PENGELAYASI KODE ETIK PENDETA GBKP
PENDAHULUAN
Berdasarkan Surat
Keputusan BP. GBKP Klasis Jakarta Bandung No.119/SK/KLS-JB/XI/2012
tentang pengangkatan Tim Pengelayasi Kode Etik Pendeta, yang terdiri
dari:
- Pdt. Rasmidi Sembiring,M.Th
- Pdt. Saul Ginting,S.Th.,M.Div
- Pdt. Benhard Roy Calvin Munthe,S.Th
- Pdt. Andarias Brahmana,S.Th.,MA
- Pdt. Sabar S.Brahmana,S.Th.,MA
dengan tugas membuat “Pengelayasi Kode
Etik Pendeta GBKP”, khususnya yang menyangkut rumusan keputusan Konven
Pendeta Wilayah IV tgl.18-19 Oktober 2010 di Rudian Hotel - Cisarua yang
telah menjadi keputusan dalam Sidang Kerja Sinode (SKS) Tahun 2011 dan
diberlakukan seluruh pelayanan GBKP, maka setelah melalui pergumulan dan
diskusi yang panjang, di bawah ini telah dibuat “Pengelayasi Kode Etik
Pendeta GBKP”, dengan sistimatika, sbb: Bab I Pengertian dan Fungsi Kode
Etik, Bab II Kronologis Adanya Keputusan Kode Etik Pendeta GBKP, Bab
III Kode Etik Pendeta Ditinjau dari segi Organisasi Umum, Bab IV
Organisasi GBKP, Hak dan Tanggungjawab Jemaat dalam kaitan Kode Etik
Pendeta GBKP, Bab V Kode Etik Pendeta GBKP Ditinjau dari Tradisi Calvin,
Bab VI Kode Etik Pendeta Ditinjau dari Teologi Alkitabiah, Bab VII
Penutup. Diharapkan dengan adanya Pengelayasi Kode Etik Pendeta GBKP
ini, maksud dan tujuan kode etik Pendeta dapat dipahami dan dijalankan
menjadi norma dan landasan bagi Pendeta dan diketahui jemaat di dalam
melakukan tugas pelayanannya.
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN | i | |
DAFTAR ISI | ii | |
BAB I PENGERTIAN & FUNGSI KODE ETIK | 1 | |
a) Pengertian | 1 | |
b) Fungsi | 2 | |
BAB II KRONOLOGIS ADANYA KEPUTUSAN KODE ETIK PENDETA | 4 | |
a) Latarbelakang Kode Etik Pendeta tahun 2005
dan Pelaksanaannya
|
4 | |
b) Latarbelakang rumusan Kode Etik Pendeta Hasil Konven
Wilayah IV Tahun 2010
|
7 | |
BAB III KODE ETIK PENDETA DITINJAU DARI ORGANISASI UMUM | 10 | |
BAB IV ORGANISASI GBKP, HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAT
DALAM KAITAN DENGAN KODE ETIK PENDETA
|
14 | |
a) Pemahaman tentang Organisasi GBKP | 15 | |
b) Hal dan tanggung jawab Jemaat | 17 | |
c) Pendeta dan keberadaannya di GBKP | 19 | |
BAB V KODE ETIK PENDETA DITINJAU DARI TRADISI CALVIN | 21 | |
BAB VI KODE ETIK PENDETA DITINJAU DARI TEOLOGI ALKITABIAH | 26 | |
BAB VII PENUTUP | 33 |
BAB I
PENGERTIAN & FUNGSI KODE ETIK
A. Pengertian
Kode Etik dapat diartikan pola aturan,
tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau
pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai
pedoman berperilaku.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Kode etik = terdiri dari dua kata kode dan etika : Kode = tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu untuk menjamin kerahasiaan berita dan pemerintah. Kumpulan peraturan yang sistematis. Kumpulan prinsip yang sistematis. Etika adalah norma dan asas yang diterima oleh satu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku .
Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa
kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standar
ke-giatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan
nilai-nilai profesional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam
standar perilaku anggotanya. Nilai profesional paling utama adalah
keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.
Nilai profesional dapat disebut juga dengan istilah asas
etis.(Chung, 1981 mengemukakan empat asas etis, yaitu : (1). Menghargai
harkat dan martabat (2). Peduli dan bertanggung jawab (3).Integritas
dalam hubungan (4). Tanggung jawab terhadap masyarakat.
Kode etik dijadikan standar aktivitas anggota profesi, kode etik
tersebut sekaligus sebagai pedoman (guidelines). Masyarakat pun
menjadikan sebagai perdoman dengan tujuan mengantisipasi terjadinya
bias interaksi antara anggota profesi. Bias interaksi merupakan
monopoli profesi., yaitu memanfaatkan kekuasan dan hak-hak istimewa
yang melindungi kepentingan pribadi yang betentangan dengan masyarakat.
Oteng/ Sutisna (1986: 364) mendefinisikan bahwa kode etik sebagai
pedoman yang memaksa perilaku etis anggota profesi.
Konvensi nasional IPBI ke-1 mendefinisikan kode etik sebagai pola
ketentuan, aturan, tata cara yang menjadi pedoman dalam menjalankan
aktivitas maupun tugas suatu profesi. Bahwasa nya setiap orang harus
menjalankan serta menjiwai akan pola, ketentuan, aturan karena pada
dasarnya suatu tindakan yang tidak menggunakan kode etik akan
berhadapan dengan sanksi. Pendeta yang melanggar kode etik dan
norma-norma kesusilaan , maka yang bersangkutan digembalakan,
diingatkan dan dinasihati .
Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi
ganda yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi. Fungsi
seperti itu sama seperti apa yang dikemukakan Gibson dan Michel (1945 :
449) yang lebih mementingkan pada kode etik sebagai pedoman
pelaksanaan tugas profesional dan pedoman bagi masyarakat sebagai
seorang profesional.
Biggs dan Blocher (1986 : 10) mengemukakan tiga fungsi kode etik yaitu : 1. Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah. (2). Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi. (3). Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi.
Jadi dapat kita rumuskan bahwa kode etik Pendeta tersebut akan menolong para Pendeta-Pendeta :
- Terhindar dari penyimpangan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
- Dapat mengatur hubungan Pendeta dengan Pendeta, Pendeta dengan jemaat, Pendeta dengan Majelis Jemaat dan juga masyarakat serta pemerintah, supaya tidak menjadi batu sandungan.
- Sebagai norma dan landasan serta ukuran prilaku Pendeta agar lebih bertanggung jawab pada tugas panggilannya.
- Penunjuk arah dan petunjuk yang benar kepada Pendeta yang menggunakan jabatannya dalam melaksanakan tugas panggilannya.
Pentingnya kode etik Pendeta dengan
teman kerjanya, antar Pendeta dan juga dengan Majelis difungsikan
sebagai penghubung serta saling mendukung dalam bidang mensukseskan
misi dalam memberitakan Injil Kerajaan Allah.
Dengan adanya Etika Pendeta akan terciptanya hubungan yang baik anta para Pendeta, Pendeta dengan majelis dan juga dengan jemaat, hal ini akan menciptakan hubungan berupa helping relationship yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim pelayanan yang kondusif bagi perkembangan peserta iman jemaat. Dengan ditandai adanya perilaku empati, penerimaan dan penghargaan, kehangatan dan perhatian, keterbukaan dan ketulusan serta kejelasan ekspresi seorang Pendeta.
BAB II
KRONOLOGIS ADANYA KEPUTUSEN
A. Latar Belakang Kode Etik Pendeta GBKP Tahun 2005 dan Pelaksanaannya.
Kalau kita baca di dalam Tata gereja,
khususnya mengenai Kode Etik Pendeta pada halaman 109-111 disebutkan
secara sederhana mengapa Kode Etik Pendeta dibuat. Di dalam Pendahuluan
disebutkan agar PKPW dapat menjadi teladan maka dibutuhkan Kode Etik
PKPW (Pendeta) yang akan menjadi norma atau landasan ukuran prilaku
setiap PKPW. Karena itu dirumuskan tentang (1) Hakekat panggilen; (2)
Pemahaman dan Komitmen Theologis; (3) Prilaku Hidup Pelayanan Jemaat;
(4) Prilaku Hidup dalam Keluarga dan Masyarakat-Rakyat.
Secara khusus pada romawi IV butir 4, sehubungan dengan pelayanen ditengah-tengah jemaat, dibuat rumusan “Dalam menjalankan tugas pelayanannya, sesama PKPW GBKP senantiasa saling menghormati, saling menopang serta menjauhkan sikap dan tindakan persaingan yang tidak sehat. Latar belakang rumusan ini dibuat oleh karena ditengah-tengah kenyataan pelayanan PKPW ditemukan adanya PKPW yang melayani bukan diwilayah pelayanannya atau di jemaat yang telah ada PKPWnya. Hal ini dapat menimbulkan hubungan yang kurang harmonis/baik diantara sesama Pendeta. Banyak masukan pada waktu membahas masalah ini dalam sidang kelompok Sinode tahun 2010, ada yang sangat ekstrim dengan mengatakan bahwa diluar jemaatnya, Pendeta tidak diperbolehkan melakukan pelayanan, tetapi juga ada yang sebaliknya sangat longgar dengan argumentasi semua Pendeta GBKP adalah milik GBKP jadi tidak ada masalah dimanapun mela-yani. Akhirnya dibuatlah solusi dengan rumusan keputusan: “Hal demikian dapat dilaksanakan jika terjadi negosiasi antar PKPW yang datang melayani dengan PKPW setempat, sehingga dapat mengantisipasi terjadinya pendiskreditan PKPW.”
Sesungguhnya, jika keputusan ini dijalankan, tidak akan ada masalah. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Ada Pendeta, karena sungkan kepada Pendeta setempat, mungkin karena lebih senior atau mungkin karena menganggap negosiasi tidak akan berhasil, tidak menghubungi Pendeta setempat, tetapi mengatakan kepada keluarga/orang tua atau calon pengantin yang meminta kesediaannya melaksanakan pemberkatan nikah tersebut atau pelayanan sakramen: “kam tanyakanlah kepada Pendetandu, kalau dia tidak keberatan saya bersedia”. Hal inilah yang memicu permasalahan, khususnya sehubungan dengan pelaksanaan kebaktian pemberkatan nikah. Sebab, sudah pasti keluarga/orang tua atau calon pengantin berusaha agar Pendeta itu yang melaksanakan pelayanan kebaktian pemberkatan nikah tersebut. Jika Pendeta setempat tidak setuju, dibawalah ke sermon atau sidang runggun melalui Penatua Diaken yang masih mempunyai hubungan keluarga, dsb. Akhirnya masalah menjadi meluas dan muncul berbagai kesimpulan jika Pendeta setempat tidak setuju .
Pernah terjadi di suatu jemaat, terpaksa dilakukan voting karena Pendeta tidak setuju. Dan akhirnya Pendeta dan Penatua/Diaken yang tidak setuju kalah suara. Jikalau Pendeta setempat mengatakan setuju atau mengijinkan, memang seolah-olah tidak ada masalah. Tetapi benarkah demikian? Mungkin ada Pendeta merasa tidak ada masalah, tetapi tentu tidak semua demikian, sebagai manusia, besar kemungkinan akan timbul perasaan tidak enak, perasaan tidak senang baik kepada Pendeta yang tidak mengubunginya secara langsung, demikian juga kepada keluarga yang meminta Pendeta lain yang berkhotbah atau yang memberkati atau melaksanakan sakramen di gereja. Memang setiap keluarga/orang tua atau calon pengantin yang meminta Pendeta luar (Pendeta GBKP/PGI) yang melayani atau ikut melayani pemberkatan nikah atau pelayanan sakramen pasti mempunyai alasan. Tetapi sebagai orang percaya kita harus menjawab secara jujur, sudah benarkah alasan tersebut?. Sebab jikalau benar ada latar belakang khusus, bukan karena prestise, ataupun karena dianggap Pendeta setempat kurang populer, kurang pintar berkhotbah dan kurang, kurang yang lainnya, mungkin masih bisa di maklumi, dan Pendeta setempat juga akan menyikapi secara bijaksana. Walaupun demikian tetap ada pertanyaan, mengapa jikalau ada kebaktian penguburan atau penghiburan bukan Pendeta yang lain yang diminta? Kalau pun ada sangat jarang. Memang tidak semua Pendeta sungkan, ada juga yang menghubungi Pendeta setempat, namun karena tidak berhasil dalam negoisasi, tidak disadarinya telah menjadi provokator dengan mengatakan “saya sudah menghubungi Pendeta bapak/ibu, tetapi ia tidak setuju”. Akibatnya muncullah perasaan tidak senang, tidak simpatik bahkan kecewa kepada Pendetanya. Jikalau hal ini yang terjadi, apa jadinya gereja yang disebut persekutuan orang percaya yang saling mengasihi dan mengampuni? Oleh karena itu jika peraturan dibuat, bahwa Pendeta setempat yang harus melaksanakan pelayanan sakramen dan pemberkatan nikah kecuali berhalangan, tentulah masalah yang tidak mengenakkan, masalah kecewa, masalah tidak senang/simpatik keluarga terhadap Pendeta dan Pendeta terhadap Pendeta dan keluarga tidak akan terjadi.Terlebih berbicara mengenai pelayanan Sakramen, maupun, khususnya pemberkatan nikah yang utama dan terutama bukan soal siapa Pendetanya tetapi pemahaman bahwa Allah melalui hambaNya (Pendeta) kita amini akan berkenan dan memberkati umatNya.
B. Latar belakang rumusen Kode Etik Pendeta hasil Konven Wilayah IV tahun 2010 di Hotel Rudian-Cisaru
Salah satu pembahasan di dalam konven wilayah adalah Kode Etik Pendeta. Dan kesimpulan yang disepakati: “agar menjalankan Kode Etik Pendeta sebagaimana yang ada di Tata Gereja GBKP”. Khususnya menyangkut Pelayanan Sakramen dan pemberkatan nikah, disepakati agar Pendeta setempat yang melaksanakan sepenuhnya, kecuali Pendeta setempat berhalangan”. Keputusan ini dibuat tidak terlepas dari hasil kesimpulan PA Pagi, dimana salah satu pokok diskusi menyangkut “kebersamaan Pendeta”. Di dalam diskusi, kelompok-kelompok mengemukakan bahwa kebersamaan Pendeta sangat penting. Sebab jika Pendeta-Pendeta tidak saling menopang, saling menghargai dan saling mendukung bagaimana mungkin dapat menjadi teladan di tengah-tengah jemaat. Oleh karena itu sesama Pendeta harus saling menopang, bukan sebaliknya. Sebab sebagaimana sudah disebutkan diatas, ada Pendeta yang tidak menjalankan Kode Etik Pendeta (“negosiasi”/arih-arih) ketika melakukan pelayanan diluar jemaatnya yang mempunyai Pendeta. Yang kadang terjadi, keluarga atau pertua/diaken atau pun “BP Runggun” yang memberi tahu kepada Pendeta setempat bahwa keluarga si A menginginkan Pendeta si Anu berkhotbah atau melayani pemberkatan nikah atau sakramen dengan alasan-alasannya. Oleh karena sungkan atau takut ada masalah, Pendeta setempat mengatakan “tidak masalah” atau menyatakan setuju walaupun dalam hati “ada masalah”, merasa didiskreditkan, merasa tersakiti (“tersayat pusuh”) . Demikianlah istilah ini muncul di dalam diskusi PA pagi. Oleh karena itu untuk mengantisipasi hal tersebut, dibuat rumusan keputusan Kode Etik Pendeta Konven Wilayah IV tahun 2010. Kemudian keputusan konven ini, khusus menyangkut pelayanan sakramen, pemberkatan nikah dan pelantikan-pelantikan di bawa ke dalam Sidang GBKP Klasis Jakarta-Bandung, Maret 2011 di Semarang dan diputuskan diberlakukan di wilayah GBKP Klasis Jakarta-Badung. Juga telah menjadi keputusan di dalam Sidang Kerja Sinode 2011 di Suka Makmur untuk diberlakukan si setiap jemaat GBKP.
Perlu dijelaskan bahwa keputusan ini bukan semata-mata kepentingan Pendeta, jikalau ada pemahaman seperti itu boleh-boleh saja tetapi itu menunjukkan ketidak dewasaan dalam berjemaat dan dalam hidup sebagai bagian persekutuan umat Allah. Kedewasaan berjemaat berarti tidak hanya melihat dan memikirkan kepentingan pribadi tetapi kepentingan umum jemaat, dan supaya jemaat terus bertumbuh, berkembang dan berbuah. Kepentingan jemaat secara umum harus ditempatkan diatas kepentingan pribadi, apa lagi untuk memperlihatkan keakuan atau prestise dari pribadi, keluarga atau kelompok. Diatas sudah dijelaskan dampak yang tidak sehat dalam kehidupan jemaat jikalau Pendeta, Penatua/Diaken dan jemaat tidak mengindahkan aturan atau kode etik yang sudah dibuat. Peraturan bukan tujuan tetapi alat untuk menuntun orang yang cenderung ingin menyimpang atau tidak teratur. Dalam hal ini Pendeta, Penatua/Diaken seharusnya menjadi teladan mengerti dan menjalankan peraturan yang sudah disepakati, bukan sebaliknya.
BAB III
KODE ETIK PENDETA DITINJAU DARI SEGI
ORGANISASI UMUM
Berbicara mengenai organisasi berarti
berbicara mengenai sekumpulan orang-orang yang memiliki tujuan bersama,
kemudian mengorganisasikan diri dengan bekerja bersama-sama dan
merealisasikan tujuannya.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya suatu konflik dalam sebuah organisasi yang dikarenakan oleh adanya ketidakselarasan tujuan, perbedaan interpretasi fakta, ketidaksepahaman yang disebabkan oleh ekspektasi perilaku dan sebagainya, dirumuskanlah terlebih dahulu antara lain yang sangat penting:
(1) Tujuan Organisasi, yakni merupakan motivasi, misi, sasaran, maksud dan tujuan yang akan dicapai dalam rentang waktu tertentu. Tujuan berdasarkan rentang dan cakupanya dapat di bagi dalam beberapa karakteristik tujuan organisasi, antara lain:
- Tujuan jangka panjang
- Tujuan jangka menengah dan
- Tujuan jangka pendek
(2) Struktur. Struktur Organisasi
sangat penting untuk dapat dipahami oleh semua komponen dalam rangka
menciptakan sistem kerja yang efektif dan efisien. Struktur organisasi
merupakan deskripsi bagaimana organisasi membagi pekerjaan dan
melaksanakan tugas atau pekerjaannya dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Struktur organisasi juga mengatur siapa yang melaksanakan
tugas dan pekerjaan itu. Selain membagi dan mengatur tugas dan
pekerjaan yang diemban oleh organisasi, struktur organisasi juga
menggambarkan hubungan organisasi secara internal maupun eksternal.
(3) Sistem.
Setiap organisasi baik formal maupun
informal, akan menganut suatu sistem yang mengatur bagaimana cara
organisasi mencapai tujuannya. Untuk itulah setiap organisasi memiliki
peraturan-peraturan yang merefleksikan kepentingan-kepentingan
organisasi. Sistem pada organisasi itu dapat berupa anggaran dasar,
anggaran rumah tangga, peraturan khusus, prosedur dan peraturan
lainnya. Pada organisasi yang paling kecil, yaitu keluarga, pada
dasarnya juga memiliki peraturan-peraturan sekalipun tidak sekompleks
peraturan pada organisasi besar. Sistem yang dianut oleh organisasi
inilah yang mengatur setiap gerak dan tindak tanduk organisasi. Pada
organisasi monarki, sistem itu berupa kekuasaan mutlak yang berada di
tangan raja. Raja mengatur segala aspek dan membuat
peraturan-peraturan. Raja berperan sebagai pusat (sentral) segala aspek
di dalam organisasi kerajaan. Organisasi demikian dapat disebut dengan
organisasi yang diatur oleh orang (ruled by person). Pada organisasi
yang maju, segala aspek di dalam organisasi diatur oleh sistem. Sehingga
disebut dengan organisasi yang ruled by sistem. Sekalipun sistem itu
dibuat oleh orang perorang, namun setiap orang memiliki komitmen yang
tinggi untuk mengikuti sistem tersebut. Apabila sistem tersebut
dipandang perlu untuk diperbaiki, maka sistem tersebut bisa diperbaiki
agar kembali sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan organisasi.
Organisasi yang diatur oleh sistem (ruled by sistem), memiliki sistem
yang berkesinambungan sekalipun ada orang yang keluar/masuk ke dalam
organisasi.
Semuanya ini, tujuan, struktur dan
sistem ketika telah disepakati dalam rapat pleno para anggota, maka
keputusan tersebut mengikat semua anggota untuk bersama-sama menjadikan
keputusan tersebut menjadi pegangan dan landasan dalam menjalankan
organisasi untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Jika ada
anggota yang tidak setuju dengan keputusan yang telah disepakati dalam
rapat umum para anggota, maka tidak bisa mengatakan saya tidak mau
menjalankannya karena pada waktu itu saya tidak setuju, jika itu yang
dilakukan berarti orang tersebut tidak memahami atau tidak mengerti
tentang organisasi. Dengan kata lain selama ia masih menjadi anggota ia
harus tunduk kepada aturan organisasi, jika merasa tidak lagi cocok
dengan organisasi tersebut sebaiknya keluar dari organisasi.
Berdasarkan pemahaman organisasi umum ini, maka:- Apa yang menjadi keputusan mengenai Kode Etik Pendeta yang di hasilkan lewat konven wilayah IV tahun 2010 dan telah dikuatkan dalam Sidang Klasis Jakarta-Bandung pada bulan Maret 2011 di Semarang dan juga secara Synodal melalui Sidang Kerja Sinode tahun 2011 di Sukamakmur itu sah dan tidak bisa diganggu gugat sepanjang keputusan tersebut belum diubah dalam sidang setingkat atau persidangan yang lebih tinggi, baik oleh Pendeta mau pun jemaat .
- Keputusan yang diambil juga sudah tepat, bahwa Pendeta setempat yang ditempatkan di suatu jemaat oleh Moderamen sesuai dengan fungsinya yakni sebagai Gembala, Guru dan Pemimpin dan khususnya penugasan seorang Pendeta yang tertuang dalam Tata Gereja (Bab III, Pasal 11 butir 1, 3), maka sudah seharusnya semua pelayanan di suatu jemaat dilaksanakan oleh Pendeta setempat kecuali berhalangan. Jadi sangat tidak benar bahwa di dalam suatu organisasi, ada anggota yang tidak patuh kepada pemimpinnya. Jika itu ada maka anggota tersebut dapat dikelompokkan sebagai anggota yang tidak loyal, yang tidak setia terhadap aturan yang sudah ditetapkan melalui mekanisme organisasi.
BAB IV
ORGANISASI GBKP, HAK DAN TANGGUNGJAWAB JEMAAT
DALAM KAITAN DENGAN KODE ETIK PENDETA
Dalam kehidupan bergereja sering kali
terjadi benturan-benturan yang pada kenyataannnya dapat menjadikan
situasi yang ada di lingkungan gereja menjadi tidak kondusif. Terjadi
disharmonisasi antara warga jemaat dengan warga jemaat, warga jemaat
dengan Pendeta, Penatua - Diaken dengan warga jemaat, Penatua – Diaken
dengan Pendeta, dan juga Pendeta dengan Pendeta. Dan yang sering kali
yang menjadi asal muasal dari ketidak baikan ini adalah adanya
keinginan dari pribadi jemaat atau golongan, bahkan juga bisa pada
tatanan Pendeta dan juga Penatua - Diaken yang merasa “terabaikan”
keinginannya. Juga bisa disebabkan oleh “ketidaktahuan” dan
ketidakmautahuan” akan landasan gereja (baca Tata Gereja). Bahkan yang
lebih parahnya lagi ketika Tata Gereja itu sendiri dipakai sebagai
“alat” untuk mengesahkan keinginannya itu tanpa mau meneliti apa yang
terkandung pada setiap tulisan yang ada di dalam Tata Gereja tersebut.
Dari permasalahan yang terjadi ini,
yang sering kali mendapatkan sorotan adalah keberadaan Pendeta yang
pada saat itu ditempatkan di jemaat tersebut. Sering dikatakan bahwa
Pendeta tidak mau mengerti keinginan jemaatlah, tidak “menghormati”
keputusan Sidang Majelis Jemaatlah, dan lain sebagainya. Untuk
memahami judul di atas maka ada 3 (tiga) bagian penting yang perlu kita
pahami bersama-sama . Sembari kita juga mencoba untuk mengkritisi
bagian-bagian yang nantinya kita rasa perlu untuk lebih ditegaskan atau
di dalami lagi. Ketiga bagian itu adalah :
Organisasi GBKP
Hak dan Tanggung Jawab Warga Jemaat
Pendeta dan Keberadaannya di GBKP
(A) Pemahaman Tentang Organisasi GBKP
Pasal 16 dan Pasal 17 dalam Tata gereja
GBKP berisi tentang Bentuk dan Susunan Organisasi GBKP. GBKP dalam
sistem pengorganisasiannya berbentuk Presbiterial Sinodal yang
didalamnya ada unsur Pendeta, Penatua dan Diaken. Ketiga unsur yang ada
ini secara bersama-sama mempunyai tugas untuk memperlengkapi warga
jemaat agar imannya makin dewasa untuk melakukan tugas pelayanannya,
pertumbuhan dan pembangunan jemaat. Kedudukannya juga dalam gereja sama
dan hanya dibedakan oleh fungsinya namun dengan tujuan sama yakni
untuk menatalayankan misi Kristus sebagai kawan sekerja Allah.
Sedangkan susunan yang ada di GBKP adalah Jemaat, Klasis (gabungan dari
beberapa Jemaat salah satu wilayah), serta Sinode yang masing-masing
memiliki Badan Pekerja sesuai dengan tingkatannya (lih. Pasal 19 ayat
1-3).
Dalam tulisan ini kita akan memfokuskan
perhatian kita pada tatanan pengorganisasian yang ada pada tingkatan
Jemaat. Pada Pasal 19 ayat 1 diterakan tentang Badan Pekerja Majelis
Jemaat . Yang perlu kita kritisi di sini adalah tidak dicantumkannya
tentang siapa itu Majelis Jemaat. Memang sepertinya kita melihat bahwa
Pendeta adalah bagian dari Majelis Jemaat, dan memang seharusnya
seperti itu. Dan penentuan siapa yang menjadi Badan Pekerja Majelis
Jemaat yang didalamnya keberadaan Pendeta ikut serta dalam pemilihan,
bisa merupakan awal dari ketidakharmonisan ke waktu-waktu yang akan
datangnya. Hal ini disebabkan ada semacam “kompetisi” antara “yang dari
luar” (Pendeta) yang “yang dari dalam” (Penatua – Diaken) . Apabila
Pendeta yang terpilih sebagai Ketua Majelis Jemaat, dianggap bahwa
keberadaannya akan mengukuhkan dominasinya dalam kehidupan bergereja.
Demikian juga apabila Pendeta tidak duduk dalam Badan Pekerja Majelis
Jemaat, maka keberadaannya dianggap sebagai “alat pelengkap” yang
senantiasa tunduk pada “keputusan” Sidang Majelis Jemaat yang
pesertanya didominasi oleh Penatua dan Jemaat. Ini realita yang sering
terjadi dalam kehidupan gereja.
Salah sistem pengorganisasian GBKP,
khususnya dalam persidangan majelis Jemaat; sebagai imbas dari
“kesetaraan” antara Pendeta, Penatua dan Diaken maka ini juga merupakan
peluang untuk terjadinya disharmoni. Mengapa? Ini dikarenakan “one man
one vote” dan terjadi pengabaian terhadap pemaknaan Persidangan itu
sendiri. Pemaknaan persidangan seharusnya dengan menghubungkannya
dengan setiap bagian yang saling berkaitan di dalam Tata Gereja.
Khususnya dalam hal-hal atau kasus-kasus tertentu, yang harus
diutamakan adalah tuntunan dari asas gereja itu sendiri yang mana
gereja harus tunduk pada butir-butir yang terdapat pada Pasal 21 ayat 1
point g dan h . Berdasarkan telaah pada apa yang dimaksudkan pada
butir-butir itulah keputusan itu diambil. Memang benar, pengambilan
suara bila tidak ada kata sepakat diteruskan dengan voting. Tapi voting
harus tetap didasarkan pada pemahaman yang benar dan bukan pada suara
siapa yang terbanyak yang walaupun tidak sesuai pada akhirnya itulah
yang menjadi keputusan. Inilah yang juga seringkali menjadi
permasalahan dalam perjalanan organisasi gereja. Bisa untuk lebih
“mempercepat” proses pengambilan keputusan, Majelis Jemaat mengambil
“jalan pintas” pada voting.
Demikian juga dalam kaitannya dengan
Sidang Badan Pekerja Majelis Jemaat, memang Pendeta yang tidak duduk
sebagai Badan Pekerja wajib diundang dan berlaku sebagai narasumber
(Pasal 33 ayat 3) , namun dalam kenyataannya bisa saja keberadaan
Pendeta “diabaikan” karena dianggap tidak sejalan atau “menghambat”
keputusan yang mereka ambil (bd. Pasal 33 ayat 5 point d) . Khususnya
pada kasus-kasus “pelayanan gereja” yang melibatkan keberadaan Pendeta
lain di luar jemaat itu sendiri. Padahal, segala sesuatu yang menjadi
tugas dan tanggung jawab seorang Pendeta sudah dijabarkan dalam Tata
Gereja Pasal 11 ayat 2 (nanti akan dijelaskan lebih luas lagi pada
bagian Pendeta dan keberadaannya di GBKP). Ini juga merupakan titik
tolak mengapa pada akhirnya dikeluarkannya Kode Etik Pendeta, yang
sewajarnya tidak perlu ada apabila masing-masing pihak baik itu warga
jemaat, Penatua – Diaken, dan juga Pendeta memahami, menghargai dan
tunduk pada Tata Gereja GBKP.
(B) Hak dan Tanggung Jawab Warga Jemaat.
Mengacu pada Tata Gereja GBKP Pasal 5
ayat 1-6 jelas dituliskan siapa saja yang dimaksud dengan warga jemaat
di GBKP. Mulai dari orang yang dibaptis dan di sidi, orang yang
mempunyai kekurangan khusus, anak warga jemaat yang belum dan sudah
dibaptis, anggota di luar PGI yang telah diterima sebagai warga GBKP,
orang yang sedang menjalani pengajaran agama untuk dibaptis dan juga
orang yang sedang terkena disiplin gereja dan sedang menjalani
penggembalaan .
Adapun hak yang dimiliki oleh warga
jemaat juga dituliskan pada Pasal 7 ayat 1-3 yang berisi tentang berhak
memperoleh pelayanan dan pembinaan baik dalam suasana duka maupun
duka. Mereka juga apa bila telah sidi berhak untuk dipilih pada
bagian-bagian kehidupan bergereja. Dan yang terakhir, mereka juga
berhak untuk memberikan sumbangan pikiran yang positif .
Berkaitan dengan keberadaan Pendeta,
maka bisa terjadi dengan memakai apa yang tertulis di Tata Gereja ini
“diperalat” untuk bisa memenuhi “kebutuhan” mereka. Seperti, bila ada
anggota jemaat yang hendak mendapatkan pelayanan gereja apakah baptisan
ataupun pemberkatan perkawinan, untuk mendapat pelayanan yang”terbaik”
maka mereka meminta melalui “jalur” yang tepat yaitu majelis Jemaat
untuk bisa mengabulkan “keinginan” mereka tersebut. Ini juga yang perlu
kita kritisi dalam rangka membangun pelayanan yang sehat di
tengah-tengah gereja kita.
Hal di atas berkait erat dengan
tanggung jawab yang ada pada warga jemaat, khususnya yang tertulis pada
Pasal 8 ayat 1 point p dan q. Warga jemaat juga punya kewajiban untuk
mengetahui apa dan bagaimana gereja GBKP sehingga pada kelanjutannya
akan mampu menempatkan dirinya sebagai warga jemaat yang senantiasa
mengupayakan apa yang terbaik bagi GBKP seturut dengan kehidupan gereja
yang benar di hadapan Tuhan. Demikian juga dalam mendukung pelayanan
atau aktivitas para Pelayan Khusus (termasuk Pendeta) maka warga jemaat
harus mampu menempatkan diri sebagai bagian terdepan yang memberikan
dukungan bagi berjalannya kehidupan gereja yang benar berdasarkan Tri
Tugas Gereja. Dan hak untuk memberikan masukan yang positif sangatlah
dibutuhkan apabila warga jemaat melihat ada yang tidak sesuai dengan
kebenaran yang berlaku di GBKP. Warga Jemaat wajib memberikan
kepercayaan kepada Majelis Jemaat dalam rangka memberikan pelayanan
yang terbaik kepadanya; dan pelayanan gereja jangan dipandang sebagai
bagian dari “prestise hidup” tapi bagian dari rancangan berkat dan
anugrah yang telah dipersiapkan Tuhan bagi kehidupan mereka.
(C) Pendeta dan Keberadaannya di GBKP
Pendeta adalah bagian dari Pelayan
Khusus yang ada di GBKP selain dari Penatua dan Diaken. Untuk dapat
menjadi Pendeta, maka warga GBKP yang telah sidi harus melalui
pendidikan teologi dan setelah tamat menjalani masa vicaris dan
kemudian ditahbiskan untuk kemudian membaktikan dirinya pada kehidupan
gereja di GBKP atau di tempat lain sesuai dengan penugasan GBKP pada
dirinya. Pada pasal 11 ayat 2 dituliskan tentang fungsi dan tugas-tugas
yang diembankan kepada Pendeta .
Kita akan menyoroti keberadaan Pendeta
sehubungan dengan keberadaannya di tengah-tengah jemaat. Seorang
Pendeta ditempatkan oleh Moderamen GBKP pada suatu jemaat dengan masa
waktu 5 tahun dan setelah itu maka ia akan dimutasikan ke tempat atau
jemaat lainnya. Dan ketika ditempatkan di sebuah jemaat maka kepadanya
diembankan untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan fungsi,
tugas dan aturan yang berlaku di GBKP. Salah satunya Pendeta harus
tunduk pada keputusan Sidang Majelis Jemaat khususnya tentang pembagian
kerja . Hal ini mungkin berkaitan juga dengan wewenang yang diberikan
kepada Pendeta. Sayangnya dalam Tata Gereja GBKP tidak secara rinci
dituliskan apa saja yang menjadi wewenang Pendeta yang nantinya
sekaligus juga menjadi “rambu-rambu” untuk menjaga etika hubungan kerja
dan komunikasi baik dengan jemaat, Penatua – Diaken, dan juga sesama
Pendeta lainnya di lingkup GBKP. Dari pemahaman yang tidak jelas inilah
yang pada akhirnya ruang gerak atau aktivitas Pendeta GBKP perlu
diberi “rambu-rambu” yang di sebut dengan Kode Etik Pendeta.
Seperti yang tertulis pada Pasal 11
ayat 3 point a tentang penugasan Pendeta, dikatakan hanya melayani
jemaat. Dan kata melayani jemaat adalah sesuatu yang memiliki arti dan
lingkup yang sangat luas. Memang Pendeta ditugaskan untuk melayani
jemaat. Tapi ke depan, ketika melayani jemaat perlu ditegaskan tentang
ruang lingkup atau wewenang (dapat dikatakan sebagai penugasan utama
yang harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan) serta batasan apa
saja yang harus ditaati oleh seorang Pendeta ketika berada dalam sebuah
jemaat .
BAB V
KODE ETIK PENDETA DITINJAU
DARI TRADISI CALVIN
Tuhan Allah yang menciptakan langit dan
bumi beserta segala isinya, menggambarkan sifat Allah yang teratur
(harmonis = seimbang dan selaras). Cerita penciptaan adalah merubah
kekacauan menjadi teratur. Semuanya proporsional (menempatkan semuanya
pada tempat dan fungsinya), sehingga Allah sendiri memberikan
penilaian tentang pekerjaan-Nya itu sungguh amat baik .
Keteraturan mungkin bukan saja
keinginan Tuhan semata, tetapi kerinduan semua orang pada umumnya, yah
walaupun ada juga segelintir manusia yang tidak menginginkan
keteraturan itu, sehingga Undang-undang atau peraturan dianggap menjadi
beban dan sangat mengganggu. Keharmonisan (teratur, selaras dan
seimbang) adalah salah satu kunci hidup damai sejahtera dan sekaligus
suasana ini akan membuat pekerjaan menjadi lebih berkualitas, apalagi
pekerjaan itu melibatkan banyak orang dan sarat akan kepentingan.
Salah satu cara untuk menjaga
keharmonisan dalam dunia pekerjaan adalah membuat kode etik . Ketaatan
pada kode etik akan menciptakan suasana kerja yang aman,tenang dan
kondusif.
Tidak dapat di pungkiri bahwa GBKP
mewarisi teologia Calvinis. Soekarno pernah mengatakan bahwa bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Walaupun di GBKP saat
ini, warna Calvinis itu sudah benyak sekali mengalami perubahan,
tetapi mungkin tidak ada salahnya kalau kita meneliti kembali pemahaman
teologianya sebagai landasan penyusunan sistem kegerejaannya.
Sehubungan dengan ditetapkanya kode
etik Pendeta GBKP, maka kita akan membahas tradisi Calvinisme
tentang gereja dan kedudukan Pendeta dalam gereja.
Pada umumnya gereja-gereja yang
beraliran Calvinis menyusun sistem gereja berbentuk Presbiterian.
Kekuasaan tertinggi di kalangan Gereja Presbiterian berada di tangan
Penatua (bhs. Indonesia: “presbiter”; bhs. Yunani: “presbuteros”), yang
terbagi dalam dua golongan, yaitu penatua yang mengajar (Pendeta) dan
Penatua yang memimpin. Bersama-sama kedua golongan penatua ini
merupakan Majelis gereja yang bertanggung jawab dalam menegakkan
disiplin, memelihara jemaat dan menjalankan misi gereja. Tugas-tugas
yang berkaitan dengan pemeliharaan gedung, keuangan gereja, pelayanan
kepada mereka yang kekurangan atau dilanda kedukaan, ditangani oleh
Diaken. Penatua yang mengajar (Pendeta) bertanggung jawab dalam
pengajaran, kebaktian (ibadat) dan melayankan sakramen.
Menurut Calvin, di dalam gereja ada
empat jabatan yaitu Gembala atau Pendeta (Pastor), Pengajar (Doctor),
Penatua (Presbyter) dan Syamas (Diacon). Pendeta bersama para Penatua
merupakan konsistori yaitu majelis gereja yang memimpin jemaat dan yang
menjalankan disiplin gereja.
Pendeta, memiliki tugas:
- Memberitakan Firman dan melayankan sakramen
- Bersama para Penatua mengawasi kehidupan jemaat
- Menegur warga gereja yang menyimpang dari ajaran dan peraturan gereja
Pengajar adalah semua orang yang
terlibat dalam tugas pengajaran, yaitu guru (agama) di sekolah, guru
katekisasi, para dosen teologi. Tugas pengajar adalah mengajarkan
hal-hal yang berhubungan dengan iman Kristen.
Penatua (bersama-sama Pendeta) bertugas
mengawasi kehidupan gereja. Kewajiban utama penatua adalah melayankan
Firman. Dalam pemerintahan gereja, Calvin memberi tempat dan wewenang
terbesar kepada Pendeta daripada kepada Penatua.
Diaken (Syamas) bertugas mengurus orang
sakit, miskin dan menderita. Pada saat itu Syamas tidak termasuk
anggota sidang majelis.
Ada dua jenis syamas:- Syamas yang memegang keuangan gereja.
- Syamas yang ditugasi merawat orang-orang sakit dan orang-orang miskin misalnya di rumah sakit dan penampungan orang-orang lanjut usia.
Diaken (Syamas) tidak hanya membagikan
uang kepada orang-orang miskin tetapi juga memelihara beberapa lembaga
yang melayankan kasih
.
.
Dari pengajaran Calvin tentang jabatan
gereja, Pendeta adalah sentral dalam menjalankan kepemimpinan di
gereja, terkhusus dalam hal-hal teologia, sehingga tidak berlebihan
dalam Tata Gereja GBKP tentang fungsi dan tugas Pendeta yaitu :
Gembala, Guru dan Pemimpin .
Dengan demikian kedudukan Pendeta di
sebuah Majelis Jemaat bukan di tentukan apakah dia duduk di struktur
atau tidak. Fungsinya sebagai Gembala, Guru dan Pemimpin membuat
tanggung jawab terbesar dalam sebuah majelis jemaat ada di pundaknya.
Hal inilah yang mendasari apa yang di tuliskan dalam buku “Beberapa
Penjelasan Tata Gereja GBKP 2005-2015, tentang kedudukan seorang
Pendeta . Jadi setiap persidangan dalam gereja harus dihadiri Pendeta
yang ditempatkan di Majelis Jemaat itu, sebagai nara sumber .
Gereja yang hidup akan terus berkembang
demikian juga dengan Calvin terus melakukan perubahan-perubahan oleh
karena tantangan dan perkembangan zaman. Setelah sejumlah pendukung
Calvin memenangkan jabatan di Dewan Kota Jenewa, ia diundang kembali ke
kota itu pada 1541.
Sekembalinya ke sana, berbekal wewenang
untuk menyusun bentuk kelembagaan gereja, Calvin memulai program
pembaharuannya. Ia menetapkan empat kategori dalam pelayanan gereja,
dengan peranan dan kekuasaan yang berbeda-beda:
- Doktor memegang jabatan dalam ilmu teologi dan pengajaran untuk membangun umat dan melatih orang-orang dalam jabatan-jabatan lain di gereja.
- Pendeta yang bertugas berkhotbah, melayankan sakramen, dan menjalankan disiplin gereja, mengajar, dan memperingatkan umat.
- Diaken mengawasi pekerjaan amal, termasuk pelayanan di rumah sakit dan program-program untuk melawan kemiskinan.
- Penatua yaitu 12 orang awam yang tugasnya adalah melayani sebagai suatu polisi moral. Mereka umumnya mengeluarkan surat-surat peringatan, serta bila perlu menyerahkan para pelanggar ke Konsistori.
Pelanggaran merentang dari menyebarkan
doktrin yang salah hingga pelanggaran moral, misalnya berdansa dengan
liar dan menyanyi dengan buruk. Bentuk-bentuk penghukuman biasanya
lunak -- pelanggar dapat disuruh menghadiri khotbah-khotbah yang
disampaikan secara terbuka atau kelas-kelas Katekisasi.
Pembaharuan dan perkembangan gereja
yang di lakukan oleh Calvin khususnya tentang jabatan gereja yaitu
adanya pembagian tugas. Pendeta bertugas berkhotbah, melayankan
sakramen, dan menjalankan disiplin gereja, mengajar, dan memperingatkan
umat. Urusan-urusan peribadahan dan hal-hal yang berbau teologia
semuanya di serahkan kepada Pendeta, karena memang untuk itulah dia
dikhususkan. Penatua yaitu 12 orang awam yang tugasnya adalah melayani
sebagai suatu polisi moral. Mereka umumnya mengeluarkan surat-surat
peringatan, serta bila perlu menyerahkan para pelanggar ke Konsistori.
Inilih yang dimaksud Paulus tentang tugas seorang penilik jemaat .
Urusan para Penatua bukan hal-hal ibadah tetapi memperhatikan hal-hal
moral.
Dengan mempelajari tradisi Calvin
tentang jabatan gereja, hendaknya kita semakin di mampukan menjaga
kode etik (norma-norma) dalam pelayanan. Kita lebih proporsional
(mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawab kita dan dimana kita
ditempatkan) sehingga terciptalah suasana damai, aman dan tentram di
gereja kita, biarlah semuanya itu membawa Soli Deo Gloria.
BAB VI
KODE ETIK PENDETA DITINJAU DARI
TEOLOGI ALKITABIAH
A. Kode Etik Pendeta menghormati pemilihan dan penetapan Allah.
Mengapa seseorang menjadi Pendeta?
Pertanyaan tersebut tentu mempunyai banyak jawaban. Tetapi yang pasti
seseorang menjadi Pendeta karena Allah mengijinkannya atau Allah
membuka jalan bagi Pandita tersebut. Nats Alkitab yang menyatakan hal
tersebut (band. Yoh. 15:16 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah
yang telah memilih kamu, Yoh. 15:19 Aku telah memilih kamu dari dunia.
Ada orang yang bercita-cita menjadi Pendeta, tetapi faktanya ada yang
tidak tercapai.
(1) Pemilihan dan penetapan Allah sebagai Pendeta dalam Tata Gereja GBKP sebagai Pendeta dinyatakan sebagai berikut:
Pendeta adalah anggota sidi jemaat yang
dipanggil oleh Yesus Kristus melalui pendidikan teologia dan
ditahbiskan mejadi pelayan khusus penuh waktu sebagai Pendeta guna
memikirkan dan mengembangkan teologia serta berpikir secara teologia
dalam kehidupan dan kepemimpinan pelayanan Gereja bersama-sama dengan
pelayan khusus lainnya (Tata Gereja GBKP 2005-2015, 2005: 9).
(2) Makna penahbisan adalah untuk
pemberian hak, wewenang dan kewajiban untuk melakukan penumpangan
tangan , sakramen dan pekerjaan lainnya (Tata Gereja GBKP
2005-2015,2005:12). Siapapun dia (apakah orang yang sudah menikah atau
belum) dapat melakukan tugas gereja lainnya dan kita harus
menghormatinya, dengan alasan orang itu sudah ditahbiskan. Penghormatan
terhadap penahbisan ini dilakukan Daud terhadap raja Saul, Daud
berkata:”Ketahuilah pada hari ini matamu senndiri melihat bahwa Tuhan
telah menyerahkan engkau ke dalam tanganku dalam gua itu; ada orang
yang telah menyuruh aku untuk membunuh, tetapi aku merasa sayang
kepadamu karena pikirku, aku tidak akan menjamah tuanku itu, sebab
dialah yang telah diurapi Tuhan” (1 Sam 24:11).
(3) Penempatan Pendeta dalam Tata
Gereja GBKP 2005-2015, pasal 41:2a mutasi … setelah mendengar usul dari
bersangkutan, BP Majelis Jemaat dan BP Klasis. Penempatan seseorang
Pendeta, bagi Pandita itu sendiri adalah misteri (tidak dapat
diatur-atur), mungkin saja ada keinginan tetapi keinginan itu bisa
tidak tercapai. Seorang Pendeta harus bersedia ditempatkan di seluruh
wilayah pelayanan GBKP dan di tempat yang ditunjuk oleh Moderamen GBKP
(Tata Gereja GBKP 2005-2015, 2005:12).
Selama lima Tahun atau kurang dalam
Majelis Jemaat, semua mendukung agar pandita dapat melakukan tugasnya.
Adapun tugas Pendeta adalah gembala, guru dan pemimpin (Tata Gereja
GBKP 2005-2015, 2005:9-11). Tugas sebagai gembala dinyatakan dalam
Kis. 20:28 Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan,
karena kamulah telah ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk
mengembalakan jemaat Allah yang diperolehNya dengan darah AnakNya
sendiri.
Pemilihan dan penetapan Allah sebagai pandita patut dihormati oleh semua anggota jemaat GBKP.
B. Kode Etik Pendeta menjaga perasaan
pribadi. Manusia mempunyai rasa; rasa ditolak, rasa tidak dipercaya,
rasa diperkecil (baik dalam diri Pendeta atau yang meminta Pendeta lain
untuk melayaninya). Sementara dalam Flp. 2: 5 Rasul Paulus
mengingatkan: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan
perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus.”
C. Kode Etik Pendeta memberi ketenangan .
Kode etik Pendeta mencerminkan keteraturan. Keteraturan tersebut
memberi ketenangan kepada jemaat, sebab jemaat mendapat pelayanan yang
pasti dari Majelis Jemaat. Bukankah usul pribadi untuk mendapatkan
pelayanan dari luar Majelis Jemaat itu mengganggu ketenangan dari
pengusul dan dari orang-orang yang terkait? Sementara ketenangan sangat
disenangi Tuhan “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati
membusukkan tulang” (bd. Amsal 14:30); “Jadilah tenang supaya kamu dapat
berdoa” (1 Pet.4:7).
D. Kode Etik Pendeta sesuai dengan
sistem yang berlaku di GBKP. Sistem pengorganisasian gereja, secara umum
dapat dibagi tiga kelompok besar, yaitu Kongregasional, Episkopal dan
Presbiterian. (Dalam prakteknya ada beberapa variasi penggabungan dari
sitem-sistem yang ada).
Sistem Episkopal (episkopos yang
berarti”overseer”/penilik (kata ini juga diterjemahkan menjadi bishop
dan uskup) dan dinyatakan bahwa gereja diatur dan dipimpin oleh (para)
bishop. Dalam sistem ini , otoritas dan kewenangan terletak pada bishop
yang mengawasi sekelompok gereja, bukan saja satu gereja lokal. Bishop
menahbiskan ministers atau imam (priest) (bd. Mat. 16:18-19).
Sistem Kongregasional adalah disebut
sebagai sistem independent karena sistem ini menegaskan baghwa “Setiap
gereja lokal adalah suatu badan lengkap, yang tidak bergantung dengan
badan yang lain. Dalam sistem ini kekuasaan gereja sepenuhnya berada
pada anggota jemaat, yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dirinya i
sendiri secara independen dan penuh.” Otoritas pemerintahan gereja
tidak terletak pada individu maupun perwakilan individu melainkan
seluruh jemaat lokal. Ditekankan dalam sistem ini otonomi dan demokrasi.
Para pelayan gereja adalah jabatan fungsional untuk melayani Firman,
mengajar dan melaksanakan urusan gereja semata-mata (1 Ptr. 2:9).
Sisstem Presbiterian Yunani: presbuteros
yang berarti ”Penatua.” Dalam gereja sistem presbiterian ini, setiap
gereja lokal adalah independen satu dengan dan dari yang lain, tetapi
mereka diikat oleh suatu “ketentuan normatif yang sama dan pengakuan
iman yang sama.” Sistem ini menegaskan bahwa setiap jemaat dapat
melakukan pelayanannya sendiri dipimpin oleh Pendetanya, termasuk
memanggil Pendeta yang dikehendakinya yang diteguhkan oleh oleh
presbiter yang terdiri dari Pendeta dan Penatua yang mewakili
gereja-gereja lokal. Dalam sistem ini menekankan sistem perwakilan
jemaat yakni Penatua. Jadi otoritas yang tertinggi adalah kemajelisan
Penatua. GBKP mengikuti sistem pemerintahan presbiterial sinodal itu
artinya setiap Majelis Jhemaat independen satu dengan yang lain, artinya
Pendeta mendapat amanat pelayanan dari Majelis Jemaat setempat.
Dalam Ibr. 13:17 dinyatakan sebagai
berikut: ”Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka,
sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang
bertanggung jawab atasnya. Dengan demikian mereka akan melakukannya
dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak membawa
keuntungan bagimu.” Selama pemimpin gereja masih setia kepada Allah,
FirmanNya dan tujuan gereja maka jemaat juga setia kepada pemimpinnya.
E. Kode Etik Pendeta membangun
kemandirian gereja Kemandirian berarti memiliki kepribadian yang dapat
berdiri sendiri dalam hubungan secara langsung dengan Kristus sebagai
sumber segalanya. Ketergantungan kepada Kristus ini membawa tiap-tiap
orang percaya kepada kesatuan iman (Ef. 4:13) untuk saling membantu dan
menciptakan kemandirian gereja itu sendiri.
Ada 3 unsur kemandirian Gereja : (1)
Teologia, yang dimaksud dengan mandiri teologia adalah pengenalan akan
Allah dan kebenaran-Nya. (2) Daya, kualitas sumber manusia yang dapat
menjawab tiap-tiap permasalahan dan tantangan-tantangan hidup yang terus
di kembangkan (3) Dana, kecukupan dana untuk pelayanan
Kemandirian dipahami sebagai sikap yang merupakan salah satu ciri kedewasaan sikap itu:
- Bersumber akan pengenalan dan kesadaran akan hakikat dan tujuan hidup Kristiani.
- Didasari pandangan rasa percaya diri yang kuat.
- Menyatakan diri dalam prilaku yang ditandai dengan tekad dan kemampuan untuk menjawab persoalan-persoalan dan tantangan-tantangan hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain dan mengelola sebaik-baiknya potensi-potensi dan kesempatan-kesempatan yang tersedia (dikutip dari Lima dokumen keesaan gereja PGI di Indonesia –LDKG-PGI).
Dengan adanya Kode Etik Ini diharapkan Majelis Jemaat mandiri Teologia, Daya, dan Dana.
F. Kode Etik tidak bertentangan dengan Alkitab.
(1) Gereja adalah tubuh Kristus yang
teratur Efesus 2:21 “Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi
tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan”. Efesus 4:16
“Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, -- yang rapi tersusun dan diikat
menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar
pekerjaan tiap-tiap anggota -- menerima pertumbuhannya dan membangun
dirinya dalam kasih”. Yesus Kristus adalah kepala dan otoritas
tertinggi, sebab jemaat adalah tubuhNya, yaitu kepenuhan Dia, yang
memenuhi semua dan segala sesuatu (Bd. Ef. 1:22-23).
(2) Gereja hidup sesuai dengan kebenaran
Firman Allah. Efesus 4:15 “Tetapi dengan teguh berpegang kepada
kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah
Dia, Kristus yang Kepala” . II Timotius 4:3-5 “Karena akan datang
waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka
akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan
keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran
dan membukanya bagi dongeng. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal,
sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah
tugas pelayananmu!”
(3) Gereja sebagai lembaga dipimpin dan diatur oleh Pelayan Khusus
(Pendeta, Penatua dan Diakan), sesuai dengan panggilan dan penugasan.
Titus 1:5 “Aku telah meninggalkan engkau di Kreta dengan maksud ini,
supaya engkau mengatur apa yang masih perlu diatur dan supaya engkau
menetapkan Penatua-Penatua di setiap kota, seperti yang telah kupesankan
kepadamu”.
BAB VII PENUTUP
Demikianlah Penjelasan Kode Etik Pendeta
ini kami perbuat dengan segala keterbatasan dan jauh dari sempurna
semoga bermanfaat untuk keteraturan pelayanan di tengah-tengah Majelis
Jemaat dan untuk kemuliaan nama Tuhan.
1 komentar:
Kalau boleh, pada bagian penutup, kata 'jauh dari sempurna' diganti menjadi 'hampir sempurna' atau menuju sempurna. Karena bagaiaman tulisan ini bisa mejadi pedoman kalau jauh dari sempurna.
Terima kasih.
Tuhan memberkati.
:)
Post a Comment