitokoh mahasiswa Islam mengemukakan bahwa ia sangat membenci orang kristen oleh karenadi lingkungannya ada orang kristen yang menurut dia sangat sombong oleh karena tidak maubergaul, pulang kerja langsung masuk kerumah yang berpagar tinggi, pagi-pagi menghidupkan tape dengan memutar lagu rohani dengan keras-keras. Kalau kita jujur masih banyak orang kristen yang demikian yang kurang peduli dengan lingkungan dimana ia berada. Bahkan menurut saya, Ini merupakan pendapat pribadi berdasarkan pengalaman tinggal dilingkungan gereja, bahwa kehadiran gedung gereja dibanyak tempat menimbulkan perasan yang tidak nyaman bagimasyarakat setempat (khususnya umat Islam). Mengapa demikian? Tentu banyak faktor, antara lain (1) dari gedung gereja sendiri yang tidak kontekstual dari segi arsitektur bangunan yang asing besar dan mewah dengan menara salib yang tinggi; (2) masalah perparkiran yang kurang memperhatikan kenyamanan masyarakat setempat; (3) prilaku warga jemaat yang kurang bersahabat, kurang ramah dan bergaul; (4) dsb.

Dengan membangun kehidupan dialogikal tidak berarti meniadakakan hakekat setiap agama yang masing-masing memiliki panggilan berdakwah/menyebarkan keyakinannya/agamanya. Pemberitan Injil harus kita lakukan, namun sebagaimana sebelumnya telah dikemukakan bahwa memberitakan Injil tidak hanya dalam bentuk proklamasi tetapi juga melalui presensi (kehadiran kita) dan donasi (derma). Maka kita boleh berlomba untuk menyaksikan kesaksian hidup dan pelayanan kita ditengah-tengah kehidupan bersama, bertetangga, bersahabat, bersaudara tersebut. Dan dalam hal ini saya menganalogikan dengan kehidupan pada jaman sekarang ini, jaman yang ditandai dengan kemajuan tehnologi diberbagai bidang kehidupan yang semakin maju. Seseorang yang ingin tetap eksis mau tidak mau harus memperlengkapi diri atau menupdate diri secara terus-menerus, sehingga ia tetap memilik kualitas yang diperhitungkan. Demikian dengan agama kita. Ketika kita katakan bahwa Yesus adalah jalan satu-satunya sampai kepada Bapa, tidak membuat pemahaman ini menjadikan kita sombong dan menganggap setiap pemeluk agama lain sesat dan masuk neraka. Ingat bahwa bagi kita juga berlaku Firman Tuhan ini: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga” (Matius 7:21). Wari kita membangun sikap dialog dengan agama lain.

Jatiwaringin-Pondok Gede, 17 Maret 2012
Pdt.S.Brahmana
------------------------------------------------------
[1] Dialog berasal dari kata Yunani "dia-logos" yang artinya berbicara anatara dua pihak. Dengan demikian defimisi dialog adalah percakapan antara dua orang (aatau lebih) dalam mana diadakan pertukaran nilai yang dimilikimasing-masing pihak (Hedropuspito, D, OC, Sosialogi Agama, Jakarta: Kanasius & BPK.GM, 199, hal.172).Menurut Yewangoe dialog berarti percakapan diantara orang yang berkeluarga (DR.A.A.Yewangoe, Agama dan Kerukunan. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006, hal.49
[2] Pribadi yang utuh dan otentik menurut Hendro adalah yang dapat memberikan tanggapan kepada orang lain dengan seluruh pribadi, bukan dengan hati yang setengah-setengah. Pribadi yang otentik juga berarti karena ia menghargai orang lain sebagai pribadi dan mau mempercayainya serta tidak berusaha untuk memperalatnya demi kepentingan sendiri (Hendropuspito, ibid, hal. 173).
[3] Hedropuspito, D, OC, Sosialogi Agama, Jakarta: Kanasius & BPK.GM, 199, hal.172
[4] DR.A.A.Yewangoe, Agama dan Kerukunan. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006, hal.49


Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment