Thursday 8 October 2009

Asseb-Khotbah Yohanes 13:12-17, Minggu 11 Oktober 2009

Thema:
JATIDIRI ORANG PERCAYA IALAH MELAYANI
(Jadi diri kalak si tek eme ngelai)

Introitus: 1 Timotius 4:12b; Pembacaan : Kejadian 39:1-10
Khotbah: Yohanes 13:12-17
Pendahuluan
Dalam kehidupan orang karo istilah melayani atau ngelai bukan suatu hal yang asing dan hina atau sesuatu yang dipahami sebagai status yang rendah atau derajat lebih rendah. Dalam pelaksanaan kegiatan adat “anak beru”[1] bertugas melayani. Katakanlah itu adat perkawinan, sejak awal anak beru sudah melakukan tugasnya melayani kalimbubu-nya. Walaupun secara sosial anak beru tersebut mempunyai kedudukan sosial tinggi di tengah-tengah masyarakat, misalnya mempunyai kedudukan tinggi dalam pemerinthan, kaya, dsb, namun ketika ia mempunyai posisi anak beru, ia harus terjun melayani. Dan semua orang karo dalam konteknya juga menjadi anak beru, artinya tidak ada seseorang itu yang selamanaya kalimbubu[2] atau sembunyak[3]. Sebab dalam konteks yang lain anak beru tersebut juga akan menjadi sembuyak atau kalimbubu. Persoalannya ialah mengapa kita sebagai orang kristen (GBKP), yang dipanggil untuk melayani, tugas tersebut tidak atau masih kurang dilakukan?[4] Bukankah jati diri kita sebagai orang kristen: melayani? Bukankah jati diri[5] kita sebagai orang kristen: melayani?

Pendalaman Nas
Injil Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali.[6] Artinya seperti mata rajawali sangat tajam melihat sasaran demikian juga injil ini secara tajam dan jelas memandang serta mengungkapkan rahasia kekal, kebenaran-kebenaran abadi dan pikiran Tuhan, khususnya dalam hal menyatakan dengan tegas bahwa Yesus adalah manefstasi Allah yang telah dinubuatkan dalam PL yang disebut sebagai mesias.[7] Dalam pelayanannya selama 3 tahun Yesus telah memperlihatkan bahwa benar Dia adalah mesias yang dijanjikan Allah.[8] Walaupun banyak orang pada jamannya, khususnya ahli-ahli taurat, pemuka-pemuka agama menolaknya sebagai mesias, bahkan berusaha membunuhnya tidak membuat semangat Yesus melakukan tugas pelayananNya menurun. Banyak hal dilakukan Yesus, khususnya melalui kata dan perbuatan. Ia tidak hanya mengajar secara teori tetapi juga melalui praktek hidup yang berkenan kepada Allah. Salah satu pengajaran yang tidak hanya teori ialah apa yang kita telah baca dalam perikop kita, Yohanes 13:12-17. Yesus membasuh kaki murid-muridNya.
Ketika orang-orang saling berlomba untuk menjadi besar diantara sesamanya dengan meninggikan diri dan dilayani, juga ketika kerendahan hati dianggap sebagai kelemahan, Yesus justru mau agar murid-muridNya tidak demikian. Pesan dari perbuatan Yesus dengan membasuh kaki murid-muridNya sangat jelas yakni agar murid-muridnya juga berbuat hal yang sama yakni saling merendahkan diri dan saling melayani. Kata “Aku Tuhan dan Guru” dalam ayat 13-14 dan juga ungkapan “seorang hamba tidak lebih dari tuannya, atau pun seorang utusan dari pada yang mengutus” dalam ayat 16 menekankan kemutlakan menerapkan teladan tersebut. Sebab bagi Yesus ukuran kebesaran seseorang bukan seberapa kaya dia, juga bukan seberapa berkuasa dia secara duniawi, demikian juga bukan seberapa rajin ia melakukan kegiatan-kegiatan gereja, tetapi seberapa sanggup merendahkan diri dan melayani sesuai dengan Firman Tuhan.
Memang apa yang diajarkan Yesus kepada murd-muridnya kelihatannya gampang untuk melakaukananya. Apa sih susahnya membasuh kaki orang lain? Benar tidak susah, kalau sekedar membicarakannya. Tetapi mempraktekkannya? Jangankan membasuk kaki orang lain, mengucapkan terimakasih saja kepada istri atau suami kadang sangat sulit kila lakukan, demikian juga meminta maaf padahal terbukti bahwa kita yang salah, apa lagi membasuh kaki orang lain. Membasuh kaki presiden saja tidak semua kita mau, apa lagi membasuh kaki orang yang statusnya lebih rendah dari kita, apa lagi orang yang selalu menyakiti hati kita, wah “enggo dauhsa”. Yesus tahu hal ini sesuatu yang susah dilakukan para murid. Mengapa? Karena harga diri, kehormatan diri. Budaya atau kebiasaan hidup secara umum mendukung hal ini. Orang yang kedudukannya lebih rendahlah yang patut merendahkan diri dan melayani. Karena itu wajarlah jikalau pemimpin jaman sekarang dalam kenyataannya mau dilayani bukan melayani. Tanda seseorang itu Bos atau orang besar pada jaman kita sekarang ini banyak mendapat kemudahan-kemudahan. Kemana-mana ada yang membawa tasnya, membukakan mobil, supir pribadi, pengawal/bodygoard, dsb. Kecendrungan ini juga kadang mewarnai kepemimpinan dalam gereja. Pada waktu pemilihan, apakah itu pengurus tingkat perpulungen, runggun, klasis, moderamen, demikian juga pertua-diaken dan pengurus kategorial berdasarkan tingkatannya, pemilihan tersebut sangat semarak dan prestesius, tatapi ketika sudah terpilih tidak sesemarak dalam melakukan tugas pelayanan. Walaupun moto dalam melakukan tugas panggilan kita sebagai orang percaya sering disebut sebagai LKMD (Latih=lelah/capek, Keri=habis/rugi, Meling=disalahkan, tapi Dame=damai), namun tidak semua yang bersedia melakukan tersebut. Tidak semua bersedia melakukan tugas pelayanan dengan istilah “pangkas segenderang”[9].
Pointer Aplikasi

