Monday 31 August 2009

UPAYA HIDUP BERSAMA DENGAN RUKUN DI TENGAH-TENGAH PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA

Pendahuluan
Kalau kita meneliti sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, Pancasila lahir sebagai dasar negara adalah sebagai bentuk kompromi atau solusi dari kuatnya tarik menarik antara kelompok-kelompok yang mempunyai gagasan sendiri-sendiri yang sulit dipertemukan mengenai dasar negara yang akan diproklamasikan. Dari banyak kelompok tersebut mengerucut de dalam dua kelompok besar yakni kelompok yang mempertahankan Islam sebagai dasar negara dan kelompok yang lebih menghendaki dasar negara sedikit banyak bersifat sekuler, misalnya prinsip kebangsaan. Di tengah-tengah jalan buntu konflik ideologi pada waktu itu, pada tanggal 1 Juni 1945, Sukarno dalam pidatonya menawarkan jalan keluar yakni bahwa Indonesia merdeka bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, tetapi negara yang berdasarkan Pancasila. Dari rumusan Pancasila yang diusulkan Sukarno[1] yang kemudian disempurnakan lagi oleh panitia kecil yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta dan selanjutnya rumusan sebagaimana yang berlaku sampai saat ini memperlihatkan bagaimana pergumulan the founding fathers pada waktu itu untuk mewujudkan negara Kesatuan Republik Indonesia yang "bhinneka tunggal ika". Khususnya rumusan sila pertama: "Ketuhanan Yang maha Esa" adalah merupakan rumusan yang sangat kompromistis untuk memepertahankan "ke-bhinneka tunggal-ika" Indonesia. Ketika Piagam Jakarta dirumuskan dengan menambahkan pada sila pertama 7 kata[2], wakil-wakil Indonesia Timur pada waktu itu mengemukakan bahwa mereka lebih senang berada di luar Republik apa bila ke 7 kata itu tidak dihapuskan, dan akhirnya 57 hari kemudian ke 7 kata tersebut dihapuskan[3]. Dengan rumusan sila pertama dan kemudian dalam UUD 45 dicantumkan pada pasal 29 mau menyatakan, pertama, realita kemajemukan agama yang hidup di Indonesia diakui, kedua, memberi penegasan bahwa negara memberi jaminan bagi setiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya, ketiga, bahwa setiap agama mempunyai kedudukan yang sama. Tidak ada mayoritas maupun minoritas. Semuanaya mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian jauh sebelum Indonesia merdeka, sesungguhnya masyarakat sudah sangat majemuk baik suku bangsa, adat istiadat, dan agama. Hal ini ditegaskan Sukarno pada tanggal 19 September 1951, ketika menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Gajah Mada mengatakan bahwa bukan dia yang menciptakan pancasila, dia hanya sebagai penggali atau perumus dari perasaan-perasan yang telah lama terkandung dalam kalbu atau jiwa rakyat Indonesia. Pancasila menurut Sukarno sudah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia[4]. Dengan kata lain Pancasiia adalah cerminan kemajemukan dari bangsa Indonesia.
1. KEMAJEMUKAN AGAMA
Sebagaimana telah disinggung, salah satu kenyataan Indonesia yang paling unik dan mencolok adalah kemajemukannya. Ada lebih dari 17.760 buah pulau, lebih dari 300 suku bangsa yang masing-masing dengan bahasa dan budayanya. Demikian juga agama, kecuali agama Yahudi, semua agama besar di dunia ada di Indonesia[5]. Sekarang ini ada 6 agama yang diakui ditambah aliran kepercayaan. Ke 6 agama tersebut adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu Budha, dan Konghucu. Dari semua agama yang ada, pemeluk agama Islam yang paling besar jumlahnya di Indonesia. Bahkan jumlah mereka masih lebih besar dari pada semua penduduk negara-negara Arab jika dijumlahkan menjadi satu. Karena itu, Indonesia adalah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Namun demikian, hal yang mengagumkan bahwa di Indonesia masih dimungkinkan penganut agama lain berpindah agama, berbeda dengan negara seperti Maroko. Disana pemerintah memang menjamin kebebasan umat kristen untuk menjalankan ibadahnya, tetapi tidak boleh orang Islam Maroko menjadi kristen[6]. Di Malasia juga begitu.
Kemajemukan agama ini di satu sisi adalah merupakan kekayaan atau berkat bagi Indonesia sebagai kekuatan moral untuk membangun kebersamaan, tetapi sekaligus dapat juga menjadi kelemahan yakni sebagai ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kemajemukan adalah tantangan.

A. Sebagai kekuatan moral untuk membangun kerukunan.

Di dalam buku yang berjudul "Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama" yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia pada masa Tarmizi Tahir sebagai menteri agama zaman Orde Baru, masing-masing agama telah merumuskan teologi kerukunan[7]. Dalam rumusan tersebut menunjukkan bahwa semua agama tidak menghendaki adanya konflik atau permusuhan di antara para penganut agama yang berbeda-beda itu. Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama mahluk Tuhan penghuni semesta ini. Di dalam kristen misalnya diyakini bahwa Allah itu baik bagi semua orang (Maz 145:9) dan bahwa ia menerbitkan matahari-Nya baik bagi orang yang baik maupun bagi orang yang jahat (Mat.5:45). Lebih dari itu manusia juga digambarkan sebagai citra Allah (imago Dei). Oleh karena itu, setiap agama dapat memperkembangkan pemahaman itu sebagai suatu etika hidup bersama dengan bertolak dari sistim nilai universal dari masing-masing agama. Bahwa setiap agama di Indonesia mempunyai tugas dan panggilan bersama, yaitu meletakkan landasan moral, etik dan spiritual bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya dalam proses pembangunan dan modernisasi, sehingga agama sesuai dengan jiwanya, ia hadir sungguh untuk menciptakan kedamaian dan kebahagiaan umat manusia.

B. Sebagai ancaman bagi kehidupan bersama dengan rukun.

Tidak dapat dipungkiri, kemajemukan agama juga sangat berpotensi sebagai alat pertentangan dan permusuhan. Dalam tataran historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun dapat menjadi sumber konflik. Di beberapa tempat terjadi ketegangan antar penganut agama, bahkan sampai terjadi konflik yang mengakibatkan terjadinya pembakaran rumah-rumah tempat ibadah bahkan sampai saling membunuh.

Memang ada banyak hal yang menjadi penyebab hal tersebut, antara lain seperti yang disebutkan Dadang Kahmad dalam bukunya "Susiologi Agama", klaim kebanaran dan watak misioner dari setiap agama merupakan pintu yang terbuka lebar bagi terjadinya benturan dan kesalahpahaman antar penganut agama[8]. Memang dalam hal ini disadari bahwa semua itu tidak selalu semata-mata disebabkan oleh agama. Sebab ada kalanya unsur kekuasaan serta dominasi politik dan ekonomi dapat memainkan peranan yang sangat menentukan dalam menyulut api konflik tersebut. Dalam keadaan demikian agama dapat saja diperalat untuk mencapai tujuan yang bertentangan dengan misi agama itu sendiri.

2. UPAYA MENUJU KEHIDUPAN BERSAMA DENGAN RUKUN

2.1. Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama

Untuk dapat hidup bersama dengan rukun ditengah-tengah pluralitas agama, bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya atau otomatis terjadi, tetapi harus diperjuangkan. Di atas telah disebutkan bahwa Pancasila lahir sebagai solusi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada dirinya Pancasila dan UUD 45 merupakan ruangan netral bagi setiap pemeluk agama. Sebagai Negara pancasila, Indonesia tidak menganut paham sekular, sehingga negara dan pemerintah sama sekali bersikap tidak memperdulikan kehidupan beragama, demikian juga tidak "negara agama" dalam arti didasarkan atas salah satu agama. Dalam hubungan ini negara tidak mengatur dan tidak ingin mencampuri urusan syariat dan ibadah-ibadah agama. Dengan demikian amat jelas bahwa semua agama yang ada di Indonesia mendapat perlakuan yang sama oleh negara.

Di dalam UUD 45 pasal 29:2, negara Pancasila menjamin bahwa semua agama dapat dengan bebas menjalankan ajaran dan kepercayaan mereka, tanpa campur tangan pemerintah. Namun pun demikian, di dalam negara Pancasila tidak boleh diartikan kebebasan tanpa batas. Kebebasan harus diletakkan di dalam kerangka dan batas kesatuan serta persatuan bangsa, yang menjadi salah satu sendi utama dari jiwa Pancasila itu sendiri. Oleh karena itu prinsip kebebasan beragama bukanlah prinsip satu-satunya. Prinsip tersebut berdampingan dan bertalian erat dengan prinsip yang kedua, yaitu prinsip kerukunan beragama atau kerukunan umat beragama. Artinya di dalam masyarakat Pancasila, kebebasan beragama dilaksanakan dan diwujudkan dalam semangat kerununan beragama, dan semangat kerukunan beragama dilaksanakan dan diwujudkan tenpa mengurangi kebebasan beragama. Jadi Pancasila boleh dipahami sebagai upaya agar realita kemajemukan agama, yang mempunyai pemahaman teologi yang berbeda pula, dapat hidup berdampingan, hidup bersama dengan rukun di Negara Republik Indonesia.

2.2. Refleksi teologis tentang kehidupan bersama dengan rukun

Di dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia. Nenek moyang manusia adalah Adam dan Hawa. Dalam perkembangannya manusia itu membentuk suku, adat-istiadat, dan agama yang berbeda satu dengan yang lain. Kalau demikian mengapa manusia saling mencelakakan bahkan saling membunuh? Jawaban secara Alkitabiah adalah karena manusia sudah jatuh ke dalam dosa. Kain membunuh adiknya, Abel. Demikianlah setrusnya, sehingga muncul istilah "homo homini lupus" (manausia adalah serigala bagi sesamanya). Dan yang paling ironis adalah agama-agama yang mempunyai misi sebagai pembawa damai, tetapi di dalam penerapannya tidak selalu demikian bahkan sebaliknya saling bermusuhan dan saling melenyapkan. Mengapa demikian? Karena ada kecendrungan manusia mempertuhankan agama dan kebenaran agama masing-masing. Bahwa agamanya saja yang benar dan agama yang lain salah. Hanya dia saja yang masuk sorga dan semua penganut agama lain pasti masuk neraka. Kalau seperti ini pemahaman seseorang, maka tentu sangat sulit untuk menghargai orang yang beragama lain. Dan kalau kita tidak bisa menghargai orang yang beragama lain, mustahil kita dapat menjalin hubungan yang baik dengan mereka, hidup bersama dengan rukun.

Dalam Kisah Para Rasul 10, ada sebuah kisah yang sangat menarik tentang bagaimana Tuhan mendidik Petrus agar ia lebih terbuka terhadap orang yang berbeda agama dan kritis terhadap ajaran agamanya sendiri. Petrus diperintahkan oleh Tuhan untuk pergi bahkan bermalam di rumah Kornelius, seorang perwira tentara Roma, perwira yang baik tetapi menurut ajaran agama Petrus dikategorikan sebagai kafir. Petrus tentu saja amat ragu-ragu untuk melaksanakan perintah ini. Berkunjung, apalagi bermalam di rumah dan kemudian makan bersama-sama dengan orang kafir adalah haram. Sampai tiga kali, Tuhan harus mempersiapkan Petrus, supaya hatinya lebih terbuka. Tiga kali Tuhan menurunkan dari langit, benda berbentuk kain lebar yang isinya adalah binatang-binatang yang halal dan haram. Dua kali Petrus disuruh makan, Petrus menolak. "Tidak Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir" (ay. 14). Tetapi apa kata Tuhan? "Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram" (ay. 15). Menurut aturan agama, Kornelius itu kafir, haram dan najis. Pada ayat 28, Petrus sendiri mengatakan begitu kepada Kornelius, "Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir."

Agama itu mengotak-ngotakkan manusia, menyekat-nyekat manusia, memisah-misahkan manusia. Saling menajiskan satu dengan yang lain. Penuh prasangka. Tidak dapat saling menerima seperti apa adanya. Padahal Tuhan tidak begitu. Tuhan menerima orang seperti apa adanya, yang baik la katakan baik, yang buruk Ia katakan buruk. Ada hal yang amat penting dalam Kisah Para Ra-sul 10:34-35, di mana Petrus akhirnya berkata, "... Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya." Oleh karena itu di dalam rumusan yang di buat kelompok kristen didalam buku "Bingkai Kerukunan Hidup Umat Beragama" menyatakan bahwa teologi kristen menolak mengidentikkan Allah dengan agama, yang berarti menolak pemutlakan agama dan sekaligus berarti penisbian Allah. Dipahami bahwa Allah selalu lebih besar dari apa yang dapat ditangkap dan dipahami agama apapun. Implikasi pemahaman demikian adalah kita tidak boleh menutup pintu bagi sesama kita yang beragama lain. Karena itu dalam iklim fluralitas agama, Gerrit Singgih mengemukakan bahwa kita perlu membangun sikap dialog. Hal ini yang juga ditekankan oleh Hendropuspito, bahwa dialog[9] adalah merupakan jalan yang paling sesuai yang perlu diambil sebagai langkah pertama menuju kerukunan dan perdamaian. Untuk itu menurut Hendro, setiap umat perlu dilengkapi dengan "kepribadian dialogikal" yang memiliki sifat: (1) pribadi yang utuh atau otentik[10]. (2) terbuka, (3) berdisplin. Artinya mematuhi secara konsekuen tata tertip dialogi.

Berdasarkan pemahaman ini, bagi orang kristen seharusnya tidak ada masalah hidup berdampingan dengan siapapun. Sebab pada dasarnya: yang pertama, semua manusia adalah saudara, semua manusia adalah satu keluarga atau satu rumpun sebagai ciptaan Allah. Kalau orang kristen menyebut Allah itu Bapa pencipta segala sesuatu, maka dengan pengakuan ini orang kristen seharusnya memahami juga bahwa semua manusia adalah sebagai keluarga Allah atau familia dei. Kedua, di dalam iman kristen hubungan kasih sebagai keluarga antara Allah dan manusia merupakan hal yang sangat sentral dan hakiki atau dengan kata lain agama kristen adalah agama yang menekankan cintakasih. Dalam khotbah di atas bukit, Yesus mengingatkan murid-muridnya agar hidup berdasarkan etika ini: "apa yang engkau kehendaki agar orang lain perbuat kepadamu perbuatlah demikian kepadanya" (Mat.7:12).

3. IMPLEMENTASI PEMIKIRAN PANCASILA DAN REFLEKSI TEOLOGIS DALAM KEHIDUPAN BERSAMA DENGAN RUKUN

Tidak dapat dipungkiri Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia hingga saat ini masing menyimpan ketidak puasan bagi sebagian pemeluk agama Islam di Indonesia. Oleh karena itu upaya-upaya untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar negara masih terus diperjuangkan, paling tidak mereka terus berjuang agar syariat Islam menjadi aturan hidup dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan hal ini menjadi terbukti, ketika beberapa kabupaten di negara Republik Indonesia ini sudah menerapkan syariat Islam di dalam peraturan daerahnya. Itu berarti dalam implementasi bahwa Pancasila alternatif terbaik bagi terciptanya hidup bersama secara rukun masih dianggap kurang pas. Namun syukurlah bahwa tidak semua saudara kita yang beragama Islam berpikir demikian, di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sangat majemuk, Pancasila adalah benar-benar alternatif yang terbaik bagi terciptanya hidup bersama secara rukun. Tanpa Pancasila maka tidak akan ada kesatuan, tanpa Pancasila tidak akan ada Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa Pancasila kita akan hidup dalam perpecahan atau paling sedikit ketegangan anta suku, agama yang terus menerus. Secara teologis kristiani, kita dapat mengatakan dengan penuh tanggungjawab bahwa apa yang yang paling baik bagi semua orang adalah baik untuk kita. Kita berupaya sungguh-sungguh untuk mengamankan dan mengamalkan Pancasila, oleh karena tanpa hal itu bangsa kita akan hancur. Kita berupaya sungguh-sungguh bukan hanya untuk kepentingan kita tetapi untuk kepentingan seluruh bangsa, sekalipun Pancasila bukan wahyu ilahi yang kekal dan sempurna, tetapi paling sedikit tidak bertentangan dengan iman kristiani.

Demikian juga implementasi refleksi tiologis hidup bersama secara rukun masih belum dapat diterima sepenuhnya oleh sebagian orang kristen. Hal ini menurut Gerrit Singgih karena masih kuatnya pemahaman "proselitisme mutlak"[11] Demikian juga mengenai sikap "dialog" yang dianggap langkah tepat dalam upaya menciptakan kerukunan, masih banyak dipertanyakan. Bahkan ada yang mencurigai dialog merupakan upaya mencampur adukkan agama-agama (sinkritisme). Namun demikian, tidak berarti implementasi kedua hal tersebut (Pemikiran pancasila dan refleksi tiologis dalam hidup bersama secara rukun) tidak berguna sama sekali. Oleh karena itu, Kisah Para Rasul 10 yang telah disebutkan di atas kiranya menjadi renungan yang baik bagi kita dalam menghayati kehadiran orang kristen di Negara Republik Indoneia yang sanga plural.

4. PENUTUP

Dalam dirinya sendiri kerukunan sebenarnya adalah tugas setiap agama. Atau istilah Yewangoe[12] "kerukunan merupakan panggilan iman". Kerukunan katanya bukan merupakan nilai akhir tetapi baru merukakan sarana yang harus ada untuk mencapai tujuan lebih jauh yaitu situasi aman dan damai. Oleh karena itu kerukunan harus diupayakan. Untuk itu setiap agama perlu:

  1. Menumbuhkan iklim saling menghormati dan menghargai.
  2. Menghindarkan kesalahpahaman diantara memeluk agama baik mengenai istilah yang dipakai maupun mengenai prilaku. Istilah pekabaran Injil misalnya, tidak sama dengan kristenisasi, dan istilah dakwah tidak identik dengan islamisasi. Disini sangat dibutuhkan kejujuran dari berbagai pihak.
  3. Stigmatisasi[13] terhadap agama tertentu perlu dihindari.
  4. Kita haras berupaya agar agama-agama tidak mudah diperalat atau ditunggangi para oknum yang tidak bertanggungjawab untuk tercapainya tujuan peribadi atau kelompok demi kekuasaan atau langgengnya suatu kedudukan, dsb.
  5. Menyadari bahwa persoalan kemanusiaan sangat luas dan kompleks seperti kemiskinan, sekularisme, konsumerisme, materialisme, hedonisme, AIDS/HIV, narkoba, miras, ketidak adilan, dll, maka kerjasama yang erat dari setiap umat beragama sangat dibutuhkan, sebab tidak ada satu golongan agama pun yang sangggup menanggulanginya sendiri masalah-masalah tersebut.

Kepustakaan
1. Darmaputera, Eka, Ph.D, Pancasila, Identitas dan Modernitas. Jakarata: BPK GunungMulia, 1988
2. ______________, Iman dan Tantangan Zaman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal.27
3. Gerrit Singgih, Imanuel, Pdt. Mengantisipasi Masa Depan. Jakaarta: BPK Gunung Mulia, 2004
4. Yewangoe, A.A, DR, Agama dan Kerukunan. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006
5. _______________, Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan. Penunjang tulisan 60 tahun Prof.Dr.Olaf H. Schumann. Jakarta: GBK GM, 2003
6. Hendropuspito, D, OC, Sosiologi Agama. Jakarta: Kanasius, BPK GM, 1991Dadang Kahmad, H. M.Si, Sosialogi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakaria, 2000

-------------------------------------
[1] Pada tanggal 1 Juni 1945, setelah pertentangan tajam antara kelompok-kelompok mengenai dasar negara yang akan diproklamasikan, Sukarno menyampaiakan pidato yang kemudian menjadi amat terkenal dengan sebutan iahirnya Pancasila. Di dalam pidato ini Sukarno menawarkan jalan keluar bahwa Indonesia Merdeka bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, tetapi negara yang berdasarkan Pancasila. Adapun rumusan Pancasila yang diusulkan Sukarno menurut urutan-urutannyaya sebagai berikut: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme/Perikemanusiaan, (3) Mupakat/Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan yang maha Esa (Eka Darmaputera, Ph.D, Pancasila, Identitas dan Modernitas. Jakarata: BPK Gunung Mulia, 1988, hal. 105.
[2] Rumusan Piagam Jakarta: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban untuk melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradap, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, (5) Mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
[3] DR.A.A.Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 9

[4] Eka Darmaputera, Pancasi/a, Identitas dan Modernitas (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1988), hal. 131
[5] Eka Daemaputera. /man dan Tantangan Zaman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal.27
[6] Ibid, hal.28
[7] Selengkapnya terdapat dalam tulisan A.A.Yewangoe dalam buku Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan. Penunjang tulisan 60 tahun Prof. Dr. Olaf H. Schumann (Jakarta: GBK GM, 2003), hal.55-81 dengan judul "Kerukunan umat beragama sebagai tantangan dan persoalan: menyimak Bingkai Teologi Kerukunan Departemen Agama R.I".
[8] Dadang Kahmad. Sosialogi Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakaria, 2000), Bab. 15
[9] Dialog berasal dari kata Yunani "dia-logos" yang artinya berbicara anatara dua pihak. Dengan demikian defmis dialog adalah percakapan antara dua orang (aatau lebih) dalam mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak (Hedropuspito, D, OC, Sosialogi Agama, Jakarta: Kanasius & BPK.GM, 199, hal.172). Menurut Yewangoe dialog berarti percakapan diantara orang yang berkeluarga (DR.A.A.Yewangoe, Agama dan Kerukunan. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006, hal.49
[10] Pribadi yang utuh dan otentik menurut Hendro adalah yang dapat memberikan tanggapan kepada orang lain dengan seluruh pribadi, bukan dengan hati yang setengah-setengah. Pribadi yang otentik juga berarti karena ia menghargai orang lain sebagai pribadi dan mau mempercayainya serta tidak berusaha untuk memperalatnya demi kepentingan sendiri (Hendropuspito, ibid, hal. 173).
[11] "Proselitisme mutlak" dimana memahami agama sendiri yang benar, sedang agama yang lain salah sehingga agama yang lain sebaiknya bubar dan anggotanya dibujuk menjadi anggota agamaku (Pdt. Imanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan. Jakaarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 59 12 DR.A.A.Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 33
[12] DR.A.A.Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 33
[13] Stigmatisasi dapat terjadi karena abstraksi yang berlebih-lebihan terhadap agama-agama lain. Ketika terjadi ketegangan antara si Markus yang beragama kristen dengan si Mahmud yang beragama islam, maka yang dilihat bukan lagi Markus atau Mahmud sebagai orang, tetapi si Kristen dan si Islam yang sudah diberi cap (stigma). Setigmatisasi itu dapat terjadi antara lain karena pembinaan umat yang tidak jelas ujung pangkalnya. Khotbah-khotbah yang buruk dan provokatif tidak pernah dapat mendewasakan umat. Sebaliknya akan terjurumus ke dalam sikap kekanak-kanakan yang akan sangat mudah dihasut (Yewangoe, Agama dan Kerukunan. Jakaarta: BPK GM, 2006, hal. 38).




Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment