Friday 13 January 2012

Khotbah Markus 7:1-9, Pekan Penatalayanen Wari VI (Jumat, 27 Januari 2012)

Introitus :
JawabNya kepada mereka : “ benarlah nubuatan Yesaya tentang kamu, hai orang Orang munafik ! sebab ada tertulis : Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, Padahal hatinya jauh daripadaku. ( Markus 7:6 )
Bacaan : Yohanes 2 : 1-10; Khotbah : Markus 7 : 1-9
Tema : Solidaritas dalam budaya/budaya karo
Pendahuluan
Bagi kita di Indonesia, Kata adat berasal dari bahasa Arab “ ada “ yaitu sesuatu yang dilakukan berulang-ulang dan karena itu telah menjadi kebiasaan yang sudah lama berlaku dalam masyarakat, dan yang asal-usulnya tidak diketahui betul. Pada pihak lain Adat adalah perwujudan dan kebudayaan dalam bentuk-bentuk hukum yang menata kehidupan masyarakat. Bagi suku karo sendiri, adat bukan berasal dari apa yang dibiasakan tetapi berasal dari petunjuk nenek moyang dari zaman purbakala. Dengan demikian orang karo menganggap adat itu sacral dan mengandung ketentuan hukum yang mengatur kehidupan seperti : system kekerabatan ( Laki-laki bermarga perempuan berberu : Karo-karo, Ginting, Tarigan, Perangin-angin, Sembiring )

Pendalaman Nats
Ayat 1- 2, bagi orang Israel adat berarti peraturan-peraturan tambahan yang ditambahkan kepada hukum-hukum yang tertulis dalam Perjanjian Lama. Orang Yahudi berpendapat bahwa peraturan-peraturan itu sudah diajar oleh Ezra ( Kira-kira 450 sM ) bahkan ada yang beranggapan bahwa pertaturan-peraturan tambahan itu sudah diajarkan oleh Musa.Tetapi sebenarnya kebanyakan peraturan-peraturan itu adalah ciptaan ahli-ahli taurat. Peraturan – peraturan itu permulaan tidak tertulis melainkan merupakan suatu tradisi lisan (baru dibukukan pada tahun 180-500 M dalam Misyna dan Talmud). Orang Yahudi semakin menganggap peraturan-peraturan tambahan itu sebagai sama sucinya dan sama kuatnya dengan hukum-hukum yang tertulis dalam Perjanjian Lama. Menurut peraturan-peraturan tambahan itu, orang Yahudi harus membasuh tangan sebekum makan, sebab selalu ada kemungkinan bahwa mereka telah menjamah barang-barang yang menurut peraturan Yahudi dianggap “najis”. Hal itu mengakibatkan tangannya telah menjadi “najis” dan “ kenajisan “ itu dijauhkan dengan jalan membasuh tangan ( Catatan : Jadi peraturan ahli-ahli taurat tidak mempunyai hubungan dengan manfaat kesehatan, yakni manfaat yang ada dalam membasuh tangan sebelum makan )

Ayat 3-4, Memang benar bahwa Taurat Musa menuntut beberapa hal yang istimewa, tetapi lama kelamaan sifat imamatnya dibengkokkan dan telah ditambah oleh orang-orang itu. Ada nabi-nabi yang menganggap pelanggaran adat itu sama dengan pembunuhan atau zinah. Bagi orang-orang Farisi adat istiadat orang tua-tua lebih penting dan lebih berkuasa daripada Firman Allah. Mereka juga memberi keterangan yang teliti tentang bagaimana pembasuhan tangan harus dilakukan. Tangan harus dicuci dulu, sesudah itu, sebelum makan tangan itu harus diangkat supaya airnya mengalir kebawah. Dalam ayat 4 tertulis pula “dan kalau pulang dari pasar “. Di pasar mungkin mereka telah dinajiskan karena bersentuhan dengan tangan orang kafir. Misalnya seseorang telah memegang uang yang diterinmanya dari orang kafir atau minum dari mangkuk yang tersentuh orang kafir, ataupun duduk pada tempat bekas seorang kafir, setelah sampai dirumah ia harus mandi supaya kenajisannya hilang dan ia dibersihkan kembali.

Ayat 5-7, Sikap Yesus terhadap adat istiadat Yahudi ini melanggar dengan terang-terangan peraturan itu. Mengapa Yesus bersikap demikian ? Sebab Ia melihat adat istiadat manusia yang dimaksudkan untuk menolong orang dan menerangkan Taurat telah mengaburkan dan melemahkan firman Tuhan. Yesus menjawab orang-orang Farisi itu dengan mengutip dari Yesaya. Yesus menyebut mereka “ orang-orang munafik “ . Kata Yesus “ Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya padahal hatinya jauh dari padaKu”. Didalam ayat 9-13 dengan jelas Tuhan melukiskan bagaimana orang-orang Farisi meniadakan hukum Allah dengan menggantikannya dengan adat istiadat manusia. Ada yang mempunyai ibu bapa yang di dalam kekurangan, yang sebenarnya harus di tolong. Dengan mengatakan bahwa uangnya atau hartanya telah di “korban”kan, yaitu dipisahkan untuk keperluan agama atau untuk maksud-maksud rohani, orang itu dapat terlepas kewajbannya terhadap orang tuanya.Dengan demikian bebaslah ia daripada tanggungannya, dan hal itu sudah sah menurut hukum, padahal sebenarnya ia telah melanggar hukum yang kelima.

Penutup
  1. Pemberian marga atau beru bagi suku lain, misalnya : Lelaki jawa menikah dengan
  2. perempuan beru Karo diberi marga Tarigan menurut saya adalah solidaritas budaya karo yang terbuka terhadap suku lain dan pada sisi lain bukankah itu salah satu implementasi Firman Tuhan bahwa kita semua bersaudara dalam Tuhan ?Dalam budaya Karo system kekerabatan yang ada laki-laki bermarga dan perempuan berberu mempunyai susunan kekerabatan : Sembuyak yang berarti satu perut, atau senina yang berarti satu nenek secara genealogis, Kalimbubu yaitu sipemberi dara, Anak beru yaitu kelompok yang mengambil dara. Dalam hal ini dapat dipakai menjadi alat untuk menyatakan kehendak Tuhan sesuai Firmannya untuk saling mengasihi. Karena dalam masyarakat karo dengan adanya system kekerabatan dan susunan kekerabatan ini pada pelaksanaan adat tidak tetap selalu posisinya sebagai Kalimbubu saja tapi ada kalanya ia juga sebagai anak beru.
  3. Peraturan adat karo pleksibel sehingga banyak pelaksanaan adat tidak menjadi beban misalnya : Pada pesta perkawinan ada klasifikasi : Kerja sintua, sintengah ras singuda. Hal itu dapat disesuaikan sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan. Jangan karena gensi pesta besar dan mewah, mau dipuji tapi akhirnya banyak hutang dan melarat. Adat “pejileken” jangan dibungkus dengan kebohongan (sehubungan dengan luah kalimbubu : lemari, tempat tidur dipajang namun disewa atau utang).
  4. Pada adat kematian kalau ada kekurangan dana dilakukan pengumpulan bantuan dengan istilah i“RIPEI”ken/ i “ras” ken untuk menolong keluarga yang kemalangan.

Pdt Karvintaria br Ginting, STh
GBKP Rg Cijantung


Artikel lain yang terkait:



0 komentar:

Post a Comment