1) Minggu ini kita diingatkan akan jati diri kita yang sesungguhnya. Jati diri sebagai orang kristen tidak lain menerapkan nilai-nilai kekristenan itu sendiri, itu berarti bukan dilayani melainkan melayani. Walaupun harus pangkas sigenderang, namun Allah tidak membiarkan kita kekurangan sebab Allah mengasihi setiap anak-anaknya. Setiap orang yang menampakkan dalam hidupnya tetap konsisten akan jati dirinya tidak akan dipermalukan. Rancangan Tuhan bagi kita bukan rancangan kecelakaan, tetapi rancangan damai sejahtera.[10]
2) Teladan yang dilakukan Yesus dalam nas renungan kita tidak dimaksud agar kita juga membasuh setiap kaki orang lain secara harafiah. Membasuh kaki yang dimaksud Yesus tidak lain agar kita saling merendahkan diri, saling mengutamakan orang lain. Jauh dari sikap merasa hebat, merasa lebih pintar, merasa lebih berjasa, merasa lebih senior, dsb. Sebagaimana diingatkan Yesus dalam Matius 18:3,4 syarat masuk surga dan terbesar disorga bukan apa jabatannya di gereja, atau seberapa banyak sumbangannya untuk gereja, tetapi yang sudah bertobat dan hidup merendahkan diri seperti anak kecil.
3) Melayani dalam konteks kita saat ini dapat dilakukan dalam banyak hal, baik secara sosial ekonomi, psikologis, dan juga spiritual. Salah satu bentuk pelayanan yang sepele tetapi berdampak besar yakni saling mendoakan, saling meneleponi baik mengingatkan kegiatan gereja, maupun menanyakan keadaan, bahkan dapat melakukan doa bersama.
by Pdt.S.Brahmana
---------------------------------------
[1] Kelompok penerima dara
[2] Kelompok pemberi dara
[3] Orang-orang yang bermarga sama dan satu lineage (garis keturunan).
[4] Mungkin ada diantara kita tidak setuju atas pernyataan ini. Sah-sah saja. Namun realitaanya kehadiran jemaat GBKP menghadiri ibadah-ibadah, prosentasinya masih rendah (40-50 %). Hal ini masih dilihat dari segi kuantitas, belum kualitas.
[5] Jati diri berarti sesuatu yang menggambarkan secara esensial tentang seseorang seperti karakter, sifat, watak, kepribadian dan moralnya. Jati diri orang kristen seperti yang dikemukakan Paulus dalam Galatia 2:19-20, bahwa kita hidup bukan lagi untuk diri kita tetapi untuk Kristus, dan itu berarti menerapkan nilai-nilai kekristenan dalam hidup. Nilai kekristenan kita bersumber dari Alkitab yang menyaksikan Yesus yang adalah Tuhan dan Juruslamat kita.[6] William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap hari Yohanes Ps.1-7. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000, hal.1
[7] Yohanes 1:1, 14
[8] Baca: Yoh 6:35; Yoh 8:12; Yoh 10:7; Yoh 10:11;Yoh 11:25; Yoh 14:6; Yoh 15:1.
[9] Istilah ini berasal dari kampung segenderang, kec.Juhar. Dahulu dikampung itu ada seorang tukang pangkas, ketika melihat anak-anak yang rambutnya gondrong/tidak rapi ia merasa tidak senang (dalam arti positif), karena itu ia membujuk anak tersebut dengan memeberi uang agar mau dipangkas. Jadi ia yang memangkas/memotong rambut, dia juga yang membayar.
[10] Yeremia 29:11



Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment