Dari jendela kaca sebuah restoran
di Chtaura, Lembah Bekaa, Lebanon, gedung gereja itu bisa kami lihat.
Gedung bercat putih itu terbuka pintunya. Ada papan nama warna putih
bertuliskan nama gereja berdiri di samping kanan pintu gerbang: Notre
Dame de l’Annonciation.
Terlihat seorang laki-laki ditemani anak perempuan mengecat pagar taman
di depan gereja.
Di halaman depan gereja berderet
lima-enam pohon cemara. Pagar halaman gereja sudah diberi hiasan natal,
berbentuk bintang yang dilengkapi lampu. Pohon cemara itu juga
dipasangi lampu warna-warni
Di sebelah kanan gereja, terpaut satu
bangunan yang digunakan untuk bank, ada stasiun pengisian bahan bakar
untuk umum (SPBU). Di depan SPBU itu didirikan pohon natal setinggi
kira-kira 5 meter. Di seberang gereja, terpisah jalan yang menuju ke
Suriah, berdiri pula pohon natal setinggi kira-kira 5 meter.
Pohon-pohon itu memberikan tanda bahwa
hari Natal segera tiba. Natal juga akan tiba di Chtaura, kota kecil
sekitar 44 kilometer sebelah timur Beirut, yang dilintasi jalan raya
Damaskus-Beirut. Hari Natal juga akan tiba di kota lain di Lembah Bekaa,
seperti Zahle yang penduduknya mayoritas Kristen dengan berbagai
denominasi—mayoritas Katolik, lainnya Maronits, Ortodoks Yunani, dan ada
juga kaum Syiah—Baalbek yang penduduknya Muslim Syiah, dan Hermel yang
penduduknya juga Syiah.
Natal juga akan tiba di seluruh Lebanon.
Hiasan natal dalam berbagai rupa, seperti pohon natal dan
rumah-rumahan serta patung-patung natal, sudah dipajang di Bandara
Internasional Hariri, Beirut.
Toko-toko di kawasan bisnis Beirut, seperti Beirut Shouk, Solidere di kawasan downtown,
pusat perdagangan, dan sepanjang Jalan Hamra yang dikenal sebagai
kawasan Beirut Lama, dipercantik dengan hiasan natal. ”Kawasan ini
penduduknya kaum Sunni, tetapi mereka tetap pasang pohon natal di
mana-mana. Dan, lihat itu, hiasan lampu yang dipasang melintang di atas
jalan juga menggambarkan natal,” kata Munawir, anggota staf Bagian
Politik Kedutaan Besar RI di Beirut, ketika kami melintasi Jalan Hamra,
awal pekan ini.
Jalur hijau yang jadi pemisah di antara
dua jalur jalan di tengah kota Beirut pun dipasangi pohon natal
berderet-deret. Bahkan, di depan Masjid Muhammad al-Amin di Lapangan
Syuhada, di tengah kota Beirut, berdiri pohon natal setinggi lebih dari
10 meter.
”Penduduk Beirut mayoritas Muslim
Sunni, Mas. Tetapi, di sini tak jadi masalah. Hubungan antarpemeluk
agama yang berbeda-beda sangat baik dan harmonis,” lanjut Munawir.
Hal yang sama dikemukakan Ade, anggota
staf Bagian Humas KBRI, saat di Chtaura. ”Orang di sini tak pernah
mempersoalkan perayaan hari Natal. Itu tadi bisa lihat di Chtaura atau
sepanjang jalan dari Beirut sampai Masnaa (kota di perbatasan Lebanon
dan Suriah) ini, banyak pohon natal, kan,” katanya.
”Bagi umat Kristen Lebanon, hari Natal
adalah sebuah kesempatan untuk memperbarui persahabatan dan hari Natal
sering kali juga dirayakan oleh keluarga-keluarga Muslim.
Keluarga-keluarga Muslim di Lebanon mengungkapkan penghormatan pada
hari Natal, dengan menghiasi rumah mereka dengan pohon natal dan semua
jalan besar dan kecil pun dihiasi dengan pohon-pohon natal atau semacam
goa-goa natal,” ujar Munawir.
Sebuah risalah
Munawir menambahkan, bukan hanya di
Beirut hubungan antarpemeluk agama dan sekte tidak menjadi masalah,
melainkan juga di seluruh Lebanon. Ada semangat saling menghormati.
Itulah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II
pernah mengatakan, Lebanon bukan sekadar negara, ia adalah sebuah
risalah, sebuah dokumen tentang hubungan antarumat manusia yang saling
menghormati.
”Lebanon bukan sekadar sebuah negara.
Lebanon adalah sebuah pesan kebebasan dan sebuah contoh pluralisme bagi
Timur dan Barat,” kata Paus Yohanes Paulus II tahun 1980-an.
Kata-kata Paus itu terus hidup dan
diingat rakyat Lebanon. Apa yang dikatakan Paus itu dipegang oleh para
pemimpin politik dan agama, baik Kristen maupun Muslim, di Lebanon.
Mereka mengatakan, Lebanon harus seperti itu, menjadi ”sebuah pesan
perdamaian, menjadi contoh bagi pluralisme, bagi Timur dan Barat”,
tulis Fady Noun di AsiaNews.
Sejumlah sejarawan mengatakan, Lebanon,
yang didirikan tahun 1943 didasarkan pada pakta nasional yang
disepakati oleh komunitas Kristen dan Muslim, dapat dengan mudah hilang
dari peta dunia di bawah tekanan eksternal. Lebanon juga bisa terpecah
belah karena faktor-faktor internal dan masyarakatnya yang heterogen.
Banyak faktor bisa menjelaskan mengapa ledakan dan perpecahan itu tidak
terjadi.
Antaragama
Selama ini, memang hubungan antarumat
beragama di Lebanon tidak menjadi masalah sejauh tidak masuk ke ranah
politik; politik yang pada dasarnya adalah panggung untuk memperebutkan
kekuasaan sehingga dalam banyak hal menghalalkan segala cara. Orang
yang sama agamanya pun bisa saling menabrak, saling memotong, saling
menjatuhkan, dan berusaha saling mengalahkan, apalagi kalau berbeda
agama. Perang saudara di Lebanon (1975-1990) menjadi salah satu contoh.
Sejarah mencatat, tidak jarang
kehadiran agama menimbulkan kekerasan yang terungkap dalam sikap
doktriner, otoriter, eksklusif, dan kekerasan fisik. Hal itu terjadi
lantaran ada perbedaan antara pemahaman dan penghayatan.
Hannah Arendt, filsuf politik,
mengingatkan, ”Kita tergoda untuk mengubah dan menyalahgunakan agama
menjadi ideologi dan menodai usaha yang telah kita perjuangan melawan
totalitarianisme dengan suatu fanatisme. Padahal, fanatisme adalah
musuh besar kebebasan.” Fanatisme selalu menimbulkan masalah: konflik
dan kekerasan.
Akan tetapi, lihatlah di Chtaura di
Lembah Bekaa, yang meski menjelang masuk ke kota kecil itu berdiri
baliho besar dengan gambar wajah tokoh Hezbollah, Natal juga dirayakan.
Lagu-lagu Natal pun sudah terdengar
mengudara dari radio, di petang hari yang dingin ... yang semakin sore
semakin dingin karena embusan angin dari puncak pegunungan Lebanon yang
bersalju.
Sumber: http://internasional.kompas.com/read/2012/12/22/08041767/Suatu.Petang.di.Lembah.Bekaa
0 komentar:
Post a Comment