J. C. Sikkel pernah mengatakan bahwa “The church can live without buildings, without diakonea the church dies”. Secara teologis ini berarti , bahwa diakonia adalah nafas gereja. Ia baru menjadi gereja bila ia melakukan diakonia.
Diakonia, jika dilihat dari segi karakteristiknya menghasilkan tiga model diakonia. Yang pertama diakonia karitatif, kedua diakonia reformatif, dan yang ketiga diakonia transformatif.
A. Diakonia karitatif ini adalah model diakonia yang secara tradisonal dilakukan oleh beberapa gereja sampai saat ini. Pelayanan gereja dalam model diakonia ini terutama pada tindakan-tindakan karitatif (amal). Ciri-ciri diakonia karitatif adalah:
- diakonia ini dilakukan tanpa terlebih dahulu melakukan analisis sosial-politik tentang penyebab kemiskinan,
- bantuan yang diberikan langsung dapat dirasakan oleh si korban,
- hanya cocok untuk membantu korban-korban bencana alam saja,
- didukung oleh penguasa karena mempertahankan status quo,
- dilakukan dengan maksud-maksud yang sangat sempit, seperti agar korban pindah agama atau mendukung suatu partai tertentu,
- mengandalkan kekuatan moral orang kaya.
B. Diakonia reformatif ini lebih menekankan pada aspek pembangunan, pendekatan yang dilakukan adalah dengan community development, seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, dan koperasi. Karakteristik diakonia ini dapat dilihat sebagai berikut:
- lebih berorientasi pada pembangunan lembaga-lembaga formal, tanpa perombakan struktur dan sistem yang ada,
- sudah menggunakan analisis sosial-kultural, namun tidak menggunakan analisis struktural,
- pendekatan pelayanan ini masih bersifat top-down, dalam model ini masyarakat belum sepenuhnya menjadi pelaku sejarah yang menentukan masa depannya sendiri.
C. Diakonia transformatif. Diakonia ini dipelopori oleh gereja di Amerika Latin untuk menjawab kemiskinan yang sangat parah di situ. Dalam diakonia ini, bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian, pembangunan, dan seterusnya, namun bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup seperti hak makan, minum, pakaian, nafas, kerja, lingkungan yang sehat, yang telah hilang karena dirampas oleh pihak lain atau yang menindas. Intinya memiliki akses untuk mengontrol kebijakan-kebijakan publik, yang menyangkut nasib hidup mereka. Kita butuh nasi, namun kita ingin memperolehnya dengan keadilan. Kita butuh nasi, namun kita ingin memperolehnya dengan kebebasan. Kita butuh nasi, namun kita ingin memperolehnya dengan martabat dan pengharapan (dignity and hope). Hak hidup yang lebih manusiawi dan beradab inilah yang menjadi orientasi diakonia transformatif.
Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama, praktek-praktek diakonia dapat dilihat dalam larangan membebankan bunga kepada orang miskin (Keluaran 22:25). Juga hukum yang melindungi supaya orang tidak menjadi miskin, yaitu dalam peraturan tahun Sabat dan tahun Yobel (Imamat 25). Dalam peraturan-peraturan tersebut sangat jelas kaitan antara norma-norma sosial dan motivasi-motivasi religius saling mendukung untuk mentransformasi struktur sosial-ekonomi yang menindas masyarakat. Asumsi teologisnya adalah, bahwa Allah adalah Pembebas yang telah membebaskan umat-Nya supaya mereka juga membebaskan sesamanya. Allah menghukum mereka yang mencatut dan memberi bunga atas pinjaman yang diberikan kepada orang miskin (Yehezkiel 22:12). Nabi-nabi juga mencela pembagian tanah yang tidak adil ketika penguasa-penguasa merampas tanah rakyat dan mengusir mereka ke perbatasan (Hosea 5:10; Yesaya 5:8). Contoh-contoh lain yang menggambarkan praktek diakonia dalam Kitab Perjanjian Lama adalah perlindungan pada janda dan yatim piatu serta orang asing (Imamat 25:35-55). Dalam Perjanjian Baru sendiri sudah sangat jelas makna dari diakonia itu sendiri. Ini disebabkan dengan pemakaian kata diakonia itu sendiri. Hal diakonia ini diperjelas lagi melalui diri Yesus. Yesus datang ke dalam dunia adalah untuk melayani. Dari pengertian di atas, ternyata pekerjaan diakonia menjadi sarat dengan muatan teologis yang sangat dalam. Dalam Perjanjian Lama, tindakan Allah membebaskan umat-Nya yang tertindas merupakan tindakan melayani (diakonein), sedangkan dalam Perjanjian Baru, kedatangan Yesus ke dunia adalah bertujuan untuk melayani (diakonein). Jadi diakonia adalah suatu tindakan yang berorientasi pada tindakan Allah yang menyelamatkan, sehingga manusia akan menentukan kehidupan yang sejati sebagai gambar Allah.
Dasar alkitabiah kita sangat kuat untuk mendukung pembebasan terhadap orang-orang tertindas dan sengsara, seperti orang miskin, para janda, anak-anak yatim, orang tawanan dan orang tertindas dan sengsara lainnya. Hal ini juga yang seharusnya menjadi dasar umat Allah (gereja) untuk melakukan praxis pembebasan tersebut. Setiap umat Allah yang menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai umat yang telah diselamatkan oleh Allah sudah semestinya melakukan praxis pembebasan terhadap mereka yang lemah dan tidak berdaya.
Gereja sebagai perwujudan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini harus mengambil peran dalam praxis pembebasan ini. Gereja saat ini tidak boleh tinggal diam saja, menanti dengan pasif. Tidak ada alasan bagi gereja untuk tidak mengambil peran itu. Karena gereja secara tugas mengemban amanat itu dari Allah, gereja secara fungsi memiliki kemampuan itu. Di dalam gereja banyak sumber daya yang dapat diberdayakan dalam rangka tugas mulia ini. Sudah saatnya gereja mengambil sikap sebagai seorang hamba untuk dapat bersama-sama dengan mereka yang tertindas dan sengsara berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Inilah tugas gereja yang hakiki, yakni mengembalikan citra manusia kepada citra gambar dan rupa Allah.
Model diakonia transformatif gereja yang ditawarkan, membantu gereja untuk segera dapat melakukan tugas dan panggilannya sebagai gereja yang akan mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam praxis pembebasan kemiskinan dan orang miskin. Pelayanan diakonia transformatif tersebut mendorong gereja untuk membangun infrastruktur dan instrumen organisatoris bagi pelayanannya yang holistik dan komprehensif. Ini berarti gereja harus memainkan fungsi transformatifnya, yang tidak hanya bergerak dalam tingkat retorika teologis tetapi juga masuk ke dalam pembangunan infrastruktur dan instrumen organisatorisnya. Sehingga gereja tidak lagi dirasakan sebagai kekuatan yang melakukan dehumanisasi manusia dan peradaban, melainkan sebagai kekuatan yang konstruktif dan kritis. Gereja akan memiliki kemampuan transformatifnya lagi sehingga mampu melakukan rekonstruksi sosial menuju kepada bangunan sosial yang ideal bagi umat manusia yang berkeadilan dan beradab.“Fiat Voluntas Tua” (jadilah kehendak-Mu). Kornelis P. Patola, S.Th
Source: Majalah LINK Jubilee School, Volume 4, 2008
0 komentar:
Post a Comment