Monday 7 September 2009

DAPATKAH BISNIS DILAKUKAN BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP KRISTIANI!?

Pendahuluan
Dalam suatu Perpulungen Jabu-Jabu (Kebaktian Keluarga) di rumah salah seorang anggota jemaat GBKP Surabaya, disksusi hangat terjadi setelah dalam pengarahan (renungan) saya menekankan tentang "kejujuran" dalam segala aspek kehidupan orang kristen. Salah seorang anggota jemaat yang berprofesi "pedagang" bertanya: "apakah Firman Tuhan ini dapat diterapkan dalam dunia bisnis? Ketika ditannyakan kembali mengapa pertanyaan ini dikemukakan, jemaat tersebut dengan panjang labar menjelaskan dan menyimpulkan bahwa ia tidak dapat menerapkan kejujuran sebagaimana disebutkan di dalam Alkitab, kecuali kalau bersedia rugi dan bangkrut (mungkin maksudnya untungnya kecil). Ia mengambil satu contoh menjual minyak tanah. Ia membeli ke agen 200 liter dengan harga Rp.2300/liter dan dijual kemudian secara eceran dengan harga Rp.2500/liter, berarti untungnya Rp.200/liter. Masalahnya ialah dari 200 liter tersebut ketika dijual dengan ukuran liter yang benar secara eceran kepada masyarakat jumlahnya menyusut dari 200 liter menjadi 190-195 liter. Dengan kenyataan ini, maka bila tetap menjualnya dengan ukuran yang benar sudah pasti untungnya sangat sedikit bahkan bisa rugi. Demikian juga barang dagangan yang lain yang dijual secara eceran seperti gula pasir, minyak goreng, tepung trigu, dll. Ketika ditanyakan mengapa bisa menyusut, ia mengatakan antara lain penguapan, kececer, dan sebab-sebab lain. Tentunya orang berjualan tidak mau rugi, bahkan kalau memungkinkan dengan modal sedikit mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Beberapa anggota jemaat yang berprofesi pedagang yang hadir pada waktu itu juga membenarkan pendapat ini. Bahkan ketika diskusi semakin hangat salah seorang majelis yang hadir meminta kepada moderator agar diskusi dihentikan saja sebab masalah "kejujuran" dalam dunia bisnis sesuatu yang sulit dilaksanakan.
Kesaksian lain yang dialami seorang pendeta GBKP ketika mengunjungi jemaatnya yang berprofesi pedagang di salah satu pasar di Medan. Pendeta ini memahami bahwa untuk mengenal sepenuhnya jemaat yang dilayani tidak saja berkunjung ke rumah-rumah, tetapi juga ke tempat dimana jemaatnya bekerja sehari-harinya. Pada suatu hari ketika pendeta ini mengunjungi jemaatnya di pasar (dimana kebanyakan jemaatnya memang berdagang di sana), jemaat yang dikunjungi tersebut sangat terkejut melihat kedatangan pendetanya. Setelah berbasa basi sebentar, jemaat ini kemudian menyarankan agar sebaiknya segera meninggalkan pasar tempatnya berjualan dengan alasan bahwa di pasar banyak setannya (dalam arti dunia dagang/bisnis bukan tempat pendeta yang kudus, jujur, dan adil). Di pasar dimana dunia bisnis dilaksanakan dipahami sebagai yang kotor, yang sarat dengan ketidak jujuran, dsb.
Benarkah dunia bisnis itu kotor? Apakah yang dikatakan Alkitab mengenai dunia bisnis, apakah ada ayatnya di dalam Alkitab agar orang percaya (kristen) menjauhi dunia bisnis? Atau sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan inilah paling tidak antara lain yang kemudian mengganggu saya. Terlebih hal ini menyangkut lebih 30 % dari anggota jemaat yang saya layani berprofesi pedagang. Mudah-mudahan melalui pendalaman mengenai pokok ini paling tidak berguna bagi saya terlebih dimana selama ini, mengenai pokok ini masih sangat kurang dibicarakan. Bahkan sampai saat ini ada pemahaman di tengah-tengah jemaat bahwa "tabu apa bila seorang pendeta membicarakan terlalu banyak menyangkut soal keuangan demikian juga bisnis". Dianggap bahwa dunia pendeta itu adalah dunia yang menyangkut hal-hal rohani. Sehingga apa bila ada pendeta banyak membicarakan soal ekonomi, soal bisnis, soal keuangan dianggap bahwa pendeta tersebut salah jurusan atau lebih ekstrim lagi dianggap bukan lagi sepenuhnya sebagai seorang pendeta atau hamba Tuhan.
Untuk mendalami persoalan-persoalan tersebut di atas, melalui topik ini akan dibahas (1) Pengertian bisnis (2) Benarkah bisnis itu kotor? (3) Apa penilaian Alkitab mengenai pekerjaan dalam bidang bisnis? (4) Dan bagaimana pula pemahaman reformasi menyangkut pekerjaan/bisnis (5) Prinsip-prinsip kristiani dalam menjalankan bisnis (6) Kesimpulan.
I. Pengertian Bisnis.
Apabila kita telusuri secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk", berarti berbagai macam "aktivitas". Tetapi pada abad ke-18, artinya diperluas sebagai "segala usaha dagang seseorang". Selain itu secara umum kata ini bisa berarti "rangkaian aktivitas yang bersifat komersial". Pada umumnya orang-orang mengembangkan bisnis karena mereka ingin berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi.Dengan beberapa pengecualian seperti badan-badan koperasi, organisasi nonprofit dan beberapa lembaga pemerintahan, bisnis ada untuk menghasilkan laba atau keuntungan. Dengan kata lain, salah satu tujuan pemilik badan-badan usaha bisnis adalah untuk mencari untung atau laba sebagai imbalan finansial dari waktu, usaha dan kapital/modal mereka.
Bisnis dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara. Jasa bisnis memberikan produk yang intangible dan pada umumnya mempunyai perbedaan, walaupun kecil, dan persyaratan kapital/modal dibandingkan dengan manufaktur. Distributor mempunyai kebutuhan kontrol persediaan yang berbeda dibandingkan dengan retailer/eceran atau manufaktur. Sebagian besar jurisdiksi hukum menyatakan bentuk bisnis yang berlaku, dan suatu bentuk hukum komersial telah berkembang untuk setiap jenisnya. Beberapa bentuk yang umum termasuk kemitraan, korporasi (juga disebut perusahaan terbatas), dan kepemilikan sendiri.
Sedangkan industri bisa terdiri dari sebuah kelompok bisnis yang bersangkut-paut seperti bisnis perbankan atau industri otomotif. Definisi ini mirip dengan salah satu definisi "bisnis" dan oleh karena itu kata "bisnis" dan "industri" seringkali digabungkan satu sama lain atau dipakai sebagai sinonim satu sama lain. Sehingga seorang nelayan bisa menyatakan bahwa ia bekerja dalam bidang "bisnis perikanan" atau sedikit lebih hebat lagi: "industri perikanan". Selain itu kata "perdagangan" bisa juga dipakai sebagai sinonim baik dari kata bisnis ataupun "industri" atau usaha[1].
II. Benarkah Bisnis itu Kotor?
Sebagaimana sudah disebutkan diawal tulisan ini bahwa umumnya jemaat memandang pofesi "berdagang atau bisnis" merupakan suatu pekerjaan "kotor" bila dibandingkan dengan profesi seperti Pendeta, Dokter, Guru, Petani, dsb. Hal ini didasarkan kenyataan dilapangan bahwa dunia bisnis sukar menerapkan kejujuran, keadilan dan bahkan terkadang tidak ada belas kasihan. Dengan melegitimasi prinsip bisnis "dengan modal sekecil-kecilnya mendapat untung sebesar-besarnya", terkadang menghalalkan semua cara agar tetap bertahan dan sukses atau berhasil. Dalam bukunya Etika Dunia Bisnis, Robby I.Chandra mengemukakan ada kesenjangan anatara moral atau budaya dengan kenyatan di lapangan dalam dunia bisnis.[2] Dengan kata lain standar moral atau standar budaya terpisah sangat jauh sehingga para profesional, karyawan, manajer dan buruh sering berhadapan dengan berbagai dilema etis.
Pernah dilakukan penelitian untuk mengetahui persepsi orang mengenai kejujuran dari pelaku profesi-profesi tertentu, ternyata profesi bisnis mendapat persentasi terendah memiliki prilaku dan sikap etis.[3]
  • Rohaniawan 67%
  • Apoteker 65%
  • Dokter 58%
  • Dokter Gigi 56%
  • Dosen 54%
  • Insinyur 53%
  • Polisi 47%
  • Bankir 37%
  • Reporter 33%
  • Wartawan 31%
  • Ahli Hukum 27%
  • Eksekutif Bisnis 23%
Mengapa muncul persepsi negatif terhadap profesi bisnis? Kalau hal ini ditanyakan kepada mereka (profesi bisnis), pastilah berbagai jawaban akan muncul. Namun sebagian besar menganggap bahwa etika tidak relevan untuk dunia bisnis. Ada pula yang menganggap etika merupakan pembahasan abstrak dan doktrinir. Menurut mereka, tekanan dunia bisnis tidak banyak memberi peluang untuk memilih hal-hal yang ideal atau etis. Dengan kata lain mereka menganggap bahwa siapa yang menceburkan diri ke dunia bisnis sudah mestinya siap dan handal untuk bermain secara kotor. Berdasarkan pendapat-pendapat yang tampaknya masuk akal ini, berarti hanya ada dua pilihan bagi pemeran bisnis. Menjalankan bisnis yang etis tetapi cepat gulung tikar atau berbisnis dengan bijaksana, yang artinya seringkali mengaburkan prinsif yang teguh dengan tekanan situasi yang penuh kontradiksi dan ambivalensi.
Apakah pendapat-pendapat ini sudah merupakan harga mati dalam dunia bisnis? Bahwa dunia bisnis adalah kotor, dalam arti identik dengan dunia hitam atau paling tidak dunia abu-abu! Saya pikir bisa ya, bisa tidak, tergantung bagaimana pelaku bisnis mendasarkan bisnis yang dilakukannya, dalam arti bagaimana iman seseorang menjadi dasar di dalam mengambil suatu keputusan atau tindakan di dalam melakukan bisnis. Paling tidak menurut Chandra, ada sesuatu yang tidak tersangkal, yakni kini semakin banyak orang memeperhatikan masalah etika bisnis.[4]
III. Apa penilaian Alkitab mengenai pekerjaan dalam bidang bisnis?
Yang perlu dicatat bahwa di dalam Alkitab secara berkesinambungan penjelasan demi penjelasan dibentangkan mengenai kehidupan bisnis.[5] Misalnaya di dalam Kejadian 8:22 Tuhan menunjukkan perhatiannya dalam usaha pertanian. Bahkan Kitab Torat menempatkan semua kegiatan ekonomi (bisnis) dalam kerangka hubungan perjanjian (covenant) umat Israel dengan Allah.[6]
Tuhan juga memberi ketetapan/pedoman dalam bisnis real estate (tanah dan rumah). Beberapa ayat dalam Perjanjian Lama merupakan perintah Tuhan secara garis besar mengenai cara mengadakan transaksi dalam bisnis real estate (imamat 25:10-25; Ulangan 19:14; 27: 17). Selanjutnya Tuhan juga menaruh minat dalam perkembangan sistem kredit dan perbankan (Keluaran 22:25); dalam urusan ukur mengukur dan timbang-menimbang (imamat 19:35-36); dalam perkembangan sistem peradilan (Keluaran 23:1-9); dan dalam program kesejahteraan sosial untuk menunjang orang-orang miskin (Imamat 19:9-10; Ulangan 24:17-22). Demikian juga Tuhan menghendaki agar para majikan membayar semua karyawannya dengan upah atau imbalan yang layak dan tepat (Ulangan 24:15; Yeremia 22:13; Yakobus 5:4).
Juga hampir seperempat Perumpamaan Tuhan Yesus berhubungan dengan keadaan-keadaan bisnis.[7] Hal ini boleh jadi karena hidup Yesus sendiri lebih banyak dihabiskan dalam dunia bisnis. Ia bekerja dengan ayahnya yang disebut sebagi tukang kayu atau "tukang batu".[8] Dalam bisnis keluarga ini, yang sekarang dapat disebut sebagai industri konstruksi, Yesus bekerja selama kurang lebih 18 tahun. Dan itu berarti lebih banyak hidup Yesus melakukan pekerjaan bisnis dari pada pelayanan yang hanya kurang lebih 3,5 tahun. Demikian juga rasul Paulus dapat dikatakan sebagai orang yang bekerja dalam dunia bisnis. Di dalam Kisah Para Rasul 18:1-4 disebutkan bahwa Paulus adalah tukang kemah. Melalui profesinya ini ia membiayai sendiri perjalanan pelayanannya.[9]
Namun yang perlu dijelaskan adalah menyangkut pernyataan-pernyataan Yesus yang demikian keras mengenai orang kaya atau mengenai uang. Kalau kita menelusuri kecaman-kecaman yang di dikemukakan di dalam Alkitab mengenai hal ini tidak lain karena kekayaan atau uang sering kali menjadi sumber atau penyebab manusia semakin jauh dari Allah. Sebagaimana di dalam 1 Timotius 6:10, Paulus menyimpulkan bahwa akar dari semua kejahatan adalah cinta akan uang. Dalam hal ini perlu diperjelas bahwa yang dimaksud dalam ayat ini bukan "uang"-nya, tetapi "cinta-nya". Allah sama sekali tidak menentang adanya kekayaan. Bahkan Allah mengaruniakan umatNya kuasa untuk memperoleh kekayaan (Ulangan 8:18). Namun ia sangat menentang orang yang mencintai uang lebih dari pada mengasihiNya.
Masih ada banyak lagi ayat dalam Alkitab yang mengingatkan akan bahaya kekayaan atau uang. Namun sesuai dengan pokok bahasan pada bagian ini, kita dapat menyimpulkan sebenarnya bukan menyangkut pekerjaan bisnis tersebut yang disoroti Yesus secara negatif, melainkan cara menjalankan bisnis serta maksud dan tujuan utama dari bisnis tersebut (dalam hal ini sikap memandang uang). Dalam hal ini kita dapat melihat kepada dua contoh. Yang pertama Zakeus yang menjalankan bisnis sebagai pemungut cukai dalam Lukas 19. Ia dicap sebagai orang berdosa karena dalam menjalankan bisnis atau pekerjaannya ia sering melakukan pemerasan (Lukas 19:8). Namun Yesus tidak alergi terhadap Zakeus bahkan Ia merindukan menumpang di rumah Zakeus. Sebab Yesus tahu bahwa pekerjanNya adalah mencari orang yang berdosa serta memimpinya kearah jalan yang benar (dalam hal ini bisnis yang benar). Dalam kisah ini Yesus berhasil mengarahkan Zakeus untuk merubah caranya berbisnis.
Yang kedua mengenai perumpamaan orang kaya yang bodoh di dalam Lukas 12:16-21. Dalam perumpamaan ini mula-mula disebutkan seorang usahawan (pebisnis) yang telah sukses. Tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. Ia benar-benar berhasil dalam usahanya. Ia memperoleh imbalan yang sangat baik atas segala jerih payah dan penambahan modalnya. Usahanya sedemikian majunya sehingga tidak cukup tempat lagi untuk menampung hasil tanahnya. Menyikapi hal tersebut dengan kecerdikannya ia memutuskan untuk memperbanyak lumbung-lumbungnya agar dapat mengimbangi perkembangan usaha pertaniannya itu. Sampai di sini pengusaha kaya tersebut belum melakukan suatu kesalahan sebab Tuhan tidak mengecam usaha yang sehat dan berkembang. Namun kesalahan orang kaya tersebut tampak ketika ia berkata kepada dirinya: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! Disinilah letak masalahnya. Orang kaya ini memandang hartanya dan memutuskan bahwa dirinya telah terjamin. Dengan hartanya ia dapat memenuhi semua kebutuhannya selama bertahun-tahun. Ia percaya kepada hartanya untuk memenuhi keperluannya. Disini haratanya menjadi hal utama, menjadi hal segala-galanya. Pereaya kepada Tuhan yang adalah jaminan kehidupan yang sesungguhnya digantikan percaya kepada hartanya untuk menjamin segala sesuatu yang dibutuhkan dan masa depannya. Orang kaya atau pebisnis ini disebut bodoh karena melupakan bahwa hanya Tuhan yang dapat menjamin masa depan dan bahkan yang menentukan hidup mati setiap orang. Akhirnya dalam ayat 21 orang kaya ini juga disebut Yesus telah menjadi bodoh karena bersikap serakah atau mementingkan diri sendiri dengan kekayaannya. la berusaha menyimpan harta bagi dirinya dan bukannya menghimpun "kekayaan bagi Allah".
VI. Makna Pekerjaan dalam pandangan Reformasi
Sebelum reformasi sangat dibedakan dengan tajam kelompok yang bekerja di gereja baik yang berjabatan (seperti: Paus, uskup, sampai dengan imam jemaat) mapun yang tidak berjabatan (seperti: biarawan dan biarawati) dianggap sebagai golongan masyarakat yang khusus (bandingkan, TNI pada zaman Suharto). Mereka disebut kaum rohaniawan yang dianggap bahwa mereka hidup lebih dekat dengan surga dan cara hidup mereka dianggap lebih berkenan kepada Allah dibandingkan dengan semua kaum awam. Kaum awam (apakah yang mempunyai jabatan seperti raja-raja atau pun tidak) dianggap berada jauh dari Allah.[10] Berdasarkan pandangan ini, pekerjaan di gereja dianggap sebagai pekerjaan yang baik yang berkenan kepada Allah dan sebaliknya pekerjaan diluar gereja tidak baik atau kurang baik. Pada zaman reformasi pandangan ini ditolak dengan keras. Para reformator menolak perbedaan kaum rohaniawan dengan kaum awam. Sama dengan Martin Luther, Yohanes Calvin juga menekankan bahwa setiap orang percaya adalah sebagai anggota imamat am yang terpanggil untuk melayani Allah di tengah-tengah masyarakat dimana mereka berada dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian pemahaman bahwa pekerjaan duniawi merupakan sesuatu yang kurang baik bagi orang kristen ditiadakan. Bahkan lebih tegas dikemukakan setiap kaum awam juga dipanggil Allah atas tugas mereka ditengah-tengah masyarakat yang patut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam ketaatan yang sunguh-sungguh kepada Allah. Dengan kata lain para reformator mau menjelaskan bahwa pekerjaan yang paling hinapun menjadi sesuatu yang terhormat dan berharga di depan Allah bila itu dilakukan dalam ketaatan kepadaNya.
Pemahaman demikian menciptakan perubahan sikap orang percaya terhadap pekerjaan di dunia. Pada abad Pertengahan kehidupan di dunia ini dipahami sebagai hal yang negatif. Sehingga ada upaya untuk melarikan diri dari dunia (umpamanya ke biara), dan berusaha untuk melepaskan semua hal yang berhubungan dengan dunia, terutama kekayaan dan uang. Hal ini tidak aneh, sebab di dalam Alkitab ada banyak ayat yang mendukung sikap ini ("segala sesuatu ada ayatnya"). Misalnya antara lain di dalam 1 Timotius 6:10, dimana rasul Paulus sangat tegas mengemukakan bahwa akar segala kejahatan ialah cinta uang. Akan tetapi benarkah ketika Paulus mengemukakan hal ini, ia mau menganjurkan agar orang kristen menjauhi dunia, terlebih kekayaan dan uang? Tentunya tidak. Paulus juga perlu uang untuk kebutuhan hidup dan pelayanannya sehingga ia berusaha dengan bekerja keras untuk memperoleh uang dari pekerjaannya sebagai pembuat tenda. Jadi uangkapan tersebut sebenarnya mau mengingatkan bahwa tujuan hidup bukan kekayaan atau uang sehingga orang-orang menggantungkan semuanya atasnya. Uang dan kekayaan harus dipahami hanyalah sebagai alat untuk semakin produktif dalam melakukan kehidupan yang lebih bermakna bagi kemuliaan Allah.
Jadi pada zaman reformasi dunia dipahami tidak diciptakan Allah agar orang percaya melarikan diri darinya, melainkan sebagai tempat melaksanakan tugas panggilan. Bekerja untuk mencari nafkah bukan najis, melainkan berkenan kepada Allah. Orang yang dengan sengaja menjadi miskin karena tidak bekerja dilihat sebagai orang yang tidak mengindahkan panggilan Allah dan orang tersebut tidak harus diberi sedekah (bd 2 Timotius 3:10), melainkan diajak untuk bekerja.
Perubahan pandangan ini tidak terlepas dari pemahaman sang-reformator yang berpendapat bahwa orang berdosa memperoleh keselainatan bukan setelah semua dosa ditinggalkan, melainkan sebelumnya.[11] Pembenaran orang berdosa justru memungkinkannya menentang dosa. Demikian juga keselamatan tidak lagi dipahami sebagai upah melalui perbuatan-perbuatan baik, melainkan sebagai anugrah dari Allah. Namun tidak berarti berbuat baik tidak lagi penting. Perbutan baik harus dilakukan sebagai pembuktian bahwa kita telah memperoleh anugrah dari Allah, anugrah pengampunan dosa. Dengan kata lain, seseorang diselamatkan bukan karena secara kwantitas ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik, tetapi perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan orang percaya hanyalah sebagai buah atau bukti akan anugrah keselamatan yang telah ia terima di dalam percaya kepada Yesus Kristus. Dalam hal ini, Calvin lewat doktrin "predestinasinya" menyebabkan pengikutnya berjuang dan bahkan berusaha menampakkan kesalehan melalui perbuatan-perbuatan baik sebagai pembuktian bahwa dirinya sudah dipredestinasikan.[12]
Dengan demikian dalam pandangan reformasi oleh karena dunia ini bukan tempat yang harus dijauhi melainkan sebagai tempat untuk menjalankan panggilan Allah, maka pekerjaan untuk mencari nafkah tidak ada yang najis atau dengan kata lain tidak ada suatu klasifikasi bahwa suatu pekerjaan lebih baik, lebih mulia dibanding pekerjaan yang lain asalkan pekerjaan itu dilakukan dengan sebaik-baiknya demi dan untuk kemuliaan Allah. Jadi pekerjaan yang dilakukan harus dipahami sebagai suatu kesempatan untuk berbakti kepada Allah. Dalam hal ini kesalehan disekularisasikan dan kehidupan sekuler pada semua bidang (pekerjaan, pergaulan masyarakat, pemerintah) dirohanikan, sebab kesalehan dapat dibuktikan rnelalui kegiatan-kegiatan duniawi, sedangkan pekerjaan biasa dapat diberikan makna rohani. Misalnya di bidang perdagangan/bisnis. Pada abad pertengahan bidang ini karena berkaitan dengan uang dan kekayaan dianggap sebagai pekerjaan yang berbahaya bagi keselamatan. Sehingga orang yang menekuni bidang ini menjadi tidak tenang. Namun pada zaman reformasi pandangan ini ditiadakan. Orang percaya ditantang untuk membuktikan bahwa pekerjaan berdagangpun dapat dilakukan dalam ketaatan kepada Allah, yaitu dengan jujur dan demi sesama manusia yang membutuhkan produk^produk yang diperdagangkan. Tantangan ini harusnya dijalani dalam keyakinan bahwa Allah yang membenarkan orang berdosa, telah melahirkannya kembali dan memampukannya untuk mengasilkan buah-buah iman.
Dalam hal ini, Calvin bahkan lebih jauh melangkah menyangkut hal membungakan uang, yang tentunya hal ini sangat erat hubungannya dengan dunia bisnis. Bagi Calvin membungakan uang dibenarkan kalau hal tersebut dilakukan kepada seseorang yang memerlukan kredit untuk memperluas usahanya atau perusahaannya, tetapi dengan catatan bahwa orang tersebut bukan orang yang berkekurangan, melainkan orang yang meminta jasa orang lain demi dirinya sendiri.[13] Dengan kata lain diperbolehkan pemberian kredit dengan bunga yang wajar, tetapi dilarang dengan keras meminjamkan uang kepada orang-orang miskin dengan meminta bunga.
VII. Prinsip-Prinsip Kristiani dalam menjalankan Bisnis
Apakah prinsip-prinsip kristiani yang dimaksud? Prinsip Kristiani yang dimaksud mengacu kepada dua hal ini: Mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia yang merupakan hukum kasih.[14] Kedua Hukum ini dalam penerapannya tidak boleh berjalan sendiri-sendiri.[15] Mengasihi Allah harus nampak dalam usaha mengasihi sesama manusia, demikian juga mengasihi sesama manusia harus serentak dalam rangka mengasihi Allah. Kecaman yang dikemukakan Yohanes dalam suratnya 1 Yahones 4:20 sehubungan dengan hal ini. Ada sebagian jemaat yang sungguh-sungguh sangat beribadah kepada Allah (mengasihi Allah) namun dalam kehidupannya sehari-hari ia membenci saudaranya. Menurut Yohanes orang demikian sama dengan pendusta. Dengan penjelasan ini menolak adanya kehidupan ganda bagi orang kristen. Di gereja ia seorang yang saleh, jujur, adil, rendah hati, namun ditempat bekerja melakukan semua cara untuk tetap eksis.
Ketika dipahami pekerjaan atau bisnis yang dilakukan semuanya dalam rangka memuliakan Allah, maka semua keputusan dan cara untuk mencapai tujuan melaiui suatu pekerjaan atau bisnis dilakukan dengan prinsip mengasihi Allah dan sesama manusia.
Allah yang bagaimana? Dalam hal ini saya sependapat dengan Hill yang mengungkapkan bahwa dasar dari etika kristen dalam bisnis bukanlah peraturan-peraturan, melainkan berdasarkan karakter Allah yang tidak berubah. Karakter Allah yang dimaksud mengacu kepada sifat Allah: Kekudusan, Keadilan dan Kasih.[16] Berdasarkan hal ini, cukup mengatakan bahwa suatu pekerjaan atau bisnis yang dilakukan itu berdasarkan prinsip-prinsip kristiani apa bila hal tersebut mencerminkan sifat Allah yang penuh kekudusan, keadilan dan kasih. Ketiga sifat Allah ini begitu terkait erat sehingga senantiasa menggambarkan Allah sebagai pribadi yang penuh kasih, adil dan kudus atau adil, kasih dan kudus. Dalam penerapannya ketiga sifat Allah ini juga tidak boleh ada yang lebih diutamakan atau di sepelekan. Bila itu terjadi menurut Hill, ibarat kursi yang hanya punya tiga kaki, bila satu dari kakinya lebih rendah maka kursi tersebut tidak akan dapat berdiri dengan baik. Keterpaduan ketiga sifat ini sangat penting di dalam mengambil keputusan atau tindakan yang akan dilakukan, sebab apabila kekudusan dilepaskan dari keadilan dan kasih, akan mudah terjerumus ke pada legalisme yang hiperkritikal, demikian pula dengan keadilan yang telah kehilangan jangkarnya dalam kekudusan dan kasih akan memberikan akibat yang kejam atau keras, dan demikian juga kasih bila hanya berdiri sendiri akan kehilangan kompas moral yang memadai.
Memang kalau kita mendasarkan pada pandangan Paulus dalam 1 Korintus 13:13, kasihlah yang paling besar. Martin Luther juga beranggapan bahwa inti karakter Allah adalah kasih. Dan hal itulah yang juga dikemukakan Yesus di dalam Matius 22:37-39 yang telah di kutip sebelumnya. Namun perlu di ingat bahwa definisi kasih menurut Allah mencakup kekudusan sehingga menuntut menjadikan Allah prioritas tertinggi dan keadilan yang menuntut kepentingan orang lain dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Jadi penerapan prinsif kristiani berdasarkan karakter Allah berarti adanya kemurnian (kekudusan), keadilan pada hak-hak, dan kasih pada hubungan antar sesama dalam setiap pekerjaan atau bisnis yang dilakukan.
VIII. Kesimpulan
Jadi menyangkut kasus di atas dapat dikatakan bahwa tidak benar pekerjaan berdagang itu diklaim sebagai pekerjaan yang kurang bersih atau pekerjaan kotor, dan kemudian mencap bahwa setiap orang yang begelut dengan pekerjaan tersebut adalah orang-orang yang berdosa yang kesudahannya akan masuk neraka. Masalahnya adalah kembali kepada orangnya. Dalam hal ini sangat erat hubungannya dengan iman seseorang. Tidak benar bahwa di dalam dunia dagang tidak bisa jujur, adil terhadap sesama manusia. Itulah sebabnya pada zaman reformasi ada seruan tantangan bagi orang percaya yang berpropesi sebagai pedagang atau pebisnis untuk membuktikan bahwa mitos tersebut tidak benar, bahwa orang yang berdagang pun sama besarnya kesempatan untuk menampakakan buah-buah iman dengan profesi yang lainnya.
Namun harus juga kita katakan bahwa pekerjaan berdagang sangat besar godaannya dibandingkan misalnya propesi sebagai petani. Mengapa? Sebab prinsif ekonomi "dengan modal sekecil-kecilnya mendapat keuntungan sebesar-besarnya" selalu menjadi semangat yang kadang terlalu besar sehingga menghalalkan semua cara. Sebagaimana juga dikemukakan Myron Rush dalam bukunya "Tuhan Penguasa Dunia Perniagaan" bahwa tujuan bisnis adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.[17] Saya pikir inilah pokok persoalannya pada kasus yang pertama dari pendahuluan paper ini. Ingin banyak untung. Dan untuk pembenaran, dibuatlah berbagai argumen yang masuk akal agar perbuatan yang tidak benar tersebut (yang sebenarnya mendatangkan luka dalam bathin) menjadi penghibur, menjadi obat (walaupun dia tahu bahwa itu bukanlah penghibur atau obat yang sebenarnya).
Bagi saya sendiri yang tidak bergelut dalam bidang ini mungkin dengan gampang saya mengatakan, ah tidak benar itu, pekerjaan apapun godaan-godaan pasti ada. Tetapi tidak demikian yang dialami mereka yang langsung terjun di dalam dunia bisnis. Dalam banyak hal memang benar bahwa mereka (yang bekerja dalam dunia bisnis) berhadapan dengan berbagai hal yang sangat dilematis. Sebagaimana yang disaksikan oleh Myron Rus tentang temannya yang bernama Don Skinnner yang mengatakan: "kadang kala saya merasa terjebak antara ajaran Alkitab dengan tindakan yang perlu saya lakukan agar berhasil dalam usahaku".[18] Rasul Paulus yang adalah seorang usahawan (pembuat tenda) juga mengungkapkan hal yang senada di dalam Roma 7:15-24.
Namun sebesar apapun godaan-godaan yang dijumpai, bila profesi dibidang bisnis sudah dipilih menjadi lapangan pekerjaan kita, itulah panggilan yang harus dilaksanakan sebaik mungkin. Setiap orang percaya dengan profesi apapun seharusnya selalu mengingat akan anugrah mahal yang sudah diterima, yakni bahwa dirinya sudah ditebus dengan harga yang sangat mahal, yakni dengan kematian Yesus Kristus di kayu salib. Dalam hal ini Paulus telah mengingatkan jemaat di Roma dengan mengatakan "saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati" (Roma 12:1). Melalui ungkapan ini Paulus mau mengingatkan setiap orang kristen (orang percaya) bahwa bukan hanya jiwa tetapi juga tubuh atau dengan kata lain totalitas hidup ini adalah milik Allah. Sebagai milik Allah seharusnyalah semua yang dipikirkan, semua yang dilakukan dan dikerjakan diperuntukkan bagi dan untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu "ambillah tubuhmu; kerjakanlah semua tugas-tugas yang harus kamu kerjakan setiap hari; kerjakanalah pekerjaan-pekerjaan (bisnismu) di toko, di pabrik, di pelabuhan, di tambang, dimana saja dan persembahkanlah semua itu bagi korban yang hidup bagi Allah, itulah ibadahmu.
Disamping itu, hal lain yang juga perlu dipahami bahwa prinsip-prinsip kristiani yang dilakukan secara benar dalam dunia bisnis bukanlah sebagaimana yang selalu ditakutkan orang (mitos) bahwa usaha atau bisnis tersebut akan bangkrut atau gulung tikar tetapi sebaliknya akan sukses. Paling tidak itulah yang disaksikan oleh Myron Rus dan Peter Tsukahira yang adalah juga usahawan kristen yang sukses. Memang dalam hal ini dituntut keberanian sebagaimana istilah Myron menjadikan Allah sebagai "admitra"[19] atas usaha yang kita jalankan.
By.Pdt.S.Brahmana
Kepustakaan
1. Chandra, 1 Robby, Etika Dunia Bisnis. Yogyakarta: Kanasius, 1995.
2. Rush, Miron, Tuhan Penguasa dunia perniagaan. Jakarta: YPJ Imanauel, 1995.
3. Setio, Robert (Penyunting), Teologi Ekonomi. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2002
4. Hill, Alexander, Bisnisyang benar. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2001.
5. Tsukahira, Peter, My Father,s Business. Jakarta:Metanoia, 2005.
6. de Jonge, Christiaan, apa itu Calvinisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
----------------------------------------
[1] Bandingkan di http://id.wikipedia.org/wiki/Bisnis, di sini banyak dijelaskan lagi tentang bisnis secara lengkap.
[2] 2 Robby I.Chandra, Etika Dunia Bisnis (Yogyakarta: Kanasius, 1995), hal. 15
[3] Ibid, hal. 16
[4] Sekolah-sekolah manajemen dan bisnis sudah memasukkan etika bisnis ke dalam kurikulum mereka terutama di U.S.A. Warta alumni Wharton, sekolah bisnis yang terkenal, mencatat bahwa di Amerika semakin banyak perusahaan yang memiliki manajer yang bertugas mengawasi etika perilaku. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan besar seperti Merck bahkan menggariskan perilaku etis yang haras dipatuhi karyawan, terutama armada penjualaannya. Kemudian, pelbagai buku tentang etika bisnis dilahirkan setiap tahun, terutama di Eropah (Robby 1.Chandra, Etika Dunia Bisnis. Yagyakarta: Kanasius, 1995, hal. 17). Ini semua menunjukkan indikasi timbulnya suatu kesadaran bahwa dunia bisnis juga sesungguhnya menuntut diberlakukannya etika, moral.
[5] Myron Rush, Tuhan Penguasa dunia perniagaan (Jakarta: YPI Imanauel, 1995), hal. 19
[6] Robert Setio, Ph.D (Penyunting), Teologi Ekonomi (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2002), hal. 39
[7] Alexander Hill, Bisnis yang benar (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2001), hal. 34
[8] Menurut studi terakhir menyebutkan bahwa lebih besar kemungkinan bahwa Yusuf bekerja sebagai tukang batu dari pada tukang kayu (Peter Tsukahira, My Father,s Business. Jakarta:Metanoia, 2005, hal. 20).
[9] Kisah Para Rasul 20:34
[10] Christiaan de Jonge, apa itu Calvinisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 317
[11] Ibid, hal. 321
[12] Ibid, hal. 331
[13] Ibid, hal.328
[14] Matius 22:37-39
[15] 1 Yohanes 4:21
[16] Alexander Hill, ibid, hal. 14
[17] Myron Rush, ibid, hal.44
[18] Ibid, hal. 13-14,20
[19] Pemimpin utama/sebagai pemegang saham utama dalam suatu perusahaan (Myron Rush, Tuhan Penguasa Dunia Perniagaan. Jakarta: Metanoia, 2005, hal. 60).


Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment