Friday, 6 November 2009

Asseb-Khotbah Yesaya 58:4-12, Minggu 08 Nopember 2009

Thema:
PUASA YANG SESUNGGUHNYA IALAH DIAKONIA YANG MEMBEBASKAN/
PUASA EME DIAKONIA SI MBEBASKEN
Khotbah: Yesaya 58:4-12, Pembacaan: 2 Korintus 9:6-15;
Introitus: Matius 7:12a

Pendahuluan
Istilah puasa dalam Alkitab bukanlah sesuatu yang asing. Mulai sejak nabi Musa (Kel.34:28), hampir semua tokoh besar dalam Alkitab mempraktekkan puasa dalam hidupnya. Kita ambil contoh seperti Elia, Ester, Daniel, Yesaya, Daud, nabiah Hana[1], Yesus, Paulus, demikian juga dalam sejarah gereja seperti Yohanes Calvin[2]. Karena itu tradisi puasa tidak hanya dimiliki saudara kita Islam. Bahkan sampai hari ini saudara kita gereja Katolik melakukan tradisi puasa. Demikian juga saudara seiman di gereja Pentakosta atau yang mengikuti aliran karismatik yang sering melakukan ibadah “doa-puasa”.

Memang benar, dalam Perjanjian Baru kita tidak banyak mendapat penjelasan mengenai puasa, namun tidak berarti puasa tidak penting. Dalam Matius 17:21 menyebutkan pentingnya berpuasa sehubungan dengan pengusiran setan tertentu. Juga dalam Matius 6:16: “Dan apabila kamu berpuasa,…" Kata apabila artinya adalah sebagai orang Kristen, pada suatu saat kita akan berpuasa[3]. Hanya waktunya sebaiknya tidak diwajibkan oleh agama, karena niat berpuasa timbul dari masing-masing pribadi[4]. Karena itu saya setuju dengan istilah yang dikemukakan Wiharja Jian mengenai puasa sebagai aktivitas senyap[5]. Artinya bukan suatu aktivitas demonstratif yang patut diketahui dan dikenali umum, melainkan hanya ditujukan dan dialamatkan kepada Bapa di tempat yang tersembunyi[6]. Dari penjelasan ini puasa tidak boleh disalahgunakan sebagai aktivitas pamer untuk menunjukkan kedalaman spiritualitas. Melainkan puasa sebagai aktivitas senyap yang nampak dalam sikap hidup yang semakin sadar siapa dirinya dihadapn Allah, yakni sebagai orang yang telah dikasihani – orang yang telah ditebus dari kematian kekal akibat dosa sehingga menimbulkan rasa syukur yang dalam yang dinampakkan dalam kehidupan yang berdiakonia/melayani – menjadi sesama bagi semua manusia tanpa terkecuali[7]. Atau dengan kata lain mengembalikan kesadaran umat kepada tujuan dan makna hidup yang sesungguhnya.

Pendalaman Nas
Kalau kita memperhatikan pembagian kitab Yesaya, nas kita dikelompokkan pada bagian Trito Yesaya (Psl.55-66), yang menceritakan kehidupan bangsa Israel setelah pulang dari pembuangan Babel. Nas kita (Yesaya 58:4-12) merupakan kritikan terhadap ibadah umat Israel, dalam hal ini sehubungan dengan cara mereka berpuasa.

Satu hal yang positif bahwa umat Israel sekembali mereka dari pembuangan Babil, mereka masih melakukan ibadah dengan rajin, rajin mengkaji kebenaran di dalam hukum Allah (ayat 2-3) dan juga rajin berpuasa tentunya dengan harapan besar agar Tuhan mengabulkan atau memberikan apa yang menjadi harapan mereka sebagai bangsa yang baru “merdeka” yakni untuk hidup sejahtera. Tidak disebutkan apakah puasa dilakukan secara bersama-sama (keseluruhan umat), secara kelompok atau pribadi-pribadi, juga jenis puasa yang dilakaukan dan lamanya berpuasa[8]. Hal ini dikemukakan karena dalam Perjanjian Lama hanya ada satu praktek puasa yang ditentukan yaitu pada saat hari Pendamaian (hari pengampunan dosa – Im 16; 23:26-32). Saat itu, seluruh bangsa Israel merayakan hari itu dengan berpuasa dan beristirahat. Namun sebagaimana telah disebutkan bahwa praktek puasa sudah biasa dilakukan dalam kehidupan umat Israel sejak nabi Musa, baik secara perorangan (mis, 2 Samuel 12:22) mapun kadang-kadang secara bersama-sama (mis, Hakim 20:26; Yoel 1:14).

Selain kewajiban hukum agama, biasanya ada dua alasan seseorang atau sekelompok orang berpuasa, yaitu: bukti lahiriah dukacita[9] dan pernyataan pertobatan[10]. Berpuasa juga kerap kali dilakukan dengan tujuan memperoleh bimbingan dan pertolongan Allah[11] atau meminta kuasa dalam memerangi setan[12]. Ada juga orang yang berpuasa demi orang lain[13]. Apapun tujuannya, praktek puasa harus diikuti penyerahan diri kepada Tuhan yang tampak dalam kelakuan hidup yang baik. Sebab praktek puasa tanpa diikuti sikap hidup yang benar adalah sia-sia. Artinya doa mereka, harapan mereka tidak akan dikabulkan Tuhan (ayat 4b). Hal inilah yang dikeritik nabi Yesaya dalam perikop kita sebab nampak kecendrungan praktek puasa yang dilakukan umat telah merosot menjadi kebiasaan leglistik - sekedar upacara ritual tanpa penyerahan diri kepada Tuhan (bd. Zakaria 7:5), dan menjadi perilaku yang munafik (Matius 16:6) demi untuk membenarkan diri sendiri (Lukas 18:12). Puasa telah kehilangan maknanya. Itulah sebabnya dalam ayat 6-7 nabi Yesaya dengan keras menekankan arti puasa yang benar.

Memang puasa dilakuakan dalam relasi antara manusia dengan Tuhannya, namun relasi dengan Tuhan itu seharusnya juga berdampak positif dalam relasi dengan sesama. Bila puasa demikian yang dilakukan, lebih dari yang diharapkan akan diberikan Allah kepada umatNya, juga diberikan kepada kita. Itulah janji yang terkandung dalam ayat 8-12: (a) Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu (kesehatan jasmani dan rohani). (b) Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! (hubungan yang mesra dengan Tuhan, diumpamakan hubungan bapa daan anak) (c) TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan. (d) Engkau akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan memperbaiki dasar yang diletakkan oleh banyak keturunan. Engkau akan disebutkan "yang memperbaiki tembok yang tembus", "yang membetulkan jalan supaya tempat itu dapat dihuni".

Pointer Aplikasi
(1) Puasa[14] adalah aktivitas senyap. Artinya bukan suatu aktivitas demonstratif yang patut diketahui dan dikenali umum, melainkan hanya ditujukan dan dialamatkan kepada Bapa di tempat yang tersembunyi. Kemungkinan hal inilah yang menyebabkan mengapa kita (secara umum kristen protestan) tidak menekankan puasa sebagai suatu keharusan yang menjadi syariat agama. Namun tidak berarti pula bahwa puasa tidak penting. Praktek puasa baik dilakukan dengan tujuan: (1) merendahkan diri di hadapan Allah, (2) untuk menyatakan rasa kasih kita kepada Tuhan Yesus, (3) untuk mendisiplinkan tubuh kita dari keinginan duniawi, salah satu cara untuk menyangkal diri. (4) Untuk menambah rasa simpati kepada sesama, agar bisa merasakan penderitaan orang lain. (5) Untuk meminta jawaban Tuhan atas permasalahan kita. (6) Untuk mengusir jenis setan tertentu yang hanya bisa diusir dengan doa puasa.

(2) Puasa yang benar bukan sekedar tidak makan dan tidak minum dengan jangka waktu tertentu. Puasa bukanlah tujuan melainkan sarana untuk mengembalikan kesadaran umat kepada tujuan dan makna hidup yang sesungguhnya yakni dapat menjadi umat yang berkenan kepada Allah dan menjadi sesama bagi manusia yang lain. Dalam arahan thema kita, puasa yang sesungguhnya haruslah berdampak pembebasan terhadap semua bentuk pengkerdilan harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Allah. Itu berarti praktek puasa sangat relevan dilakukan pada jama kita sekarang ini. Bukankah kemiskinan, ketidak adilan, diskriminasi, dll, yang merupakan musuh kemanusiaan masih tumbuh “subur” di republik ini?
Pondok Gede, 6 Nopember 2009
Pdt.S.Brahmana
-----------------------------

[1] Lukas 2:36-37
[2] Wiharja Jian, Puasa aktivitas Senyap. Jakarta: BKP Gunung Mulia, 2000, hal.1
[3] Bd. Matius 9:15
[4] Inilah sebabnya mengapa dalam kristen protestan puasa tidak dijadiakan sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh umatnya.
[5] Wiharja Jian, ibid, hal ix
[6] Bd.Matius 6:16-18
[7] Bd.Lukas 10:30-37 dan Matius 7:12 (introitus).
[8] Walaupun tidak disebutkan, namun secara umum praktek puasa yang dilakukan dalam Alkitab dari mata hari terbit dan matahari terbenam (Hakim 20:26; 1 Samuel 14:24; 2 Samuel 1:12; 3:35) tidak makan dan minum.
[9] 1 Samuel 31:13; Ester 4:3; Mazmur 35:13-14
[10] 1 Samuel 7:6; 1 Raja 21:27; Daniel 9:3-4; Yunus 3:5-8, hal ini juga dikemukakan Drs.J.J.de Heer dalam Tafsiran Alkitab Injil Matiu(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hal.107
[11] Keluaran 34:28; 2 Samuel 12:16-23; 2 Tawarik 20:3-4; Ezra. 8:21-23,
[12] Matius 17:21;Markus 9:29
[13] Ezra 10:6; Ester 4:15-17
[14] Tip melakukan Pusa: http://www.jesuswho.org/indonesian/7steps/index.htm



Artikel lain yang terkait:



1 komentar:

Anonymous said...

makasih atas renungannya......ini menjadi ispirasi buat khotbah IRT. TUhan Yesus Memberkati

Post a Comment