Saturday 9 March 2013

Khotbah Matius 27:26-31, Jumat Agung 29 Maret 2013

Introitus : 
“Berjalanlah TUHAN lewat dari depannya dan berseru: "TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Keluaran 34:6).

Bacaan : Yesaya 53 : 1 – 9; Khotbah : Matius 27 : 26 – 31

Tema : 
“Kasih Tuhan tidak lenyap karena kejahatan manusia”

Pendahuluan
Memperingati Jumat Agung yaitu mengingat dan mendalami kembali keagungan Yesus Kristus yang rela berkorban untuk menggantikan kita semua disalibkan dan mati untuk kita. Yohanes 15:13 “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”. Inilah bukti nyata kasih Tuhan bagi kita yang tidak dapat kita ingkari. Tidak ada seorang pun diantara kita dapat mengatakan “aku tidak dikasihi”.

Sebenarnya kematian ini atas kehendak-Nya sendiri, Ia datang sendiri ke Yerusalem yang Ia tahu disana ada komplotan yang telah bersekongkol untuk membunuh-Nya. Yesus yang menghampiri mereka, bukan untuk bunuh diri, tetapi untuk menggenapi misi-Nya turun ke dunia. Tanpa kematian-Nya tidak ada harapan di dunia; kematian-Nya menyediakan pengharapan yang teguh bagi kita.
Juga mengingatkan kita betapa kejamnya manusia, Anak Manusia yang tidak bersalah atau yang seumur hidupNya melakukan kebaikan, diperlakukan sewenang-wenang. Yesus mengatakan“Sebab jikalau orang berbuat demikian dengan kayu hidup, apakah yang akan terjadi dengan kayu kering?" (Luk.23:31) Perlakuan manusia tidak layak untuk-Nya, lalu bagaimana selayaknya perlakuan Tuhan bagi manusia yang jahat? Pemberontakan kita tidak dimurkai, tetapi dipadamkan dengan curahan kasih-Nya.

Pendalaman Nats
Terjadi pertukaran dalam hukuman penyaliban antara Barabas dan Yesus; saat dilakukan pemilihan yang diserahkan kepada orang banyak, dengan suara bulat orang banyak meminta supaya Barabas dibebaskan dan Yesus disalibkan. Barabas benar-benar beruntung, karena tanpa sebab dia di bebaskan. Posisinya ditempati oleh Yesus yang tidak bersalah, sedangkan ia sendiri sudah terbukti seorang penyamun dan pembunuh. Betapa beruntungnya dirinya, ia yang telah dipersiapkan untuk dieksekusi, tiba-tiba mendapat kebebasan gratis.

Para perajurit Romawi mempermainkan Yesus. Mereka membuat seolah-olah seperti panggung sandiwara sebagai hiburan bagi mereka. Para perajurit ini memberikan sebuah jubah, dimahkotai dengan mahkota duri dan diberi tongkat sebuah buluh. Mereka sungguh menikmati permainan ini. Demikianlah tampak kekerasan yang dipraktekkan kepada Yesus, baik kekerasan secara fisik dan mental. Mereka memberi hormat sebagai olok-olokan, dipukul, diludahi. Mereka sungguh menikmati kekerasan yang mereka lakukan. Setelah mereka puas menghina Yesus maka dibawa keluar untuk disalibkan. Mereka tidak menyadari bahwa mereka berhadapan dengan Raja Alam Semesta. Andai saja mereka tahu, mereka tidak akan berani memperlakukan Raja yang seharusnya mereka sembah.

Kalau kita perhatikan dengan seksama, penderitaan yang dialami Yesus ini, akan sangat sulit sekali untuk ditanggungNya. Bagaimana Ia bertahan terhadap penyiksaan, penganiayaan yang terus menerus berlangsung. Upaya ini untuk membuat Ia membatalkan dan mundur dari misiNya. Tetapi Yesus telah bergumul di taman Getsemani dan telah berketetapan hati menanggung semua penderitaan ini. Ia tidak mau tanggung-tanggung dan berhenti di tengah jalan. Ia telah memandang ke bukit kalvari yaitu puncak penderitaanNya, Ia mengerjakan tugas ini “sampai selesai”.

Yesus seperti dinubuatkan nabi Yesaya sebagai “hamba yang menderita” bukan karena kejahatanNya sendiri tapi untuk menanggung kesalahan dan hukuman orang lain. Ia sama sekali tidak bersalah, tidak ada kesalahan yang terbukti atas dirinya. Malah dengan kematian-Nya menyatakan bahwa kebenaran seutuhnya ada pada diri-Nya. Tidak ada kepalsuan dalam diri-Nya, tidak ada keraguan dalam langkah-Nya, tidak ada penyesalan dalam pengorbanan-Nya.

Dalam perikop ini sejumlah unsur pemberitahuan Yesus tentang penderitaan-Nya digenapi. Kita teringat akan Matius 16:21; 17:22-23 dan terutama 20:19. Di sana tertulis, “mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan”. Tokoh raja ejekan membuat kita teringat akan peristiwa Yesus memasuki kota Yerusalem sambil dielu-elukan (Mat.21:1-9), tetapi juga akan tokoh hamba TUHAN, Ebed YHWH dari Yesaya 49-53, yang “dihina dan dihindari orang” (Yes.53:3). Namun, tampak pula garis lain. Dia yang kepada-Nya kini dikenakan jubah ungu tentara, di kemudian hari akan tampil selaku Penguasa dunia, “serupa Anak Manusia”, berpakaian jubah yang panjangnya sampai di kaki (Why.1:13). Dia yang kini dimahkotai dengan mahkota duri kelak akan “dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat” (Ibr.2:9). Dia yang sekarang diberi sebatang buluh di tangan kanan-Nya, Dia juga yang kelak memegang “tongkat kebenaran, tongkat kerajaan-Nya” (bnd. Ibr.1:8). Kini tentara Romawi berlutut di hadapan-Nya sambil mengolok-olok Dia dengan berkata, “Salam, hai Raja orang Yahudi”, tetapi kelak akan “bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp.2:10-11).

Pointer Applikasi
Banyak orang yang masih terus mempermainkan Tuhannya; kalau kita mengenal Tuhan kita maka kita akan sangat menghormatiNya. Kita yang sudah memahami siapa Yesus sesungguhnya menghargai “kerelaan-Nya untuk menderita”. Ia tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Ketulusan hati-Nya tidak berubah karena perlakuan yang kasar.

Drama kehidupan Anak Manusia yang dramatis, bukan didramatisasi. Peristiwa ini merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Mengingatkan kita, betapa keji dosa yang telah mendera dan menyalibkan diri-Nya. Fokus kita bukan pada kejahatan tentara Romawi tetapi dosa kitalah yang memaki-maki diri-Nya, yang mengolok-olok dan menyakiti diri-Nya. Mungkin bisa kita katakan seperti Yesus katakan "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk.23:34). Perajurit-perajurit ini tidak mengetahui siapa Yesus sebenarnya. Tetapi tahu atau tidak tahu, perbuatan mereka ini keji.

Roma 5:8 “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”. Sekarang maukah kita menerima pengampunan Tuhan ini? Apakah kita terus menerus “tidak tahu apa yang kita perbuat”? Kita bertanggungjawab atas perbuatan kita. Inilah tanda kedewasaan iman kita; mengasihi Yesus dengan segenap hati kita. Pelanggaran dan dosa kita sudah seharusnya ikut disalibkan dan mati di kayu salib. Hingga hidup kita tidak lagi menyakiti Yesus, tetapi menyembuhkan luka dan penderitaan sesama kita. Yang dapat memadamkan amarah, kebencian dan kekerasan adalah kasih yang sempurna dari Yesus Tuhan kita. Kalau kematian Yesus pun tidak dapat mengubah diri kita, apa lagi yang dapat?

“Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa” (Rm.6:6). Yesus telah memberikan diri-Nya untuk memampukan kita hidup dengan loyalitas penuh bagi pengabdian kita untuk orang yang telah rela menderita bagi kita.

Aplikasi yang selayaknya bagi kita adalah kerelaan menanggung penderitaan, menunjukkan kesetiaan dengan menang dalam penderitaan. Seperti Jeremy Taylor adalah seorang pendeta Inggris yang hidup pada abad 17 dan mengalami penganiayaan berat karena imannya. Namun, sekalipun rumahnya dirampas, keluarganya menjadi melarat, dan hak miliknya disita, Jeremy terus menghitung berkat-berkat yang tidak dapat diambil dari padanya. Jeremy menulis, “Mereka tidak dapat merampas keceriaan saya, semangat saya yang penuh sukacita, dan hati nurani yang tulus. Yang tersisa bagi saya adalah pemeliharaan Tuhan dan seluruh janji-Nya. Saya masih bisa makan dan minum, saya dapat membaca dan merenung. Dan, orang yang memiliki begitu banyak alasan untuk bersukacita dan alasan-alasan yang begitu hebat seharusnya jangan pernah melihat untuk duduk di atas segenggam duri yang dimilikinya”. Teladan Yesus membuat kita tidak lagi mengeluh dan mengumpat karena penderitaan hidup yang kita alami. Sebab Yesus tidak mengeluh dan berontak, Ia tekun menanggung penderitaan karena Ia tahu misi yang Dia kerjakan. Hidup tidak hanya menerima yang enaknya saja, tetapi mau ikut menanggung penderitaan demi Kristus.

Pdt.Sura Purba Saputra, S.Th
GBKP Bandung Barat


Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment