Monday 31 August 2009

KEHADIRN YANG MEMBERI MAKNA: Bertiologi Dalam konteks Pembangunan Nasional sebagai Pengalaman Panacasila

Pendahuluan
Memang benar sebagaimana disebutkan Gerrit Singgih dalam bukunya "Iman dan Politik dalam Era Reformasi"[1], bahwa mengenai pembangunan sudah banyak disoroti oleh pakar-pakar ekonomi pembangunan di Dunia Ketiga. Demikian juga di Indonesia sudah banyak pakar ekonomi atau pemimpin agama yang menyoroti atau membahas pembangunan dari banyak sudut, tidak ketinggalan dari sudut teologi. Namun pada kesempatan ini, saya menganggap perlu membicarakannya juga, bukan saja untuk memenuhi tugas akhir dari mata kuliah "Teologi Kontekstual", tetapi juga sebagai kesadaran dari pengamatan yang dilakukan bahwa masalah pembangunan di Indonesia adalah masalah yang masih relevan karena sangat erat hubungannya dengan kesejahteraan serta martabat masyarakat dan bangsa Indonesia. Karena itu sama sekali tidak bermaksud ikut-ikutan memebicarakan pokok ini, sebagaimana kritikan Singgih.[2] Mengapa hal ini dianggap masih relavan? Indonesia sudah merdeka 62 tahun, dan selama itu pula pembangunan sudah digiatkan. Namun pertanyaannya ialah apakah bangsa kita sudah maju sebagaiamana yang diharapkan? Apakah hasil-hasil dari pembangunan nasional sudah dinikmati oleh segenap rakyat Indonesia? Dan apakah pembangunan Nasional yang dilaksanakan sebagai pengamalan Pancasila sudah mencapai tujuan yakni membangun masyarakat yang baik dimana di dalamnya manusia dapat hidup sesuai dengan martabatnya yang luhur? Yang pasti sebagaimana disebutkan Gerrit Singgih dalam bukunya "Mengantisipasi masa Depan" realitas permasalahan Indonesia saat ini ialah seperti kemiskinan yang parah[3], penderitaan, ketidak adilan dan kerusakan ekologis" [4] yang semuanya sangat erat hubungannya dengan apa yang disebut pembangunan itu sendiri, pembangunan dalam segala bidang di Indonesia. Oleh karena itu setiap orang Kristen haruslah menjawab setiap tantangan pembangunan sebagai wujud menghadirkan Kerajaan Allah di Bumi Indonesia.
Berangkat dari hal tersebut saya mengetengahkan judul paper ini "Kehadiran yang memberi makna: Berteologi dalam kontek Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila". Dalam bahasan ini, akan dikemukakan pentingnya partisipasi gereja dalam pembangunan nasional sebagai jawaban iman dalam memahami dan memaknai tugas panggilan gereja-gereja dalam konteks Indonesia yang melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Diharapkan melalui pembahasan ini gereja diingatkan, yang pertama, bahwa gereja bukan kebetulan hadir di tengah-tengah masyarakat dan negara Pancasila yang sedang membangun, Tuhan sebagai pengutus gereja mempunyai maksud dalam kehadiran itu, kedua, bahwa gereja sebagai bagian integral dari masyarakat ikut bertanggungjawab secara positif, kretif, kritis dan realistis dengan terus-menerus mengarahkan dan mendorong serta memberi masukan bagi tercapainya tujuan sebenarnya dari pembangunan itu sendiri, sehingga hasil-hsil pembangunan itu sungguh diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia, bukan sebaliknya.
1. PEMBANGUNAN NASIONAL ADALAH SUATU REALITA YANG SEDANG BERLANGSUNG DI INDONESIA.
Pembangunan adalah suatu realita yang sedang berlangsung di Indonesia. Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila adalah model pembangunan yang sementara dijalankan. Walaupun sepertinya pada zaman reformasi, istilah ini tidak sepopuler zaman pemerintahan Suharto. Namun jiwa dari maksud pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila merupakan cita-cita dari perjuangan bangsa Indonesia. Pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila bertujuan membawa masyarakat Indonesia menuju masyarakat maju berdasarkan Pancasila, yakni suatu masyarakat maju yang mencerminkan dan mengungkapkan nilai-nilai ke lima sila dari Pancasila itu dalam kehidupan masyarakat.[5] Oleh karena itu kemajuan seperti itu tidak dapat diukur hanya dengan ukuran yang memberi angka mengenai pertumbuhan ekonomi saja. Tolak ukur yang diperlukan adalah jawaban terhadap pertanyaan: "apakah Pancasila makin nampak dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sebagai hasil dari pembangunan nasional itu atau tidak".
Apakah sebenarnya pembangunan itu? Pembangunan diartikan sebagai tindakan manusia dalam sejarah untuk mengembangkan masyarakat, negara dan kebudayaan yang baik, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di negara-negara yang telah maju dalam pembangunannya proses perubahan dan pertumbuhan berjalan semakin cepat. Oleh sebab itu pergumulan gereja-gereja untuk memahami arti pembangunan dalam terang Firman Allah dan dalam rangka rencana Allah; demikian juga pergumulan gereja-gereja memahami tugas gereja dalam proses pembangunan tidak akan menghasilkan jawab yang tidak berubah untuk selama-lamanya. Pergumulan itu pun adalah merupakan proses yang terus-menerus.[6]
Namun satu hal adalah jelas bahwa gereja telah ditempatkan dan diutus oleh Allah ke dalam masyarakat Indonesia yang sedang melaksanakan pembangunan. Pembangunan adalah tanggungjawab bersama seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia, maka gereja turut bertanggungjawab, turut menentukan arah dan sifat pembangunan itu. Sehingga pembangunan yang dilaksanakan itu tetap ditujukan untuk kebahagiaan manusia.
Dalam pada itu, maka gereja-gereja harus membaharui dirinya, membaharui cara berfikir, cara bekerja dan cara-cara berorganisasi, membaharui pemikiran teologianya dalam ketaatan kepada Tuhan yang tidak berubah agar gereja dapat tetap menjadi "terang" dan "garam" (Mat 5:13-16) di tengah-tengah masyarakat yang membangun itu. Gereja tidak akan dapat hidup bermakna di tengah-tenga proses pembangunan itu dengan unsur moderaisasi, urbanisasi, industrialisasi dan sekularisasi tampa mengalami perubahan-perubahan yang relevan. Dalam hubungan ini kita dapat melihat kepada perkembangan gereja-gereja pada tahun sesudah tahun 1930. Perubahan-perubahan yang dilakukan pada waktu itu dalam cara berfikir, cara berorganisasi dan cara bekerja gereja-gereja, serta usaha-usaha untuk mendidik generasi pelayan-pelayan yang baru, telah dapat menolong gereja-gereja di Indonesia untuk melangkah dan berjalan menuju arah perkembangan yang lebih baik. Karena itu, dengan menyadari hal tersebut, maka sangatlah perlu bila gereja-gereja di Indonesia terus membenahi, dan memperlengkapi diri di dalam melaksanakan tugas dan panggilannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang dan terus mengalami perubahan-perubahan itu. Dan untuk secara jelasnya mengenai tugas dan panggilan gereja di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang tengah membangun ini adalah dalam rangka memberi pelayanan dan kesaksian (lihat tulisan Dr. A.A. Sitompul, Pelayanan dan Kesaksian)[7], baik dalam bentuk rohaniah maupun dalam bentuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
2. PART1SIPASI GEREJA DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL.
Berbicara mengenai partisipasi gereja dalam pembangunan nasional akan menghadapkan kita dengan permasalahan yang mendasar. Permasalahan itu ialah mengenai hubungan antara gereja dengan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan negara di mana gereja itu berada. Pada satu pihak gereja adalah bagian dari masyarakat dan kebudayaan serta negara yang membangun itu, pada pihak lain gereja tidak hanya bagian saja dari masyarakat, kebudayaan dan negara itu. Gereja mempunyai hubungan yang khas dengan Yesus Kristus, seperti yang dinyatakan dalam kiasan bahwa gereja adalah tubuh Kristus. Bagi gereja berlaku bahwa "tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus" (1 Kor 3:11). Oleh sebab itu mengenai gereja sering dikatakan: "Di dalam dunia, tetapi bukan milik dunia".
Melakukan partisipasi dalam pembangunan nasional adalah juga merupakan pergumulan rangkap gereja. Pergumulan rangkap oleh karena di satu pihak gereja bergumul dengan Tuhannya untuk memahami kehendak Tuhannya di tengah-tengah lingkungan sosial budaya di mana ia berada, dan di lain pihak gereja juga bergumul dengan lingkungan sosial budaya itu untuk menghadirkan kehendak Tuhan di dalamnya.[8]
Kehendak Tuhan itu tidak hanya dinyatakan dalam bentuk hukum-hukum yang tinggal untuk diterapkan saja dalam kehidupan sosial budaya. Kehendak Allah itu telah dinyatakan sepenunya dalam kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Yesus memanggil manusia kepada pertobatan dan keselamatan (Mark 1:15) dan menghendaki kebebasan, keadilan dan kesejahteraan bagi dunia (Luk 4:18). Kerajaan Allah berarti berlakunya kehendak Allah yang telah datang di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berkebudayaan dan bernegara. Tetapi Kerajaan Allah itu tidak akan pernah mencapai kesempurnaan berhubung dengan dosa manusia. Oleh karena itu perlu, bahkan harus diusahakan untuk "mendekati" kehendak Allah itu, dengan mendirikan "tanda-tanda" kehadiran Kerajaan Allah, sambil menantikan penggenapan yang penuh "dalam dunia yang baru dan langit yang baru di mana terdapat kebenaran" (2 Pet 3:13).
Itu berarti, bahwa gereja berpartisipasi dalam pembangunan nasional yang dijalankan bersama-sama dengan semua warga masyarakat, untuk membangun masa depan, membangun masyarakat, kebudayaan dan negara yang lebih baik dan lebih maju. Gereja berpartisipasi dengan menilai apa yang terjadi dalam pembangunan itu dalam terang Injil mengenai Kerajaan Allah. Dalam partisipasi itu maka segala sesuatu yang sesuai dengan keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan yang dikehendaki oleh Allah didukung secara positif dan kreatif. Segala sesuatu yang bertentangan dengan keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan dikoreksi secara kritis dan segala sesuatu yang merupakan impian kosong saja ditolak secara realistis. Dalam terang Injil mengenai Kerajaan Allah itu maka partisipasi gereja selalu bersifat positif, kreatif, kritis dan realistis.
Dalam partisipasinya gereja tidak bisa tidak juga mengadakan hubungan dan menjalin kerjasama dengan semua pihak. Tugas mensukseskan pembangunan nasional bukan hanya tugas orang kristen, tetapi semua penganut agama-agama dan aliran kepercayan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ada di Indonesia. Hal ini penting. Sudan disebutkan bahwa pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila bukan sekedar pertumbuhan ekonomi saja. Tujuan pembangunan ialah membangun masyarakat yang baik dimana di dalamnya manusia dapat hidup sesuai dengan martabatnya yang luhur. Oleh karena itu masalah yang mendasar dalam pembangunan bukan saja masalah politik, ekonomi, teknologi dan seterusnya, melainkan juga masalah moral, etik dan spiritual. Di Indonesia masalah tersebut dibicarakan dalam konteks masyarakat yang majemuk dan sekaligus dengan itu kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah moral, etik dan spiritual yang dihadapi seluruh manusia. Dalam hubungan itu maka peranan agama-agama sangat penting untuk secara bersama-sama dan terus menerus meletakkan landasan moral, etik dan spiritual yang kokoh bagi pembangunan nasional. Tanggungjawab bersama ini telah disebutkan pada GBHN 1988. Itu berarti agama-agama dan golongan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa mendapat tugas dan tanggungjawab yang sama dan karenanya, hal ini menjadi pengalaman dan sekaligus persoalan yang baru pula. Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang baru ini, pemikiran dibidang etika kristen, Islam, Hindu, Budha dan etika golongan kerpercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa agaknya akan mengadakan pembaharuan dalam pola pikirnya, tentu dengan tetap setia kepada iman kepercayaan masing-masing. Maka yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana gereja dapat mengembangkan etika kristen sebaik-baiknya kedepan dalam rangka tanggungjawab dan tugas bersama itu. Dalam hal ini agar etika kristen yang dikembangkan itu pada suatu pihak tetap sepenuhnya mengungkapkan ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan Yesus yang sama kemarin, hari ini dan selama-lamanya, tetapi pada pihak lain mampu pula memberikan sumbangan yang sebesar-besarnya dalam rangka tugas dan tanggungjawab bersama tersebut. Inilah yang menjadi pergumulan atau yang menjadi pekerjaan rumah yang utama di bidang etika kristen kedepan. Tentunya juga bagi agama dan golongan kepercayaan yang lain.
Persoalan lainya yang perlu juga mendapat perhatian adalah menyangkut kerukunan antar umat beragama. Salah satu faktor penting dalam pelaksanaan pembangunan adalah keadaan yang kondusif. Ini penting, sebab dapat saja terjadi ketika orang kristen aktif berpartisipasi dalam pembangunan belum tentu dapat diterima dengan baik oleh semua pihak, khususnya golongan agama yang lain. Partisipasi kristen dapat saja dicurigai sebagai usaha kristenisasi. Hal ini harus diantisipasi oleh pemimpin-pemimpin agama dan aliran kepercayaan sehingga kerjasama di dalam upaya mewujudkan cita-cita pembangunan dapat terlaksana. Karena itu dalam iklim pluralitas agama, Gerrit Singgih mengemukakan bahwa kita perlu membangun sikap dialog[9]. Hal ini juga yang ditekankan oleh Hendropuspito, bahwa dialog[10] adalah merupakan jalan yang paling sesuai yang perlu diambil sebagai langkah pertama menuju iklim kerukunan dan perdamaian, sehingga kecurigaan-kecurigaan satu dengan yang lain diantara umat beragama diminimalisasi. Untuk itu menurut Hendro, setiap umat perlu dilengkapi dengan "kepribadian dialogikal" yang memiliki sifat: (1) pribadi yang utuh atau otentik.[11] (2) terbuka, (3) berdisplin[12].
Memamang dialog juga bisa menimbulkan ketegangan, baik antar umat beragama maupun interen umat beragama itu sendiri. Hal ini tergambar dari pertanyaan yang sering dilontarkan. Misalnya, apakah kita boleh mempercakapkan dogma-dogma dalam dialog? Bukankah dogma-dogma agama selalu besifat kaku, sehingga kita tidak mungkin mempercakapkannya dengan penganut agama lain? Dikalangan kristen misalnya, timbul pertanyaan apakah dialog bisa menggantikan pekabaran Injil? Dengan kata lain, setelah mengadakan dialog, apakah kita masih membutuhkan pekabaran Injil. Tidak jarang dialog juga dicurigai sebagai upaya terselubung mentobatkan penganut agama lain. Dan yang lebih fatal adalah tuduhan bahwa dialog merupakan upaya mencampur adukkan agama-agama (sinkritisme). Tetapi pertanyaan ini tidak boleh menghalangi untuk berdialog. Bahkan semakin mendorong kita untuk berdialog, sebab kita menyakini melalui dialog kesalahpahaman dapat diakhiri, sehingga partisipasi yang dilakukan tidak ada gangguan bahkan mendapat dukungan yang positif dari penganut agama yang lain.
2.1. Perlunya Berpartisipasi.
Mengenai perlunya partisipasi gereja dalam pembangunan hasil Konsultasi di Suka Bumi tahun 1962 dalam pasal 35, sebagaimana yang dikutip Dr. T.B. Simatupang dapat kita jadikan arahan atau pegangan. [13]

"Kita bertanggungjawab pada setiap titik sejarah untuk mengusahakan tanda-tanda syalom, yaitu yang menunjuk kearah penggenapan akhir: Pembaharuan segala sesuatu (Wahyu 21:5). Dan kita mempercayai bahwa Tuhan bekerja dalam sejarah".
Dalam rangka ini agaknya dapat kita tekankan kepada pembebasan manusia dari berbagai belenggu seperti dinyatakan dalam Lukas 4:18. Di sana pertama-tama dinyatakan "kabar kesukaan kepada orang miskin" atau pembebasan dari belenggu kemelaratan ekonomis. Ditekankan kepada "kebebasan bagi orang yang tertawan" atau pembebasan dari belenggu-belenggu ketidak adilan politik dan hukum. Diberitahukan tentang "menyembuhkan penglihatan orang buta" atau pembebasan dari belenggu penyakit. Juga "melepaskan orang yang tertindih" atau pembebasan dari belenggu ketidak adilan sosial. Semua ini disebut sebagai tanda-tanda tentang telah datangnya "tahun karunia Tuhan" (Lukas 4:19).
Inilah gambaran atau inilah visium yang memberikan arahan kepada cita-cita dan perjuangan kita sebagai orang kristen dalam pembangunan. Sehingga dengan demikian, pertanyaan seperti yang timbul dalam Sidang Raya ke VII di Pematang Siantar (1971) sehubungan dengan tugas kristen dalam pembangunan: Mengapa gereja-gereja, yang panggilannya adalah memberitakan Injil harus terlibat dalam pembangunan? Dapat kita memberi jawab, bahwa dalam Injil Kerajaan Allah, gereja-gereja terpanggil untuk berperan serta secara positif, kreatif, kritis dan realistis dalam proses pembangunan yang hendak membebaskan manusia dari penderitaan yang disebabkan oleh keterbelakangan dan ketidak adilan dalam semua lapangan hidup.
Peran serta atau tugas panggilan dalam pembangunan nasional bukanlah sekedar aktivitas sekular, demikian juga tidaklah berarti melalaikan atau memperkecil tugas untuk memberitakan Injil. Sebab memberitakan Injil tidak hanya berarti menyampaikan ajakan kepada manusia untuk bertobat, tetapi juga mengambil bagian dalam upaya dan perjuangan untuk mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, ilmu, teknologi, hubungan dengan alam dan juga dalam hubungan internasional, yaitu tuntutan akan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan dan kebenaran. "Kamu adalah garam dunia" dan "kamu adalah terang dunia" harus diterapkan dalam semua bidang kehidupan manusia dan masyarakat dalam dunia.
Itu berarti partisipasi gereja di dalam pembangunan nasional berdasarkan panggilannya yang bersumber pada Injil Yesus Kristus. Injil adalah berita kesukaan atau kabar baik tentang pembaharuan dan pertobatan yang ditawarkan kepada semua orang, bersama-sama dengan keadilan, perdamaian, kesejahteraan atau dengan kata lain "syalom", seperti yang dikehendaki Allah bagi dunia. Jadi gereja-gereda di Indonesia, dengan sikap sebagai hamba dan pelayan menurut teladan Yesus mengambil bagian secara positif, kreatif, kritis dan realistis dalam pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Positif artinya terbuka terhadap yang baik; kreatif artinya dalam kuat kuasa Roh Kudus menggantikan yang lama yang tidak berguna dengan yang baru, atau menambahkan yang baru kepada yang sudah ada; kritis artinya melihat segala sesuatu dalam terang Firman Allah; realistis artinya siuman atau sadar akan waktu dan batas-batas kenyataan dan tidak terbawa oleh impian kosong.[14]
Tugas panggilan tersebut tidak hanya supaya gereja-gereja telah melakukan panggilannya sebagai gereja yang diutus untuk itu. Demikian juga tidak hanya memberi ruang bagi gereja-gereja untuk berpartisipasi dan melayani dalam pembangunan nasional, tetapi juga untuk menjadi motivator, menjadi teladan atau contoh serta ajakan bagi semua warga negara, semua golongan untuk juga memberikan partisipasinya secara bertanggungjawab dalam pembangunan nasional berdasarkan hak dan kewajiban yang sania, antara lain diungkapkan dalam hal-hal berikut:
(a) Pembukaan UUD 1945 berbicara mengenai "mengantarkan rakyat ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur".
(b) Pasal 27 UUD 1945 mengatakan bahwa: (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah, dan wadib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya, (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Perlunya gereja berpartisipasi dalam pembangunan nasional dapat juga dilihat dari segi tanggungjawab untuk mengelola ciptaan Allah (Kej 1:26, 28). Ini sangat jelas dan penting. Gereja berpartisipasi tidak saja agar ikut serta atau agar ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan pembangunan sehingga pembangunan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya dan tetap ditujukan untuk kebahagiaan manusia, di mana masyarakat merasa memiliki, memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan itu berdasarkan hak dan kewajiban yang sama, tetapi juga untuk memperlihatkan bahwa gereja juga bertanggungjawab atas ciptaan Allah.
Dalam hal ini gereja sebagai alat ditangan Allah yang diutus ke dalam dunia, berpartisipasi dalam pembangunan nasional untuk menjadi motivator, teladan atau contoh bagi raasyarakat dan semua golongan bagaimana seharusnya melihat, menggunakan dan memanfaatkan semua ciptaan Allah itu dengan penuh tanggungjawab.
Perlunya gereja berpartisipasi juga dapat dilihat dari segi tanggungjawab untuk mengusahakan agar dalam kehidupan masyarakat didasarkan atas keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang (Yer. 22:3; Am 5:15, 24). Dan juga dari segi pemberitaan Injil, bahwa Kerajaan Allah telah datang, telah berada di antara kita dan sedang dinantikan kegenapannya dalam "langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran" (2 Pet 3:13).
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa gereja diutus ke dalam dunia untuk memberitakan Injil. Namun persoalannya ialah apakah Injil itu. Dalam hal ini Sidang Raya VII di Pematang Siantar (1971) mengatakan: "Gereja disuruh ke dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Injil adalah berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaharuan yang tersedia bagi manusia (Mark 1:15) serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Luk 4:18-24).
Jadi jelaslah bahwa gereja perlu berpartisipasi, baik dari sudut sebagai bagian integral dari bangsa untuk turut menyukseskan pembangunan atau dengan kata lain bertanggungjawab kepada pemerintah, terlebih sebagai gereja yang diutus dan ditempatkan di Indonesia untuk membawa misi, menyampaikan berita kesukaan (Injil). Berita kesukaan itu tidak saja mengajak orang untuk bertobat, tetapi juga mengambil bagian dalam upaya dan perjuangan untuk mendirikan tanda-tanda syalom di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sedang membangun tersebut. Hal ini sangat penting sehingga orang kristen tidak terjebak ke dalam alasan memberitakan Injil secara sempit, lalu menutup mata terhadap ketidak adilan, kepincangan ekonomi, kemiskinan, penindasan politik, dsb. Oleh karena itu berpartisipasi dalam pembangunan nasional harusnya dipahami dan dilaksanakan dalam rangka memberitakan Injil secara kontekstual.
2.2. Tujuan Berpartisipasi.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa gereja-gereja di Indonesia berpartisipasi dalam pembangunan nasional berdasarkan tugas panggilannya yang bersumber pada Injil Yesus Kristus, maka berikut ini penulis ingin tekankan ialah berhubung dengan satu pertanyaan, walaupun sebenarnya telah terjawab secara implisit, yaitu: Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh gereja-gereja dengan partisipasinya dalam pembangunan nasional? Maka jawabannya tidak lain adalah agar dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara kita yang sedang melaksanakan pembangunan nasional dapat didirikan tanda-tanda mengenai kesejahteraan, keadilan, kebebasan, persaudaraan, perdamaian dan kemanusiaan yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dunia ini dengan kedatangan KerajaanNya.
3. KESIMPULAN DAN SARAN
Pembangunan pada prinsipnya tidak bertentangan dengan pandangan kristen. Bahkan kalau dipandang dari sudut cita-cita pembangunan, maka pembangunan itu sendiri dikehendaki oleh Allah bagi manusia. Oleh karena itu, kalau pun pandangan kristen menolak suatu pembangunan, itu adalah karena tujuannya atau karena cara pelaksanaannya.
Kita yakin bahwa Allah bekerja untuk keselamatan dunia. Dalam pekerjaanNya itu, la berkenan memakai usaha manusia. Gereja adalah persekutuan orang-orang beriman. Kehadiran gereja dalam konteksnya serentak adalah panggilan untuk menjadi saksi-saksi dan pelayan-pelayan dalam semua segi kehidupan manusia, masyarakat dan negara. Gereja yang pada dirinya adalah esa sekaligus terpanggil untuk lebih mewujutkan keesaannya yang telah dianugrahkan di dalam Yesus Kristus, di tiap tempat, daerah, di seluruh tanah air, bahkan di seluruh dunia. Berangkat dari pemahaman ini, maka gereja dalam kehadirannya di tengah-tengah bangsa Indonesia yang sedang membangun tidak boleh hanya memahami tugas pokok adalah pelayanan Firman dan segala sesuatu yang bergubungan dengan ritual ibadah. Dalam surat Paulus kepada jemaat Galatia 6:14, Paulus menolak tanda ritual yang tampak. Dan sebagai gantinya ia menawarkan relasi dengan pribadi Kkristus yang tersalib. Artinya iman pada Yesus yang tersalib adalah iman yang membumi, menyentuh secara utuh segala seluk beluk sekitar kehidupan manusia itu sendiri. Akhirnya partisipasi gereja dalam pembangunan nasional hanyalah suatu "strategi" dalam konteksnya, bukan merupakan tujuan akhir dari pada misi gereja dalam dunia ini. Partisipasi adalah modus yang dianggap konsisten dalam upaya interpretasi hakekat gereja dalam konteksnya.
Oleh karena itu sebagai saran, khususnya dalam upaya bertiologi dalam konteks bangsa Indonesia yang sedang melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, kiranya gereja-gereja:
(a) Memperbanyak khotbah-khotbah dimimbar atau diluar mimbar mengenai tema-tema pentingnya partisipasi gereja dalam mensukseskan pembangunan nasional.
(b) Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan kemauan dan keberanian gereja untuk mereinterpretasi[15] pesan-pesan yang ada di dalam Alkitab yang lebih menyentuh kemanusiaan yang universal sehingga menjadi implementatif dan integratif dalam kehidupan masyarakat dan bangsa, oleh karena itu gereja perlu:
(c) Mengembangkan teologi pembangunan. Itu berarti Hermeneutika harus memusatkan perhatian pada pemikiran terhadap kehidupan dan bukan terhadap teori-teori kabur dan abstrak. Agar bernilai praktis, hermeneunitika ini harus dikembangkan menjadi hermeneutika pembangunan yang realistis.
(d) Memahami bahwa tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila adalah juga merupakan wujud atau cerminan kehadiran syalom Allah di tengah-tengah masyarakat Indonesia, karenanya upaya berpartisipasi seharusnya dipahami dalam rangka tersebut sehingga berpartisipasi dalam pembangunan nasional adalah juga merupakan tugas panggilan yang tidak kalah penting dengan bentuk tugas panggilan yang lain.

Daftar Kepustakaan:
1. Gerrit Singgih, Imanuel, Pdt, Ph.D, Mengantisipasi Masa Depan. Jakaarta: BPK Gunung Mulia, 2004
2. _____________________, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2000),
3. Hendropuspito, D, OC, Sosiologi Agama. Jakarta: Kanasius, BPK GM, 1991
4. Dadang Kahmad, H. M.Si, Sosialogi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakaria, 2000
5. Simatupang, T.B, Dr, dkk, Peranan Agama-agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dalam negara Pancasila yang membangun . Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987
6. ____________, Iman Kristen dan Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985
7. Ceramah-ceramah SR. DGI-VII, Disuruh he dalam Dunia. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1973
8. Keputusan SR.X, DGI 1984 di Ambon, Memasuhi Masadepan Bersama:LDKG. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985
---------------------------------
[1] Pdt.Imanuel Gerrit Singgih, Ph.D, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2000), hal.5
[2] Ibid
[3] Ada yang mengakatkan angka kemiskinan di Indonesia sudah mencapai 37 juta jiwa, tidak termasuk yang berada dibawah garis kemiskinan, menurut Singgih kalau semua di hitung kemungkinan jumlahnya !4 dari jumlah penduduk Indonesia saat ini (Pdt.Imanauel Gerrit Singgih,Ph.D, Mengantisipasi Masa Depan. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2004, hal.61)
[4] Ibid, hal. 58
[5] Kemajauan yang dimaksud bukan sekedar modenisasi dan pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga kemajuan yang seimbang dan serasi antara dimensi moral, etik dan spiritual (sila pertama), dimensi kemanusiaan yang mencakup hal-hal serta kewajiban azasi serta martabat kemanusiaan (sila kedua), dimensi solidaritas nasional (sila ketiga), dimensi kerakyatan atau demokrasi (sila keempat), dan dimensi keadilan sosial (sila kelima).
[6] Dr.T.B.Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), hal. 93
[7] Ceramah-ceramah SR. DGI-VII, Disuruh ke dalam Duma (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1973), hal. 100
[8] Dr.T.B.Simatupang,dkk, Peranan Agama-agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dalam negara Pancasilayang membangun (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hal. 10
[9] Pdt.Imanauel Gerrit Singgih,Ph.D, Mengantisipasi Masa Depan. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2004, hal.60
[10]Dialog berasal dari kata Yunani "dia-logos" yang artinya berbicara anatara dua pihak. Dengan demikian definis dialog adalah percakapan antara dua orang (aatau lebih) dalam mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak (Hedropuspito, Sosialogi Agama, Jakarta: Kanasius & BPK.GM, 1991, hal.172).
[11] Pribadi yang utuh dan otentik menurut Hendro adalah yang dapat memberikan tanggapan kepada orang lain dengan seluruh pribadi, bukan dengan hati yang setengah-setengah. Pribadi yang otentik juga berarti karena ia menghargai orang lain sebagai pribadi dan mau mempercayainya serta tidak berusaha untuk memperalatnya demi kepentingan sendiri (Hendropuspito, ibid, hal.173).
[12] Artinya, ia mematuhi secara konsekuen tata tertip dialog!. la mau angkat bicara kalau ada sesuatu yang harus diungkapkan, atau perbuat jika ada sesuatu yang harus diselesaikan. Dalam mengungkapkan buah pikirannya pun dia harus berpegang pada displin, tidak keluar dari konteks pembicaraan. 3 Dr.T.B.Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, ibid, hal. 96
[13] Dr.T.B.Simatuoang, Iman Kristen dan Pancasila, ibid, hal. 96
[14] Keputusan SR.X, DGI 1984 di Ambon, Memasuki Masadepan Bersama:LDKG (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), hal. 24
[15] Dalil-dalit normatif yang ada di dalam kitab suci harus di-break down dalam bentuk teori-teori sosial yang dapat diaplikasikan. Lebih tepatnya harus dikontekstualisasikan agar berfungsi historis, kekinian, dan membumi (Dadang Kahmad, Sosialogi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakaria, 2000,bab 15).




Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment