Wednesday 24 July 2013

Khotbah Lukas 10:25-37, Minggu 28 Juli 2013 (Minggu IX Setelah Trinitas)

Introitus:
Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN (Imamat 19:18)

Bacaan : Imamat 19:9-18 (Anthiponal); Khotbah : Lukas 10:25-37 (Tunggal)

Tema : Kamu adalah Sesamaku (Kam Kap Sininangku)

Semua orang pasti ingin selamat, pencuri, penjahat ulung maupun perampok kalau ditanyakan kepada mereka, apakah kamu mau masuk surga ? semuanya pasti mau, apa lagi kalau kita tanyakan kepada orang yang aktiv dalam kegiatan gereja pasti jawaban mereka “ya sorga yang baka”.

Memang keselamatan atau sorga menjadi impian semua orang, demikian seorang ahli Taurat mencobai Yesus. Dengan menanyakan “apa yang harus di perbuat untuk mendapatkan hidup yang kekal”.

Kata “mencobai” itu menunjukkan bahwa si ahli Taurat itu tidak sungguh-sungguh ingin bertanya. Kata mencobai dapat berarti ingin menguji (sampai dimana pengetahuan Yesus tentang Taurat) tapi dapat juga untuk menjebak “kebenaran” tentang ajaran yang Yesus lakukan dan jika Yesus salah dalam memberikan jawaban dapat juga terjebak membawa diri-Nya ke Pengadilan Agama.

Tetapi yang luar biasa disini Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli Taurat itu, tetapi justru Yesus balik bertanya. Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, ini tepat sekali di dialamatkan kepada orang yang “menganggap dirinya pintar” karena bagi orang yang “menganggap dirinya pintar”, sehebat apapun kita menawab pertanyaan mereka, sehebat apapun argumentasi kita tidak akan dapat mereka terima, apa lagi kalau pertanyaan yang mereka ajukan sungguh ingin “menjebak/mencobai” kita. Jadilah bijak seperti Yesus, jangan diladeni kalau tidak mau “naik pitam” tetapi biarkanlah dia sendiri yang menjawab pertanyaannya.

Ahli Taurt itu sangat jelas mengatakan bahwa syarat untuk mendapatkan hidup yang kekal itu adalah : “: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Yang diminta Tuhan bagi semua orang yang percaya kepada Kristus dan menerima keselamatan-Nya adalah kasih yang setia. Kasih yang menuntut sikap hati yang menghormati dan menghargai Allah sehingga memiliki hati yang rind uterus untuk bersekutu dengan-Nya, berjuang untuk menaati setiap Firman-Nya dalam segala lini kehidupan, dimana dan kapan saja di permukaan bumi ini. Kasih kepada Allah harus sepenuh hati dan tulus seperti kasih Allah yang telah mengaruniakan Anak-Nya demi keselamatan dunia. Kasih yang mau berkorban , rela menderita dengan tulus hanya demi kasih itu sendiri.

Dalam pujangga-pujangga cinta, untuk mempertahankan cinta orang kepada kita “cintailah apa yang mereka cintai” unutk mempertahankan cinta Yesus cintailah apa yang Dia cintai. Syair lagu “Yesus cinta segala bangsa…..” sudah selayaknya juga kita mencintai segala bangsa manusia (bdk. Gal.6:10), termasuk orang yang memusuhi kita (Mat.5:44). Kasih kepada Allah adalah hukum yang terutama dan kasih terhadap sesama manuisa dan kasih sesama manusia adalah humum yang utama.

Kata Yesus “jawabmu itu benar”, untuk mendapatkan hidup yang kekal menag kita tidak bisa memisahkan antara mengasihi Tuhan dan sesama manusia. Mengasihi Tuhan dan sesama manusia ibarat sepasang sayap yang dapat membawa kita terbang naik ke sorga, ibarat sepasang kaki yang dapat mengantarkan kita sampau ke tujuan hidup yang kekal.

Firman Tuhan dalam Yakobus 4:20 Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan lebih ditegaskan lagi dalam Mat.25:40 “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.

Kritikan pedas bagi ahli Taurat yang menganggap dirinya bisa selamat karena “pengetahuannya” tentang Hukum Taurat, tapi tidak bagi Yesus. Karena bagi Yesus keselamatan itu bukan sebatas pengetahuan akan Firman Tuhan, tidak cukup tahu, yang Tuhan mau kita menjadi pelaku-pelaku Firman Tuhan. Peringatan juga bagi kita, yang sering mau berdebat tentang “kebenaran”, bahkan ada yang tidak saling bertegoran lagi hanya karena perbedaan pendapat tentang Firman Tuhan…. Ingat…ingat, yang Tuhan mau bukan saja pengetahuan tentang Firman Tuhan, yang Tuhan mau kita melakukannya. Kalau boleh kita membuat gambaran tentang iman “lebih baik sedikit tahu tapi melakukannya dari pada banyak tahu tapi tidak melakukannya, idealnya memang banyak tahu dan banyak berbuat. Berbicara tentang iman bukan berbicara tentang pengetahuan, tetapi berbicara tentang wujud iman/perbuatan. Bandingkan I Kor. 13:13 “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih”. Dan Yakobus 2:17 “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati”. Kalau kita hubungkan dengan tanggung jawab (responsibility) tanggung jawab terbesar itu di bebankan kepada orang yang “tahu”, tahu yang benar tapi tidak melakukannya tanggung jawabnya lebih besar dari orang yang tidak tahu dan tidak melakukannya bdk (Yeheskiel 33:4) kalau ada seorang yang memang mendengar suara sangkakala itu, tetapi ia tidak mau diperingatkan, sehingga sesudah pedang itu datang ia dihabiskan, darahnya tertimpa kepadanya sendiri),.

Namanya orang “yang menganggap dirinya pintar, benar selalu ingin berkelit, di ayat 29 masih mencoba untuk membenarkan diri “siapakah sesamaku manusia?” ya memang seringkali kita mengartikan “sesama” itu adalah berasal dari kata “sama” atau sejajar, selavel, sekelas. Apalagi bangsa Yahudi sangat memegang teguh sebagai bangsa “pilihan Tuhan” yeng membuat mereka membangun sikap “Ekslusif” menganggap bangsa yang punya nilai lebih sehingga sangat tertutup dengan bangsa yang lain. Di luar kaumnya dianggap kafir, kotor dan nazis tidak layak untuk dikasihi.

Pemahaman inilah yang Yesus mau “jungkirbalikkan/di restorasi atau di bongkar pasang” bahwa semua manusia “sama dihadapan Allah diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, yang patut diharagai dan dikasihi. Zaman ini kecenderungan yang kita lihat bahwa antusiasnya orang –orang yang mau membentuk kelompok, mulai dari arisan se marga, sekampung, sejawat dlsb (saya tidak alergi dengan itu) tapi yang perlu kita waspadai adalah jangan sampai kita terlalu merasa “safety” di kelompok kita sehingga lupa ada yang lain di luar sana.

Ilusterasi yang kita dengar ketika ada kecelakaan, begitu banyak timbuk pertimbangan sebelum melakukan tindakan pertolongan. Siapa yang kecelakaan, suku apa, Kristen atau bukan, Kristen yang mana, anggite gereja kita atau bukan, angota sector kita atau bukan,. apa marganya…., kalau salah satu jawaban dari pertanyaan itu bukan dari “golongannya/kelompoknya ” yah sudahlah ….jadilah ….. tidak meolong.

Melalui renungan kita di Minggu ini Tuhan Yesus mau menyadarkan kita, menyadarkan Ahli Taurat bahwasanya jabatan atau status tidak cukup untuk mendapatkan keselamatan… baik Imam maupun suku Lewi (suku yang sangat dihormati, sebagai pengurus rumah ibadah, yang tinggal dan hidup di dalam rumah ibadah) tidak akan selamat tanpa tindakan mengasihi sesamanya manusia.

Peringatan keras bagi setiap orang Kristen terkhusus bagi “pejabat-pejabat gereja” jangan sempat kasih orang yang kita tuduh “tidak mengenal Tuhan” atau yang tidak rajin beribadah lebih “terasa” dari kasih kita. Hal ini yang diperhadapkan Yesus atau yang mau Yesus bandingkan antara Imam, suku Lewi dan orang Samaria (yang dianggap tidak mengenal Tuhan).

Kita sering kali berbicara “saudara-saudariku yang terkasih” dalam bahasa karo mungkin lebih dalam maknanya “senina ras turang” yang artinya bukan lagi hubungan oleh kekrabatan (pertuturen) tetapi lebih dalam kekerabatan itu sudah menjadi seakan-akan menjadi “hubungan sedarah”, satu bapa dan seibu” . Tapi apakah itu layak kita ucapkan ketika ada saudara kita ynag sakit kita tidak menolongnya, tidak mendoakannya, tidak peduli sama sekali ?

Dalam renungan kita memang tidak di ungkapkan “siapa yang kena samun (rampok) tersebut. Tetapi bagi orang Samaria tidak memikirkan hal itu, yang dia tahu bahwa dia harus menolongnya….” Tidak memikirkan resiko (banyak juga pendapat yang menngatakan bahwa jalan itu sepi, sehingga banyak strategi yang dibuat perampok untuk mendapatkan mangsanya, bisa saja itu sebagai umpan). Jalanan itu “sepi” sehingga kalau tidak ada urusan penting tidak akan ada orang yang mau lewat (berbeda dengan Mall atau tempat keramaian ada orang yang datang cuci mata, atau menghabiskan waktu) tetapi kasih yang dimiliki orang Samaria itu mengalahkan “kepentingan pribadinya” berbeda dengan Imam dan orang Lewi yang mungkin terlalu taat terhadap aturan hidupnya (kesibukannya). Kasih Orang Samaria itu sungguh luar biasa, dia memberikan “hatinya” ketika dia mengobati dan membalut luka-lukanya, dia memberikan waktu untuk membawanya ke penginapan, memberikan materi untuk pengobatan, dia mau menolong sampai “tuntas” (ay.34-35).

Syarat mengatakan “saudara-saudari atau senina ras turang” adalah “kasih yang sempurna, jadi berpikirlah sebelum kita mengatakan kepada orang lain kita adalau “saudara” jika tidak mau menanggung resiko “memberi dan menerima, saling mengasihi. Jadi ikatan sesama itu bukan karena hubungan kekerabatan, bukan karena semarga, sejawat… tetapi dalam “kasih yang tulus”.

Tema kita pada Minggu ini “Kamu Adalah Sesamaku”, artinya aku menjadi sahabatmu dalam suka maupun duka. Hal ini haris diimplementasikan melalui sikap hidup yang mau memperhatikan kepentingan orang lain, seperti yang di Firmankan Tuhan dalam bacaan kita Imamat 19:9-18, yaitu: Menyediakan makanan mereka yang membutuhkan. Jangan memakan yang bukan “hak” kita, mencuri sma saja dengan “merampok/merampas hak milik orang lain. Jangan berbohong atau berdusta, berbohong atau berdusta adalah pengkhianat yang paling “tolol” karena orang yang berbohong itu ‘pribadi yang pertama dia bohongi adalah dirinya sendiri. Jangan mesang “jerat” sehingga orang lain terjerumus. Itu artinya janganlah melakukan kesalahan karena ketika kita melakukan kesalahan hal itu dapat menyeret orang lain kedalam masalah “dosamu adalah salibku, dan dosaku adalah salibmu” mari kita hindari dosa sehingga tidak menjadi salib yang membuat orang terjerat. Marilah kita berbuat adil terhadap sesama kita. Firman Tuhan mengatakan: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:12)

Pdt. Saul Ginting
GBKP Rg. Klender


Catatan Sermon:
  1. Terlepas motivasi mencobai, pertayaan guru agama penting kita renungkan. Sebab jangan-jangan kita juga masih level bertanya bagaimana untuk memperoleh hidup yang kekal. Kita sudah membaca Firman Tuhan, tetapi tidak melakukan. Itulah sebabnya maka Yakobus mengatakan Iman tanpa perbuatan adalag mati (bd.Yakobus 2:20, 26)
  2. Hidup adalah sebuah perjalanan. Dalam perjalanan itu banyak hal kita jumpai, antara lain orang yang tersamun. Bagaimana sikap kita mengenai hal ini? Ada kecendrungan masuk ke zona nyaman, ini menjadi bahaya bagi kemanusiaan dan kenyamanan hidup yang didambakan setiap manusia. Perlu kembali kita renungkan bagaimana Tuhan kita dalam menjalani hidupNya, Ia tidak mau hidup dalam zona aman yakni kepentingan dirinya, tetapi ia mau menderita bahkan mati bagi keselamatan umat manusia.


Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment