MODEL SOLIDARITAS DALAM SEKTOR, KATEGORIAL WILAYAH PERKOTAAN
Oleh : Pdt.Sabar S.Brahmana,S.Th,MA
Oleh : Pdt.Sabar S.Brahmana,S.Th,MA
Pendahuluan
Saya menyadari bahwa menulis topik ini bukanlah hal mudah, terlebih membicarakan suatu model Solidaritas di tengah-tengah jemaat GBKP secara khusus dibatasi dalam sektor atau Perpulungen Jabu-jabu, Kategorial wilayah perkotaan. Disadari, apapun pertanyaan yang dikemukakan jawabannya sangatlah relatif. Apakah model Solidaritas yang dilakukan selama ini? Apakah model tersebut memenuhi harapan? Siapa yang mengharapkan, gereja sebagai institusi, pengerjanya atau jemaat? Yang pasti Sebagaimana kesimpulan Litbang Moderamen berdasarkan penelitian dengan mengedarkan kuesioner kepada jemaat dengan kategori Urban, Semi Urban Dan Non Urban pada bulan Oktober 2011, bahwa solidaritas Internal GBKP secara umum cukup tinggi. Hal ini tentu sangat menggembirakan, walaupun pertanyaannya kemudian adalah solidaritas yang cukup tinggi ini di motivasi dalam kaitannya sebagai orang Karo (adat/budaya) atau sebagai orang Kristen, atau kedua-duanya? Jawaban pertanyaan ini penting dalam kaitan membicarakan topik ini, sebab berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis selama kurang lebih 8 tahun di jemaat perkotaan kecendrungan solidaritas internal terebut lebih didorong hubungan kekeluargaan sebagai orang Karo berdasarkan adat/budayanya dari pada spiritualitas sebagai orang kristen. Sekali lagi lagi ini pendapat penulis, dan hal ini berdasarkan pengamatan antara lain dalam pemberkatan nikah dan kerja adat yang dilakukan. Kecendungan jemaat lebih memperhatikan mereka yang secara ekonomi lebih berada dan berkedudukan serta memiliki hubungan keluargaan dengannya. Demikian juga dalam kunjungan orang sakit dan penghiburan kedukaan, partisipasi jemaat kadang (“sering”) berbeda baik kuantitas maupun kualitasnya dalam hal kehadiran dan pemberian.
Realita masyarakat perkotaan
Dewasa ini, khususnya diperkotaan begitu banyak persoalan hidup yang dihadapi. Dari masalah kemacetan lalu lintas (khususnya di Jakarta) yang kian hari terus meningkat, masalah pekerjaan yang kian hari terasa semakin berat akibat persaingan dan tuntutan kopetensi khususnya tuntutan melek teknologi yang kian hari terus berkembang dengan cepat, masalah anak-anak sehubungan dengan pendidikan dan juga kekuatiran terkontaminasi penyakit sosial yang kian marak saja seperti minum-minuman keras, berjudi, menyalahgunakan narkoba, seks bebas, dan sebagainya, masalah hubungan suami istri yang sering terancam bubar oleh berbagai-bagai sebab, antara lain masalah perselingkuhan, masalah kesepian akibat kesibukan yang terus menerus diakibatkan tuntutan pekerjaan, dan banyak lagi permasalahan seputar kehidupan masyarakat kota. Dan dalam hubungan dengan jemaat, masih ada jemaat diperkotaan yang belum mempunyai rumah sendiri, mereka tinggal dirumah kontrakan dengan pekerjaan ada sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, membuka warung, berjualan dipasar, yang tentunya sering bergumul karena harus memikirkan sewa kontrakan, belanja sehari-hari, uang sekolah anak; sementara persaingan dalam usaha mereka semakin hari semakin berat, terlebih-lebih bagi mereka yang membuka warung bermunculannya toko-toko serba ada seperti Alfamart, Indomaret, dll. menjadi tantangan tersendiri. Dalam konteks ini, peranan gereja menjadi penting sebagai mana maksud kehadirannya membawa khabar baik, berita keselamatan bahwa Allah telah memberikan hatinya bagi manusia yakni dengan jalan menghampiri manusia sebagai manusia di dalam manusia yang bernama Yesus Kristus. Inilah tindakan solidaritas Allah kepada ciptaanNya, kepada manusia. Jikalau Allah telah bersolider dengan kita, maka dalam konteks manusia perkotaan sebagaimana telah disebutkan maka bentuk solidaritas yang perlu dibangun, terlebih-lebih dimana kecendrungan manusia di era globalisasi ini semakin individualistik, walaupun sesungguhnya sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat tetap eksis tanpa manusia lain, maka tidak ada lebih penting dari pada menemui manusia sekeliling kita, khususnya anggota jemaat yang berada dalam kekuatiran, dalam berbagai-bagai pergumulan.
Model Solidaritas dalam sektor, Kategorial, Sektor Wilayah perkotaan.
Di dalam GBP (Garis Besar Pelayanan) GBKP 2010-2015 disebutkan bahwa jemaat merasa kurang puas terhadap pelayanan yang dilakukan gereja selama ini[1]. Memang berbicara mengenai puas dan tidak puas juga sangat relatif. Namun kesimpulan ini seharusnya membuat gereja dalam hal ini pelayan-pelayan gereja mengevaluasi diri untuk meningkatkan pelayanan, khususnya lebih meningkatkan perhatian dan perkunjungan terhadap jemaat. Memang banyak aspek pelayanan gereja, namun dalam konteks topik kita, hal penting perlu mendapat perhatian antara lain adalah perhatian gereja dalam hal ini pengerja gereja terhadap persoalan yang dihadapi jemaat. Demikian banyak persoalan-persoalan yang dihadapi jemaat dalam menjalani kehidupan ini, baik secara pribadi maupun secara keluarga. Dan janganlah membiarkan mereka merasa berjalan sendiri, sepi sendiri, bergumul sendiri dan menderita sendiri. Mereka membutuhkan perhatian, dorongan, dan teman curhat yang mengerti mereka. Oleh karena itu model Solidaritas yang dapat dilakukan, khususnya dalam sektor, saya melihat model Solidaritas Organik yang dikembangkan Emile Durkheim masih relevan. Inilah Solidaritas Organik, yakni suatu ayaman hidup bermasyarakat dimana hubungan antar individu saling kenal, saling terkait, saling menyapa, serta penuh empati satu dengan yang lain. Untuk dapat memudahkan penerapkan model ini maka database jemaat perlu diadakan, setidak-tidaknya dalam bentuk manual yang dimiliki setiap anggota sektor. Dengan adanya data-data seperti nama orang tua[2], anak-anak dan keluarga yang ditinggal dalam satu rumah, titel dan pekerjaan, tanggal perkawinan, tanggal kelahiran, merga/beru (Fam), bebere (Fam dari ibu), perkempun (Fam dari ibu dari ibu kita), alamat tempat tinggal, tempat bekerja, nomor Telepon, Hand Phone, E-mail, dan sebagainya yang dianggap perlu untuk menerangkan secara lebih lengkap identitas setiap anggota jemaat. Sebab tanpa database yang lengkap Solidaritas Organik tidak akan dapat dilakukan secara optimal dikarenakan situasi kota ditandai dengan masyarakat yang sangat sibuk. Dengan adanya database, setiap anggota jemaat di tingkat sektor, demikian juga kategorial[3] dapat menyatakan solidaritasnya seorang terhadap yang lain dengan: (1) saling memperhatikan melalui alat komunikasi seperti Telpon, Hand Phone, (2) silaturahmi/perkunjungan; (3) Demikian juga mendirikan CU/CUM (credit Union/Credit Union Modifikasi) atau koprasi sangat menolong dalam upaya solidaritas dengan model Organik ini. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana agar Solidaritas yang demikian dapat dilakukan dan menjadi gaya hidup jemaat disetiap sektor atau Perpulungen Jabu-jabu dan juga Kategorial?
Perlu dipahami, walaupun Solidaritas bukan dari istilah Alkitab dan juga bukan istilah yang dipakai teologi Kristen, tetapi kata dasar dan nilai dasar dari gerakan buruh Internasional[4], namun berdasarkan definisi Solidaritas[5] yang adalah sifat (perasaan) solider, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia kawan, sepenanggungan adalah juga nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh Alkitab. Namun harus diberi catataan bahwa istilah ini tidak dipahami dalam kontek Solidaritas Buruh Internasional yang lebih memberi tekaan pada pemposisian “kita” melawan “mereka”, tetapi dalam pengertian definisi global (universaal)[6]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keselamatan yang diprakarsai Allah melalui Yesus Kristus adalah bentuk solidaritas Allah terhadap ciptaannya, terhadap setiap manusia. Oleh karena itu kita melakukan solidaritas karena solidaritas “Abadi”, yakni Alah di dalam Yesus Kristus memanggil kita untuk bersolider dengan sesama kita. Jika kita tidak bersikap solider terhadap orang-orang yang ditindas, diinjak, dan lapar di dekat kita dan kita sendiri turut menginjak serta menindas maka kita tidak solider dengan Allah yang solider dengan orang-orang ini, bahkan kita sendiri hidup dari solidaritasNya. ...”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (Matius 25:45). Percaya berarti solider dengan mereka yang kepadanya Allah solider[7]; menjadi seorang suruhan atas dasar solidaritas Allah terhadap orang lain selama ia belum solider dengan kita. Disamping itu berolidaritas menjadi penting karena sebagaimana Yesus pernah katakan “roh memang penurut tetapi daging lemah”[8]. Dalam konteks ini disamping sebagaimana Yesus menganjurkan agar berjaga-jaga, solidaritas orang kristen adalah untuk saling menopang dan saling menguatkan. Dalam kehidupan iman kristen sesungguhnya egoisme juga tidak mempunyai tempat. Dan hal ini telah disaksikan orang kristen mula-mula yang disaksikan Lukas dalam Kisah Para Rasul pasal 4, dimana satu dengan yang lain saling mengasihi, saling menopang dan menguatkan, serta saling berbagi harta yang mereka miliki sehingga tidak ada seorang pun yang berkekurangan diantara mereka. Dengan kehidupan yang demikian paling tidak sangat berguna bagi (1) kesiapan mereka menantikan kedatangan Yesus kedua kali dimana dipahami pada waktu itu segera akan datang, yakni tetap bersekutu, membaca Firman Tuhan, saling mengasihi dan berbagi, saling menguatkan baik melalui nasehat dan juga melalui perbuatan yang dilakukan dengan memberikan kelebihan mereka kepada mereka yang kekuarangan; (2) demikian juga menjadi model kesaksian yang besar pengaruhnya bagi masyarakat sekitar mereka sehingga setiap hari Allah menambahkan jumlah mereka[9].
Saya menyadari bahwa menulis topik ini bukanlah hal mudah, terlebih membicarakan suatu model Solidaritas di tengah-tengah jemaat GBKP secara khusus dibatasi dalam sektor atau Perpulungen Jabu-jabu, Kategorial wilayah perkotaan. Disadari, apapun pertanyaan yang dikemukakan jawabannya sangatlah relatif. Apakah model Solidaritas yang dilakukan selama ini? Apakah model tersebut memenuhi harapan? Siapa yang mengharapkan, gereja sebagai institusi, pengerjanya atau jemaat? Yang pasti Sebagaimana kesimpulan Litbang Moderamen berdasarkan penelitian dengan mengedarkan kuesioner kepada jemaat dengan kategori Urban, Semi Urban Dan Non Urban pada bulan Oktober 2011, bahwa solidaritas Internal GBKP secara umum cukup tinggi. Hal ini tentu sangat menggembirakan, walaupun pertanyaannya kemudian adalah solidaritas yang cukup tinggi ini di motivasi dalam kaitannya sebagai orang Karo (adat/budaya) atau sebagai orang Kristen, atau kedua-duanya? Jawaban pertanyaan ini penting dalam kaitan membicarakan topik ini, sebab berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis selama kurang lebih 8 tahun di jemaat perkotaan kecendrungan solidaritas internal terebut lebih didorong hubungan kekeluargaan sebagai orang Karo berdasarkan adat/budayanya dari pada spiritualitas sebagai orang kristen. Sekali lagi lagi ini pendapat penulis, dan hal ini berdasarkan pengamatan antara lain dalam pemberkatan nikah dan kerja adat yang dilakukan. Kecendungan jemaat lebih memperhatikan mereka yang secara ekonomi lebih berada dan berkedudukan serta memiliki hubungan keluargaan dengannya. Demikian juga dalam kunjungan orang sakit dan penghiburan kedukaan, partisipasi jemaat kadang (“sering”) berbeda baik kuantitas maupun kualitasnya dalam hal kehadiran dan pemberian.
Realita masyarakat perkotaan
Dewasa ini, khususnya diperkotaan begitu banyak persoalan hidup yang dihadapi. Dari masalah kemacetan lalu lintas (khususnya di Jakarta) yang kian hari terus meningkat, masalah pekerjaan yang kian hari terasa semakin berat akibat persaingan dan tuntutan kopetensi khususnya tuntutan melek teknologi yang kian hari terus berkembang dengan cepat, masalah anak-anak sehubungan dengan pendidikan dan juga kekuatiran terkontaminasi penyakit sosial yang kian marak saja seperti minum-minuman keras, berjudi, menyalahgunakan narkoba, seks bebas, dan sebagainya, masalah hubungan suami istri yang sering terancam bubar oleh berbagai-bagai sebab, antara lain masalah perselingkuhan, masalah kesepian akibat kesibukan yang terus menerus diakibatkan tuntutan pekerjaan, dan banyak lagi permasalahan seputar kehidupan masyarakat kota. Dan dalam hubungan dengan jemaat, masih ada jemaat diperkotaan yang belum mempunyai rumah sendiri, mereka tinggal dirumah kontrakan dengan pekerjaan ada sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, membuka warung, berjualan dipasar, yang tentunya sering bergumul karena harus memikirkan sewa kontrakan, belanja sehari-hari, uang sekolah anak; sementara persaingan dalam usaha mereka semakin hari semakin berat, terlebih-lebih bagi mereka yang membuka warung bermunculannya toko-toko serba ada seperti Alfamart, Indomaret, dll. menjadi tantangan tersendiri. Dalam konteks ini, peranan gereja menjadi penting sebagai mana maksud kehadirannya membawa khabar baik, berita keselamatan bahwa Allah telah memberikan hatinya bagi manusia yakni dengan jalan menghampiri manusia sebagai manusia di dalam manusia yang bernama Yesus Kristus. Inilah tindakan solidaritas Allah kepada ciptaanNya, kepada manusia. Jikalau Allah telah bersolider dengan kita, maka dalam konteks manusia perkotaan sebagaimana telah disebutkan maka bentuk solidaritas yang perlu dibangun, terlebih-lebih dimana kecendrungan manusia di era globalisasi ini semakin individualistik, walaupun sesungguhnya sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat tetap eksis tanpa manusia lain, maka tidak ada lebih penting dari pada menemui manusia sekeliling kita, khususnya anggota jemaat yang berada dalam kekuatiran, dalam berbagai-bagai pergumulan.
Model Solidaritas dalam sektor, Kategorial, Sektor Wilayah perkotaan.
Di dalam GBP (Garis Besar Pelayanan) GBKP 2010-2015 disebutkan bahwa jemaat merasa kurang puas terhadap pelayanan yang dilakukan gereja selama ini[1]. Memang berbicara mengenai puas dan tidak puas juga sangat relatif. Namun kesimpulan ini seharusnya membuat gereja dalam hal ini pelayan-pelayan gereja mengevaluasi diri untuk meningkatkan pelayanan, khususnya lebih meningkatkan perhatian dan perkunjungan terhadap jemaat. Memang banyak aspek pelayanan gereja, namun dalam konteks topik kita, hal penting perlu mendapat perhatian antara lain adalah perhatian gereja dalam hal ini pengerja gereja terhadap persoalan yang dihadapi jemaat. Demikian banyak persoalan-persoalan yang dihadapi jemaat dalam menjalani kehidupan ini, baik secara pribadi maupun secara keluarga. Dan janganlah membiarkan mereka merasa berjalan sendiri, sepi sendiri, bergumul sendiri dan menderita sendiri. Mereka membutuhkan perhatian, dorongan, dan teman curhat yang mengerti mereka. Oleh karena itu model Solidaritas yang dapat dilakukan, khususnya dalam sektor, saya melihat model Solidaritas Organik yang dikembangkan Emile Durkheim masih relevan. Inilah Solidaritas Organik, yakni suatu ayaman hidup bermasyarakat dimana hubungan antar individu saling kenal, saling terkait, saling menyapa, serta penuh empati satu dengan yang lain. Untuk dapat memudahkan penerapkan model ini maka database jemaat perlu diadakan, setidak-tidaknya dalam bentuk manual yang dimiliki setiap anggota sektor. Dengan adanya data-data seperti nama orang tua[2], anak-anak dan keluarga yang ditinggal dalam satu rumah, titel dan pekerjaan, tanggal perkawinan, tanggal kelahiran, merga/beru (Fam), bebere (Fam dari ibu), perkempun (Fam dari ibu dari ibu kita), alamat tempat tinggal, tempat bekerja, nomor Telepon, Hand Phone, E-mail, dan sebagainya yang dianggap perlu untuk menerangkan secara lebih lengkap identitas setiap anggota jemaat. Sebab tanpa database yang lengkap Solidaritas Organik tidak akan dapat dilakukan secara optimal dikarenakan situasi kota ditandai dengan masyarakat yang sangat sibuk. Dengan adanya database, setiap anggota jemaat di tingkat sektor, demikian juga kategorial[3] dapat menyatakan solidaritasnya seorang terhadap yang lain dengan: (1) saling memperhatikan melalui alat komunikasi seperti Telpon, Hand Phone, (2) silaturahmi/perkunjungan; (3) Demikian juga mendirikan CU/CUM (credit Union/Credit Union Modifikasi) atau koprasi sangat menolong dalam upaya solidaritas dengan model Organik ini. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana agar Solidaritas yang demikian dapat dilakukan dan menjadi gaya hidup jemaat disetiap sektor atau Perpulungen Jabu-jabu dan juga Kategorial?
Perlu dipahami, walaupun Solidaritas bukan dari istilah Alkitab dan juga bukan istilah yang dipakai teologi Kristen, tetapi kata dasar dan nilai dasar dari gerakan buruh Internasional[4], namun berdasarkan definisi Solidaritas[5] yang adalah sifat (perasaan) solider, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia kawan, sepenanggungan adalah juga nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh Alkitab. Namun harus diberi catataan bahwa istilah ini tidak dipahami dalam kontek Solidaritas Buruh Internasional yang lebih memberi tekaan pada pemposisian “kita” melawan “mereka”, tetapi dalam pengertian definisi global (universaal)[6]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keselamatan yang diprakarsai Allah melalui Yesus Kristus adalah bentuk solidaritas Allah terhadap ciptaannya, terhadap setiap manusia. Oleh karena itu kita melakukan solidaritas karena solidaritas “Abadi”, yakni Alah di dalam Yesus Kristus memanggil kita untuk bersolider dengan sesama kita. Jika kita tidak bersikap solider terhadap orang-orang yang ditindas, diinjak, dan lapar di dekat kita dan kita sendiri turut menginjak serta menindas maka kita tidak solider dengan Allah yang solider dengan orang-orang ini, bahkan kita sendiri hidup dari solidaritasNya. ...”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (Matius 25:45). Percaya berarti solider dengan mereka yang kepadanya Allah solider[7]; menjadi seorang suruhan atas dasar solidaritas Allah terhadap orang lain selama ia belum solider dengan kita. Disamping itu berolidaritas menjadi penting karena sebagaimana Yesus pernah katakan “roh memang penurut tetapi daging lemah”[8]. Dalam konteks ini disamping sebagaimana Yesus menganjurkan agar berjaga-jaga, solidaritas orang kristen adalah untuk saling menopang dan saling menguatkan. Dalam kehidupan iman kristen sesungguhnya egoisme juga tidak mempunyai tempat. Dan hal ini telah disaksikan orang kristen mula-mula yang disaksikan Lukas dalam Kisah Para Rasul pasal 4, dimana satu dengan yang lain saling mengasihi, saling menopang dan menguatkan, serta saling berbagi harta yang mereka miliki sehingga tidak ada seorang pun yang berkekurangan diantara mereka. Dengan kehidupan yang demikian paling tidak sangat berguna bagi (1) kesiapan mereka menantikan kedatangan Yesus kedua kali dimana dipahami pada waktu itu segera akan datang, yakni tetap bersekutu, membaca Firman Tuhan, saling mengasihi dan berbagi, saling menguatkan baik melalui nasehat dan juga melalui perbuatan yang dilakukan dengan memberikan kelebihan mereka kepada mereka yang kekuarangan; (2) demikian juga menjadi model kesaksian yang besar pengaruhnya bagi masyarakat sekitar mereka sehingga setiap hari Allah menambahkan jumlah mereka[9].
Penutup
Penulis menyadari bahwa apa yang dikemukakan disini masih banyak kekurangan-kekuarangannya, baik mengenai bahasa serta pengkalimatannya, demikian juga penyajian topik ini yang sarat dengan pendapat pribadi yang sudah tentu mengundang banyak pertanyaan, namupun demikian saya berharap melalui tulisan yang pendek ini ada manfaat yang dipetik, secara khusus dalam menumbuh kembangkan solidaritas internal GBKP di dalam sektor atau Perpulungen Jabu-jabu, kategorial di sektor wilayah perkotaan. Model Solidaritas yang dikemukakan kiranya dapat mendorong pengurus gereja mengupayakan terlebih dahulu database jemaat. Hal ini menjadi penting mengingat ada Runggun/Jemaat yang memiliki lebih dari 500 KK sehingga sangat memungkinkan kurang mengenal satu dengan yang lain. Pengalaman penulis ketika melayani di salah satu jemaat perkotaan yang mempunyai anggota jemaat lebih 200 Kepala keluarga, ada (bahkan mungkin banyak) diantara jemaat tidak mengenal satu sama lain, bahkan ada majelis jemaat yang tidak mengenal anggota jemaat yang ada di sektornya. Banyak faktor yang menjadi penyebab. Antara lain, realita ada jemaat yang terdaftar sebagai anggota namun beribadah di gereja lain, demikian juga karena bekerja di luar daerah sementara masih menjadi anggota di Jemaat tersebut, dan masih banyak lagi. Jadi dengan adanya database jemaat, tidak hanya majelis jemaaat atau pendeta dapat melakukan solidaritas, tetapi setiap anggota jemaat dapat melakukannya baik melalui telepon, HP, mapun perkunjungan bersilaturahmi. Tidak ada manusia yang steril dari yang namanya persoalan hidup, terlebih lagi di tengah-tengah kehidupan perkotaan. Disinilah relevansinya bersolidaritas dimana hakekatnya adalah saling mengasihi, saling menopang dan menguatkan.
Penulis menyadari bahwa apa yang dikemukakan disini masih banyak kekurangan-kekuarangannya, baik mengenai bahasa serta pengkalimatannya, demikian juga penyajian topik ini yang sarat dengan pendapat pribadi yang sudah tentu mengundang banyak pertanyaan, namupun demikian saya berharap melalui tulisan yang pendek ini ada manfaat yang dipetik, secara khusus dalam menumbuh kembangkan solidaritas internal GBKP di dalam sektor atau Perpulungen Jabu-jabu, kategorial di sektor wilayah perkotaan. Model Solidaritas yang dikemukakan kiranya dapat mendorong pengurus gereja mengupayakan terlebih dahulu database jemaat. Hal ini menjadi penting mengingat ada Runggun/Jemaat yang memiliki lebih dari 500 KK sehingga sangat memungkinkan kurang mengenal satu dengan yang lain. Pengalaman penulis ketika melayani di salah satu jemaat perkotaan yang mempunyai anggota jemaat lebih 200 Kepala keluarga, ada (bahkan mungkin banyak) diantara jemaat tidak mengenal satu sama lain, bahkan ada majelis jemaat yang tidak mengenal anggota jemaat yang ada di sektornya. Banyak faktor yang menjadi penyebab. Antara lain, realita ada jemaat yang terdaftar sebagai anggota namun beribadah di gereja lain, demikian juga karena bekerja di luar daerah sementara masih menjadi anggota di Jemaat tersebut, dan masih banyak lagi. Jadi dengan adanya database jemaat, tidak hanya majelis jemaaat atau pendeta dapat melakukan solidaritas, tetapi setiap anggota jemaat dapat melakukannya baik melalui telepon, HP, mapun perkunjungan bersilaturahmi. Tidak ada manusia yang steril dari yang namanya persoalan hidup, terlebih lagi di tengah-tengah kehidupan perkotaan. Disinilah relevansinya bersolidaritas dimana hakekatnya adalah saling mengasihi, saling menopang dan menguatkan.
“Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman”.
(Galatia 6:10)
(Galatia 6:10)
-----------------------------------------------------------
[1]Garis Besar Pelayanan GBKP 2010-2015, hal.8
[2] Lebih baik lagi bila dicantumkan “penggelaren” (Bapa kai), sebab orang Karo dianggap kurang sopan bila menamai secara langsung orang yang lebih tua.
[3] Di GBKP yang disebut Kategorial adalah Mamre (kaum Bapa), Moria (Kaum Ibu), Permata (pemuda-pemudi), KA-KR (Kebaktian Anak dan Remaja).
[4] Jurgen Moltmann, Khotbah Masa Kini 5. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hal.141
[5] Pius A.Partanto & M.Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka, 1994, hal.717; Juga lihat Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ke tiga karangan W.J.S.Poerwadarminta, 2006, hal.1138.
[6] Bd. Tulisan Joas Adiprasetya merespon Artikel Arman Barus “Solidaritas Sosial Gereja” (tgl.19 September 2008, akses tgl.11 Januari 2012); http://www.leimena.org/en/page/v/493/solidaritas-baru-sosial-gereja-di-tengah-masyarakat-berwajah-majemuk-dan-miskin
[7] Helmut Gollwitzer, Khotbah Masa Kini 4. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hal.28
[8] Matius 26:41; Markus 14:38
[9] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987, hal.105
[2] Lebih baik lagi bila dicantumkan “penggelaren” (Bapa kai), sebab orang Karo dianggap kurang sopan bila menamai secara langsung orang yang lebih tua.
[3] Di GBKP yang disebut Kategorial adalah Mamre (kaum Bapa), Moria (Kaum Ibu), Permata (pemuda-pemudi), KA-KR (Kebaktian Anak dan Remaja).
[4] Jurgen Moltmann, Khotbah Masa Kini 5. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hal.141
[5] Pius A.Partanto & M.Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka, 1994, hal.717; Juga lihat Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ke tiga karangan W.J.S.Poerwadarminta, 2006, hal.1138.
[6] Bd. Tulisan Joas Adiprasetya merespon Artikel Arman Barus “Solidaritas Sosial Gereja” (tgl.19 September 2008, akses tgl.11 Januari 2012); http://www.leimena.org/en/page/v/493/solidaritas-baru-sosial-gereja-di-tengah-masyarakat-berwajah-majemuk-dan-miskin
[7] Helmut Gollwitzer, Khotbah Masa Kini 4. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hal.28
[8] Matius 26:41; Markus 14:38
[9] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987, hal.105
0 komentar:
Post a Comment